Oleh Ust. Zon Jonggol (Bogor)
Pandangan Anda terhadap komunitas spiritual kota?
Kalau ada kecenderungan orang kota ke arah spritualitas itu positif-positif saja. Alhamdulillah, berarti ada keinginan orang kota keagamaannya untuk lebih baik. Sebenarnya kalau orang Islam ingin mendekatkan diri kepada Allah, harus benar-benar mempersiapkan diri. Karena ini adalah perjalanan spritual yang harus ada persiapan matang. Banyak karakteristik yang harus dipenuhi, walaupun itu tidak mudah. Tapi keinginan ke arah sana itu sudah bagus.
Bagaimana dengan munculnya pemimpin spiritual instan?
Kalau dalam tradisi tasawuf pemimpinnya adalah seorang mursyid, bukan ustadz biasa, dalam artian bukan sekadar mengajar ilmu secara fisik, karena tasawuf masih ke dimensi ruhaniyah. Tentang karakteristik seorang mursyid, antara lain harus ahli agama, dia sendiri harus mengamalkan syari’at sebaik-baiknya. Ia pun harus mampu membawa murid-muridnya secara ruhaniyah. Seorang mursyid itu tidak lahir dengan sendirinya. Dia dipilih oleh mursyid sebelumnya dan itu preogatif seorang mursyid untuk menentukan siapa kemudian yang akan menggantikannya. Tidak karena anak, saudara atau famili yang lain, tapi karena ilmu dan keikhlasannya. Mursyid-lah yang paling tahu perkembangan spritual murid-muridnya.
Aktifitas seperti Ary Ginanjar, menurut saya, itu baik dan saya rasa itu adalah akhlaq saja, tidak masuk dalam kategori sufi atau tarekat. Karena dia kan memperlihatkan fenomena alam, betapa kecilnya kita, betapa besarnya ciptaan Tuhan itu. Kalau diciptakan begitu, apalagi yang diciptakan itukan menggugah kesadaran akan eksistensi Tuhan, luar biasa. Kita harus menilai positifnya dan saya pernah baca di koran bahwa dia itu tidak pernah mengatakan sufi, apalagi yang bersangkutan tidak mengatakan sufi, bukan juga seorang mursyid.
Trend artis, selebritis, pejabat, dan eksekutif ikut komunitas spiritual kota itu gejala apa?
Alhamdulillah kalau mereka bisa bertaubat, istighfar, karena Allah maha pengampun. Itu kan taubat dalam urut-urutan makamah, zuhud, warak. Kita menilai itu baik, mudah-mudahan begitu.
Sebenarnya cara sufi itu ada berapa tahapan?
Saya kira tahapan pertama yang harus dilewati adalah Takhalli, mengosongkan diri dari segala yang tidak baik, apakah kita bisa? Baru nanti kita bisa sampai pada apa yang disebut Tahalli, harus benar-benar mengisi kebaikan. Apakah kita juga bisa? Berikutnya adalah Tajalli, benar-benar mengetahui rahasia Tuhan. Dan ini adalah bentuk manifestasi dari rahasia-rahasia yang diperlihatkan kepada hamba-Nya. Boleh jadi mereka sudah Takhalli tapi sudah ditunjukkan oleh Allah kepada yang ia kehendaki, dalam teori sunni kan begitu.
Ada juga wirid dan dzikir yang marak selama ini?
Tidak mesti apa yang dia lakukan itu, dalam golongan sufi. Kalau kita pahami secara konvensional tarekat adalah suatu bagian dari tasawuf, dalam konteks ini adalah muktabarah dan ghairu muktabarah. Yang muktabarah jelas silsilahnya sampai kepada Rasulullah, amaliahnya ini, praktik sehari-harinya itu sesuai dengan syari’ah yang begitu. Adapun misalnya orang beramal baca surat ikhlas 1000 kali, itu gak apa-apa, itu amaliyah fadlail saja. Jadi tidak mesti harus digolongkan ke sufi. Masalahnya karena dalam kajian tasawuf, wabil khusus tarekah, itu memang ada rambu-rambunya. Jadi kalau misalnya tidak ada kriteria muktabarah, ya tidak otomatis masuk dalam tasawuf. Tarikah bukan, sufi bukan, apalagi tidak ada mursyid dan tidak ada silsilah, jadi yang begini ini masuk grup akhlak saja, grup moral, tidak apa-apa dari pada grup Narkoba, naudubilla…. Dan sejauh tidak ada kaitannya dengan mursyid, maka tidak ada kaitannya dengan tarekat dan sejauh tidak ada murid tarekat, ya grup moral saja dan itu bagus. Seperti misalnya ada grup dzikir, kan lebih baik zikir dari pada ngobrol yang tidak ada manfaatnya. Kita harus punya pandangan yang positif. Alhamdulillah masih banyak orang yang mengingat Allah. Kalau orang pandangannya negatif bagaimana? Seperti dzikir jahar, ada yang bertanya apakah Tuhan tuli? Dia tidak tahu riwayatnya. Rasullulah mambaiat Ali berdzikir dengan jahar. Nabi mengajarkannya, sebab itulah kemudian dijadikan referensi dzikir jahar atau dengan suara keras.
Mashudi Umar
http://www.facebook.com/mashudi.umar
Sumber:
http://mashudi-centre.blogspot.com/2008/10/spiritual-kota-itu-bukan-gerakan-sufi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar