Rabu, 26 Januari 2011

H I R

HERZIEN INLANDSCH REGLEMENT (H.I.R)

REGLEMEN INDONESIA YANG DIPERBAHARUI (R.I.B.)

BAB PERTAMA

HAL MELAKUKAN TUGAS KEPOLISIAN

Bagian Pertama

TENTANG PEGAWAI-PEGAWAI DAN PENJABAT-PENJABAT YANG

DIWAJIBKAN MELAKUKAN TUGAS KEPOLISIAN

Pasal 1

Melakukan tugas kepolisian pada bangsa Indonesia dan pada bangsa Asing, menurut

perbedaan yang diadakan dalam reglemen ini, diwajibkan pada pegawai, penjabat-penjabat dan

orang-orang yang teristimewa yang disebut di bawah ini, masing-masing sekian keluasan

daerah, untuk mana ia diangkat:

1. Kepala-kepala desa dan kepala-kepala kampung serta sekalian penjabat polisi bawahan

yang lain, bagaimanapun namanya, termasuk juga penjabat-penjabat polisi yang diangkat

untuk tanah partikelir;

2. Kepala-kepala distrik;

3. Bupati-bupati dan patih;

4. Residen-residen;

5. Semua pegawai, penjabat dan orang-orang lain, dalam perkara yang diserahkan

kepadanya supaya dijaganya, menurut aturan undang-undang yang istimewa;

6. Pegawai-pegawai polisi yang tidak dapat gaji masing-masing mengenai kekuasaan yang

diberikan padanya dalam surat angkatannya yang diangkat sedemikian dengan mengingat

aturan-aturan yang akan,ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Pasal 2

Melakukan tugas kepolisian diwajibkan pula kepada kepala bangsa Asing, masing-masing

dalam lingkungannya, demikian juga pada pegawai-pegawai dan penjabat-penjabat polisi

umum (Polisi Negara) yang kesemuanya menurut aturan dan petunjuk (instruksi) yang sudah

ada untuk mereka atau yang akan ditentukan baginya.

Penjelasan:

1. Yang dimaksud "melakukan tugas kepolisian" dalam pasal ini dengan singkat ialah

"menjaga ketertiban dan keamanan umum" bagi kepentingan negara yang bersangkutan,

pada zaman pemerintah Hindia Belanda untuk menegakkan penjajahan Belanda dan

pada masa pendudukan tentara Jepang untuk memenangkan perang Asia Timur Raya.

Dalam alam Republik Indonesia sekarang ini tugas kepolisian dengan tegas ditentukan

dalam Undang-undang Pokok Kepolisian (U.U. tahun 1961 No.13), sebagai tugas pokok

antara lain ialah:

1) menyelenggarakan segala usaha, pekerjaan dan kegiatan dalam rangka memelihara

kesejahteraan, kesentausaan, ketertiban dan keamanan umum dan melindungi

orang-orang anggauta masyarakat dan harta bendanya.2) sebagai penegak hukum mengadakan segala usaha, pekerjaan dan kegiatan untuk

memelihara dan menjaga ditaatinya dan diturutnya dengan seksama segala undangundang, peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan lain sari negara.

3) Menyidik tindak pidana, dengan menangkap, memeriksa, menggeledah dan

menahan orang-orang yang berbuat salah melakukan pelanggaran dan kejahatan,

membuat Berita Acara pemeriksaan perkara serta mengajukan kepada Kejaksaan

untuk diadakan penuntutan di muka pengadilan yang berwajib.

Pada hakekatnya tugas polisi dapat dibedakan atas dua macam, yaitu:

1) Tugas preventip (mencegah), yaitu melaksanakan segala usaha, pekerjaan dan

kegiatan dalam rangka menyelenggarakan melindungi negara dan badan

hukumnya, kesejahteraan, kesentausaan, keamanan dan ketertiban umum, orangorang dan harta bendanya terhadap serangan dan bahaya dengan jalan mencegah

terjadinya tindak pidana dan perbuatan-perbuatan lain yang walaupun tidak

diancam dengan pidana, akan tetapi dapat mengakibatkan terganggunya keamanan

dan ketertiban umum.

2) Tugas represip (memberantas), ialah kewajiban melakukan segala usaha, pekerjaan

dan kegiatan untuk membantu tugas kehakiman, guna memberantas perbuatanperbuatan yang dapat dipidana yang telah dilakukan, secara penyidikan,

menangkap dan menahan yang berbuat salah, memeriksa, menggeledah dan

membuat Berita Acara pemeriksaan pendahuluan serta mengajukan kepada Jaksa

untuk dituntut pidana di muka Hakim yang berwajib.

Tugas pokok tersebut dalam pasal dua Undang-undang Pokok Kepolisian

dirumuskan sebagai berikut:

1. a. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.

b. Mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit-penyakit masyarakat.

c. Memelihara keselamatan negara terhadap gangguan dari dalam.

d. Memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat termasuk

memberi perlindungan dan pertolongan.

e. Mengusahakan ketaatan warga negara dan masyarakat terhadap peraturan

negara.

2. Dalam bidang peradilan mengadakan penyidikan atas kejahatan dan pelanggaran

menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain

peraturan negara.

3. Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan Masyarakat dan negara.

4. Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan

negara.

Kecuali tugas pokok yang telah diuraikan iii atas, menurut Keputusan

Menhankam/Pangab tanggal 1 Agustus 1970 No.Kep./A/385/VIII/1970 dalam pasal

tiga, Polri dibebani juga dengan tugas tambahan dan tugas khusus.

Tugas tambahan terdiri dari:

a. Ikut serta secara phisik di dalam pertahanan dan ikut serta di dalam pengamanan

usaha pertahanan guna mencapai potensi maksimal dari rakyat dalam sistem

Pertahanan Rakyat Semesta, menurut ketentuan-ketentuan kebijaksanaan

Menhankam/Pangab. b. Menyiapkan komponen-komponen untuk kepentingan pertahanan apabila

diperlukan.

Adapun tugas khusus yang dibebankan pada Polri adalah meliputi partisipasi dalam

kegiatan-kegiatan Operasi Bhakti dan Kekaryaan ABRI sesuai dengan ketentuanketentuan kebijaksanaan Menhankam/Pangab.

2. Pegawai, pejabat dan orang istimewa yang diwajibkan melakukan tugas kepolisian dalam

pasal 1 dan 2 itu dengan singkat dapat dikatakan ialah:

1) Para Pamong-Desa, tegasnya semua polisi desa apa saja pangkatnya yang berada di

bawah perintah Kepala Desa.

2) Para Pamong-Praja, tegasnya semua pejabat dan Pegawai Pamong-Praja

berpangkat apa saja yang diserahi dengan pekerjaan kepolisian.

3) Para pegawai polisi khusus yang memperoleh wewenang kepolisian dari pelbagai

Undang-undang dan peraturan seperti:

a. pegawai pabean, bea dan cukai,

b. pegawai jawatan lalu-lintas dan angkutan jalan raya,

c. pegawai kantor perekonomian,

d. pegawai jawatan imigrasi,

e. pegawai dinas kesehatan,

f. pegawai pengajaran dan pendidikan,

g. nakhoda kapal,

h. syahbandar,

i. pegawai kehutanan dan

j. lain-lain sebagainya.

4) Polisi tak bergaji yang diangkat oleh pemerintah, akan tetapi segala sesuatunya

dibiayai oleh badan swasta, seperti polisi perkebunan dan lain-lain.

5) Pegawai dan pejabat polisi umum yang pada zaman pemerintah Hindia-Belanda

terdiri dari:

1. Polisi Kota,

2. Polisi Bersenjata,

3. Polisi Lapangan,

4. Polisi Reserse Daerah,

5. Polisi Perkebunan dan

6. Polisi Pamong-Praja, yang pada zaman Republik Indonesia sekarang ini

menjelma menjadi pegawai dan pejabat Kepolisian Republik Indonesia,

disingkat Polri.

Bagian Kedua

TENTANG KEPALA-KEPALA DESA DAN PENJABAT-PENJABAT KEPOLISIAN

BAWAHAN YANG LAIN

Pasal 3 Kepala-kepala desa dipertanggungkan memelihara keamanan dan kesentausaan umum serta

memelihara ketertiban yang baik dalam desanya, di bawah pengawasan dan perintah kepala

distrik.

Pasal 4

(1) Mereka wajib menghadap kepala distriknya sekali seminggu pada hari yang ditentukan,

untuk menyampaikan laporan tertulis jika mungkin, dan jikalau tidak dengan lisan

tentang segala hal-ihwal yang terjadi dalam minggu yang baru lalu, kalau hal itu belum

diberitahukannya lebih dahulu, menurut aturan yang berikut pada bagian ini.

(2) Jika ada halangan yang sah, hendaklah mereka menyuruh seorang penjabat bawahannya

menggantinya, atau jika penjabat demikian tidak ada, oleh seorang lain yang cakap.

(3) Kalau pada suatu tempat amat berat bagi kepala desa untuk menghadap sekali seminggu,

maka bupati boleh menguasakan kepada kepala distrik akan menyuruh kepala desa

menghadap padanya sekali empat belas hari atau sebulan.

Pasal 5

Kepala desa harus menjalankan dengan saksama perintah-perintah, yang diberikan kepadanya

dari fihak atasan.

Pasal 6

Mereka sedapat-dapatnya akan mencegah orang yang memakai senjata yang lain dari biasa atau

yang lebih dari biasa berjalan beredar bersama-sama, istimewa pada malam hari, jika orangorang itu rupa-rupanya mengandung maksud yang terlarang, dan dalam segala hal harus

memberi tahukan sekalian yang terjadi tentang itu kepada kepala distrik.

Pasal 7

(1) Kalau menurut timbangan bupati dan setelah disetujui oleh Presiden ternyata perlu,

maka kepala desa akan mengadakan jaga malam di dalam desanya, serta akan memanggil

sekalian penduduk desa yang baik untuk mengerjakan pekerjaan itu berganti-ganti.

(2) Kepala desa dilarang keras memberi kebebasan supaya tidak melakukan jaga itu, kalau

tidak ada alangan-alangan yang sah.

Pasal 8

Jika kedapatan badan manusia yang rupanya mati, tetapi agaknya ada kemungkinan masih

bernyawa, haruslah dilakukan daya-upaya dan penjagaan yang sebaik-baiknya menurut keadaan

itu dan kalau dapat, dengan segera diminta pertolongan tabib.

Pasal 9

(1) Badan manusia yang- kedapatan dalam air, hendaklah dengan segera diangkat ke luar

dan jika ia tidak memperlihatkan tanda-tanda mati yang pasti, haruslah diselenggarakan

cara yang sudah ditetapkan.

(2) Daya-upaya dan penjagaan yang dimaksud akan dilakukan dengan segera, meskipun

kepala desa atau penjabat polisi yang lain belum hadir di situ. Pasal 10

Kalau ada kebakaran, kepala desa hendaklah melakukan segala daya-upaya untuk

memadamkan api itu dan dengan segera memberitahukan kebakaran itu kepada kepala distrik.

Pasal 11

(1) Kepala desa hendaklah menjaga dengan saksama supaya penduduk desanya jangan

memberi tempat menginap kepada orang yang bukan penduduk desa itu dengan tidak

diketahuinya lebih dahulu dan dengan tidak seizinnya.

(2) Jika kedapatan ada kejadian yang demikian itu, hendaklah kepala desa dengan segera

memberitahukan hal itu kepada kepala distrik.

Pasal 12

Jika diminta kepadanya, kepala desa menyimpan barang-barang orang dalam perjalanan dan

menanggung jawab atas barang-barang yang dipertaruhkan kepadanya itu.

Pasal 13

(1) Kepala desa hendaklah berikhtiar supaya penduduk desanya berketenteraman dan

berkerukunan serta menjauhkan segala sesuatu yang dapat menyebabkan perselisihan

dan perbantahan.

(2) Perselisihan yang kecil-kecil yang semata-mata mengenai kepentingan penduduk desa

saja, hendaklah seboleh-bolehnya diperdamaikannya dengan tidak memihak sebelah dan

dengan sepakat orang tua-tua desa itu.

Pasal 14

Jika orang-orang yang berselisih itu tidak dapat diperdamaikan atau jika perselisihan itu

demikian pentingnya sehingga patut dikenakan hukuman atau mengganti kerugian, hendaklah

kepala desa mengirimkan kedua belah pihak itu kepada kepala distrik.

Pasal 15

(1) Kepala desa hendaklah dengan saksama mencatat dalam sebuah atau daftar-daftar yang

dipergunakan untuk itu nama, pekerjaan dan seboleh-bolehnya umur sekalian orang

yang masuk penduduk desanya demikian juga segala perubahan keadaan penduduk,

karena lahir, kawin, meninggal dunia, berangkat dan sebab-sebab yang lain.

(2) Pada hari datang yang telah ditentukan mereka akan memberikan sehelai petikan daftar

kepada kepala distrik tentang segala sesuatu yang terjadi sejak hari datang yang terakhir

sekali.

Pasal 16

Jika kepala desa sendiri tidak pandai memegang daftar itu, hendaklah diurusnya supaya hal itu

dikerjakan oleh pegawai agama atau juru tulis desa.

Pasal 17

(1) Dengan tidak ada izin kepala distrik, kepala desa tidak boleh meluluskan siapapun juga

duduk dalam daerah desanya, melainkan jika dua penduduk desa itu yang terlebih hartawan dari yang lain menerangkan bahwa orang yang hendak diam di antara mereka

dikenalnya sebagai orang baik dan tidak berbahaya.

(2) Perihal orang yang diizinkan diam itu, hendaklah dituliskan dalam daftar yang disebut

dalam pasal 15.

Pasal 18

(1) Kepala distrik hendaklah menjaga, supaya jangan ada seorangpun berkediaman diluar

lingkungan desa, jika tidak mendapat izinnya untuk itu lebih dahulu; izin itu tidak akan

diberinya, sebelum didengarnya kepala desa yang bersangkutan.

(2) Jika dianggap ada faedahnya atau perlunya diberi pemerintahan yang berasing kepada

pendukuhan yang terjadi demikian itu, hendaklah kepala distrik sesudah mendengar

kepala desa yang bersangkutan, mengemukakan hal itu dengan surat kepada bupati yang

akan menyampaikan surat itu kepada residen dengan menyatakan bagaimana

pendapatnya.

Pasal 19

Apabila ketentuan dalam kedua pasal yang lalu tidak dapat dilakukan karena keadaan tempat

atau karena keadaan yang lain-lain, hendaklah bupati sesuai dengan perintah residen,

menjalankan daya upaya yang sebaik-baiknya untuk menghindarkan segala sesuatu yang tidak

baik bagi pengurusan kepolisian yang boleh terjadi dari karena penduduk tinggal bercerai berai.

Pasal 20

(1) Tentang izin masuk dan berduduk bagi orang yang bukan terhitung masuk bangsa

Indonesia asli, hendaklah memperhatikan peraturan pemerintah istimewa yang sudah

ada atau yang akan diadakan.

(2) Peraturan ini berlaku juga atas orang bangsa Indonesia dan bangsa Asing yang datang

berduduk dalam tanah partikelir.

Pasal 21

(1) Di dalam distrik yang ditempatkan penjabat polisi di bawah kepala distrik tetapi di atas

kepala desa, maka kepala desa itu akan menerima perintah kepala distrik dengan

perantaraan penjabat polisi itu, serta kepala distrik akan menerima berita dan laporan

serta sekalian yang lain-lain yang harus dikirim kepadanya menurut ketentuan dalam

bagian ini dengan perantaraan penjabat polisi tersebut.

(2) Dalam segala hal kepala desa wajib menghadap sendiri kepada kepala Distrik menurut

pasal 4.

Pasal 22

Umumnya kepala desa bertanggung jawab atas akibat yang merugikan yang disebabkan oleh

kejadian-kejadian yang karena jabatannya patut .dijaga atau dicegahnya supaya jangan terjadi

yaitu jika menjaga atau mencegah itu ada dalam kekuasaannya.

Pasal 23 Kepala desa hendaklah bermupakat dengan orang tua-tua dalam. desanya tentang segala

urusan yang harus sedemikian dimupakati menurut adat istiadat Indonesia.

Bagian Ketiga

TENTANG KEPALA DISTRIK

Pasal 24

(1) Kepala distrik diwajibkan, di bawah pengawasan dan perintah bupati supaya melakukan

tugas kepolisian dengan baik dan sepatutnya dalam daerahnya dan dalam hal itu ialah

yang bertanggungjawab.

(2) Mereka harus juga dengan saksama menurut dan menjalankan perintah yang diberikan

residen kepadanya. Biasanya perintah itu diberikan kepadanya dengan perantaraan atau

dengan setahu bupati, akan tetapi dalam hal perlu lekas boleh juga dengan langsung.

Pasal 25

Tentang pelaksanaan tugas kepolisian dengan teratur, kepala distrik wajib memberi peraturan

dan perintah yang jelas dan lengkap kepada kepala desa dan kepala polisi lain-lain yang di

bawahnya, demikian juga harus memberitahukan kewajiban mereka itu menurut reglemen ini

dengan seksama dan selalu memperingatkan kepadanya.

Pasal 26

Kepala distrik haruslah sebanyak kali mungkin mengunjungi sekalian bagian distriknya untuk

menyelidiki adakah sekalian pegawai yang ada di bawah perintahnya, terutama kepala- desa,

melakukan kewajibannya dalam segala hal. Kepala-kepala yang lalai dalam hal itu hendaklah

ditegurnya atau jika kelalaiannya itu sangat,sekali, hendaklah diadukan kepada bupati.

Pasal 27

Kepala distrik hendaklah mengurus supaya rumah gardu ditempatkan dengan sepatutnya dan

supaya jaga di jalan-jalan dibagi dengan adil dan dilakukan dengan cermat; semuanya menurut

peraturan yang diberikan bupati kepadanya sesuai dengan perintah residen.

Pasal 28

(1) Mereka wajib datang kepada bupati, sekali dalam empat belas hari, yaitu pada hari yang

ditetapkan, untuk menerima perintahnya dan untuk memberi rencana tentang segala

sesuatu yang terjadi dalam dua minggu yang baru lalu, seberapa hal itu berhubung

dengan pengurusan kepolisian.

(2) Jika letaknya beberapa distrik jauh sehingga menjadi amat berat bagi kepala-kepala

distrik untuk datang sendiri dengan tetap, maka bupati dengan setahu dan dengan izin

residen, boleh mengizinkan kepala distrik yang sedemikian, akan mengirimkan rencana

(versiag) empat belas hari itu dengan surat.

Pasal 29

Keterangan-keterangan tentang keadaan penduduk yang diberikan oleh kepala-kepala desa

kepadanya menurut pasal 15 harus dikumpulkannya dengan saksama; dari keterangan-keterangan itu hendaklah dibuatnya sebuah daftar umum bagi distriknya untuk tiap-tiap tahun

yang sudah dan daftar itu hendaklah dikirimkannya kepada bupati dalam tiga bulan yang

pertama dalam tahun yang sedang jalan.

Pasal 30

Dengan tidak mengurangi tanggung jawab kepala distrik tentang hal menjalankan tugas

kepolisian secara mestinya di seluruh distriknya, maka dalam bagian-bagian distrik di tempat

diadakan kepala-kepala onderdistrik, segala pekerjaan dan kekuasaan yang diserahkan kepada

distrik menurut ketentuan bagian ini, bagian pertama dan bagian kedua pada bab ini, dilakukan

oleh kepala onderdistrik; kepala onderdistrik itulah juga yang menerima dan mengurus segala

yang berhubung dengan pekerjaan dan kekuasaan itu, yang harus. dikirimkan kepada kepala

distrik.

Bagian Keempat

TENTANG BUPATI DAN PATIH

Pasal 31

(1) Di bawah perintah residen, bupati diwajibkan melaksanakan tugas kepolisian dalam

kabupatennya dan mengawasi kepala-kepala distrik serta pegawai dan penjabat lain yang

di bawah perintahnya.

(2) Oleh karena itu ia hendaklah dengan saksama memeriksa adakah polisi dalam

kabupatennya bekerja baik dan adakah pegawai dan penjabat yang di bawah perintahnya

melakukan kewajibannya dalam segala hal.

Pasal 32

(1) Bupati menerima segala surat permohonan dan pengaduan yang dikirimkan kepadanya.

(2) Segala keberatan penduduk tentang perbuatan kepala-kepala polisi yang tidak menurut

hukum atau yang dilakukannya menurut pikirannya sendiri harus dikirimkan kepada

bupati dan bupati itu harus memeriksanya.

(3) Menurut keadaan perkara, bupati hendaklah dengan segera melakukan sesuatu yang

perlu atau mengajukan usul-usul yang perlu kepada residen; tentang sekalian itu ia harus

memberi rencana dengan baik kepadanya.

Pasal 33

Bupati menerima sekalian laporan dan rencana dari kepala-kepala distrik. Tentang laporan

polisi, ringkasannya hendaklah dengan tetap dikirimkannya kepada residen menurut petunjuk

yang diberi residen.

Pasal 34

Bupati hendaklah mengirimkan daftar-daftar yang diterimanya dari kepala-kepala distrik

menurut pasal 29, kepada residen; seberapa perlu dengan menyatakan pertimbangannya.

Pasal 35 Dalam segala pekerjaan jabatannya di seluruh kabupatennya, bupati diwakili oleh patihnya;

patih itu wajib atas nama bupati melakukan segala pekerjaan yang disuruhkannya kepadanya.

Bagian Kelima

TENTANG GUBERNUR DAN RESIDEN

Pasal 36

(1) Residen menjadi kepala polisi dalam residensinya dan berhak akan meminta pertolongan

kekuasaan bersenjata untuk melaksanakan tugas kepolisian itu.

(2) Dalam hal itu sekalian residen diwajibkan saling tolong-menolong dan bantu-membantu.

(3) Dengan tidak mengurangi peraturan pada pasal 180 reglemen tentang organisasi dan

tugas serta-kekuasaan justisi di Indonesia (R.O.), maka dalam propinsi gubernur.

berkuasa memberi instruksi yang dipandang perlu kepada residen yaitu dalam hal

melaksanakan tugas kepolisian dan hal meminta pertolongan kekuasaan bersenjata untuk

pelaksanaan itu; tentang hal itu jika perlu, gubernur sendiri berkuasa pula mengurus hal

itu.

Pasal 37

Kekuasaan urusan atau pekerjaan yang diserahkan kepada residen dalam bab ini, di Surakarta

dilakukan oleh asisten residen yang diwajibkan melakukan pemerintahan dalam suatu daerah,

yaitu dengan memperhatikan peraturan yang khusus untuk itu.

Penjelasan:

Bagian Kedua s/d Bagian Kelima yang tersebut di atas itu menyebutkan pasal-pasal yang

mengatur tentang tugas dan. wewenang Pegawai dan Pejabat Pamong-Praja tentang kepolisian

dalam daerahnya, yaitu:

menyelenggarakan segala usaha, pekerjaan dan kegiatan dalam rangka memelihara

kesejahteraan, kesentausaan, ketertiban dan keamanan umum dan melindungi para anggauta

masyarakat dengan harta-bendanya.

Sejak merdeka, dalam pemerintah Indonesia terlihat hidup suatu cita-cita untuk memisahkan

pekerjaan Pamong-Praja dan Kepolisian Negara.

Sehubungan dengan itu dalam undang-undang No.1 tahun 1946 .terdapat ada banyak

wewenang-wewenang pemberian izin untuk hal-hal tertentu yang semula berada di tangan

pembesar-pembesar Pamong Praja dialihkan menjadi wewenang Polisi Negara.

Di sini mulai terlihat benar langkah-langkah permulaan pemisahan pekerjaan Pamong-Praja

dan Kepolisian Negara.

Pemisahan ini menjadi kenyataan mulai tanggal 1 Juli 1946 dengan dikeluarkannya Penetapan

Pemerintah No.11/S.D/19.46 yang menentukan, bahwa demi pembangunan Kepolisian

Negara, maka Kepolisian Negara dikeluarkan dari lingkungan Kementrian Dalam Negeri dan

dijadikan jawatan tersendiri yang langsung ditempatkan di bawah Perdana Menteri.

Dengan lepasnya Jawatan Kepolisian Negara dari Kementerian Dalam Negeri, maka dalam

tubuh kepolisian lambat laun terjadi perkembangan untuk melepaskan diri sama sekali dari

campur tangan Pamong Praja dalam kepolisian, walaupun hal ini tidak menutup dan malahan

menghargai kerjasama demi kepentingan dan kelancaran pelaksanaan tugas negara.

Jalannya pelaksanaan tugas kepolisian mengalami sedikit kesulitan dengan keluarnya Penetapan

Pemerintah No.19A/S.D/1946 yang menentukan, bahwa para Kepala Daerah (Gubernur dan Residen) tetap bertanggung-jawab atas ketentraman dan keamanan umum dalam daerah

mereka masing-masing, dan memegang pimpinan kepolisian di dalam daerah mereka,

sedangkan sebagai kelanjutan Penetapan Pemerintah tersebut tidak diberikan peraturan

mengenai hubungan antara Gubernur dan Residen dengan Kepala-Kepala Polisi.

Barulah di kemudian hari maka untuk mencegah perselisihan-perselisihan yang timbul karena

keluarnya Kepolisian Negara dari Kementrian dalam Negeri dan masuknya di bawah pimpinan

langsung dari Perdana Menteri, diadakan Instruksi Bersama dari Perdana Menteri, Menteri

Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman tertanggal 14 Pebruari 1947 yang mengatur hubungan

antara Gubernur/Residen dengan pare Kepala Polisi untuk kelancaran pelaksanaan tugas.

Tentang hal ini ditegaskan, bahwa pengawasan Perdana Menteri terhadap tugas Kepolisian

Negara mengenai pertanggungan jawab secara politis tetap .berada di, tangannya, sedangkan

Jaksa Agung masih turut menentukan kebijaksanaan politik polisionil.

Instruksi Bersama itu selanjutnya memuat antara lain pernyataan-pernyataan sebagai di bawah

ini:

1. Pimpinan tertinggi Perdana Menteri dalam garis besarnya melalui Jaksa Agung,

disampaikan kepada Kepolisian Negara.

2. Kepala Kepolisian Negara menyampaikan garis-garis besar pimpinan dan instruksiinstruksi yang dianggap perlu kepala Gubernur untuk diketahui dan kepada Residen

untuk dijalankan.

3. Kepala Daerah (Gubernur dan Residen) di masing-masing daerahnya memegang

pimpinan kepolisian secara politik polisionil sebagai pegawai polisi.

4. Tentang kepolisian kepala Daerah bertanggung-jawab kepada Perdana Menteri.

5. Dengan tidak mengurangi wewenang tersebut pada No.3 di atas ini pimpinan sehari-hari

kepolisian dijalarkan oleh Kepala Kepolisian Keresidenan, yang untuk kepentingan ini

berdiri di bawah Kepala Daerah.

6. Dalam hal-hal ada perselisihan, tersandar atas perbedaan paham tentang instruksiinstruksi Kepala Kepolisian Negara, Kepala Kepolisian Keresidenan diwajibkan

menjalankan dulu perintah-perintah dari para Residen.

7. Jika ada kejadian demikian, maka Kepala Kepolisian Keresidenan menyampaikan

bantahan dengan tulisan kepada Kepala Kepolisian Negara. Tindasan bantahan ini harus

disampaikan kepada Residen, yang dapat memberi penjelasan tentang tindakannya

kepada Kepala Kepolisian Negara.

8. Putusan Kepala Kepolisian Negara yang diambil karena kejadian dalam No.6 dan No.7

di atas akan diturut oleh Kepala Daerah dan Kepala Kepolisian Keresidenan.

9. Pimpinan teknis di daerah berada di tangan Kepala Kepolisian Keresidenan.

10. Jika berhubung dengan pimpinan politik polisionil suatu gerakan polisi harus dijalankan

dengan segera, maka Kepala Daerahnya yang mengambil keputusan sesudah mendapat

advis dari Kepala Kepolisian Keresidenan.

Hubungan antara Kepolisian Negara dan Pamong-Praja sebagaimana ditentukan dalam

Instruksi Bersama di atas itu masih tetap berlaku pula sejak tidak membawahnya lagi

Departemen Kepolisian Negara pada Perdana Menteri pada tanggal 13 Juli 1959, akan tetapi

pada Kementrian Keamanan Nasional, dimana termasuk pula Angkatan Darat, Angkatan Laut

dan Angkatan Udara. Demikian pula pada waktu Polisi Republik Indonesia sebagai unsur

Angkatan Bersenjata sekarang ini. Demikian pula persoalannya, bahwa selama H.I.R. atau R.I.B. itu belum dicabut, maka pasalpasal 3 s/d 37 yang tersebut dalam Bagian Kedua s/d Bagian Kelima tentang turut campur

Pamong-Praja dalam pekerjaan kepolisian tersebut diatas masih tetap berlaku.

BAB KEDUA

TENTANG MENCARI KEJAHATAN DAN PELANGGARAN

Bagian Pertama

TENTANG PEGAWAI DAN PENJABAT YANG DIWAJIBKAN MENCARI

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN

Pasal 38

(1) Urusan melakukan polisi justisi pada bangsa Indonesia dan bangsa Asing diwajibkan

kepada Kepala Kejaksaan pada pengadilan negeri; serta kepada jaksa-jaksa yang

dibantukan kepadanya, masing-masing buat daerah di tempat ia diangkat; mereka itu

wajib menjalankan perintah, yang berhubung dengan itu diperintahkan kepadanya oleh

kepala kejaksaan pada pengadilan tinggi atau oleh jaksa-agung.

(2) Dengan tidak mengurangi peraturan dalam ayat yang lalu dan dengan memperhatikan

pekerjaan dan urusan yang lebih khusus diwajibkan kepada mereka itu masing-masing

berhubung dengan itu, maka jaksa-jaksa pada pengadilan negeri menjalankan

pekerjaannya di bawah pimpinan dan dengan mengingat perintah kepala kejaksaan.

Penjelasan:

1. Dalam pasal ini disebutkan "polisi justisi". Apakah itu? Yang dimaksud dengan "polisi

justisi" yaitu pekerjaan polisi represip, ialah melakukan segala usaha, pekerjaan dan

kegiatan untuk membantu tugas kehakiman guna memberantas perbuatan-perbuatan

yang dapat dipidana yang telah dilakukan, dengan cara menyidik, menangkap dan

menahan yang berbuat salah, memeriksa, menggeledah dan membuat Berita Acara

pemeriksaan pendahuluan dan mengadakan penuntutan pidana di muka pengadilan yang

berwajib serta menjalankan putusan hakim. Ini adalah suatu tugas yang biasanya

dikerjakan oleh para pegawai penyidik dan pegawai penuntut umum, jadi bukanlah suatu

korps atau kesatuan polisi yang diadakan seperti kesatuan polisi Negara dan lain-lain.

2. Pasal ini di zaman Hindia-Belanda berlaku bagi "Bumiputera dan Timur Asing" ' yaitu

orang-orang Indonesia dan orang-orang Asing dari Timur, seperti Cina, Hindia, Arab

dan lain sebagainya.

Di waktu pendudukan Jepang berlaku bagi semua penduduk, kecuali orang-orang

Jepang sendiri.

Adapun di zaman kemerdekaan sekarang ini berlaku bagi semua orang yang berada di

Indonesia, baik bangsa Indonesia maupun bangsa Asing".

3. Urusan melakukan polisi justisi itu di zaman Hindia-Belanda dibebankan kepada "opsir

justisi" dan "magistraat". Kepada opsir justisi dan magistraat diperbantukan "substitut"

atau "ajun".

Di waktu pendudukan Jepang dibebankan kepada "thio kensatsu kyokuco" (kepala

kejaksaan pengadilan negeri) yang berada di bawah pengawasan "kootoo kensatsu

kyokuco" (kepala kejaksaan tinggi). Adapun sekarang ini pekerjaan itu dibebankan

kepada Jaksa Kepala dan Jaksa Negeri (Kejari), di bawah pengawasan Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan di bawah pimpinan tertinggi Kejaksaan Agung (Kejagung), yang pokokpokok susunan dan tugasnya diatur dalam Undang-undang Pokok Kejaksaan (U.U.

tahun 1961 No.15).

Pasal 39

Hal mencari kejahatan dan pelanggaran pada bangsa Indonesia dan pada bangsa Asing,

menurut perbedaan yang dibuat pada reglemen ini dan pada peraturan undang-undang yang

lain, diwajibkan kepada pegawai, penjabat dan orang-orang yang teristimewa yang tersebut di

bawah ini, masing-masing dalam seluruh daerah pegangannya:

(1) kepala desa dan kepala kampung dan sekalian penjabat polisi yang lain yang rendah

pangkatnya, apapun juga namanya dalamnya termasuk juga penjabat polisi di tanah

partikulir demikian juga wijkmeester dan kepala bangsa Asing;

(2) kepala distrik dan kepala onderdistrik, demikian juga manteri polisi yang dibantukan

kepadanya;

(3) pegawai dan penjabat polisi umum (polisi negara);

(4) Jaksa pada Pengadilan Negeri ;

(5) mereka, yang dengan peraturan undang-undang yang khusus disuruh memegang

peraturan itu atau supaya peraturan itu diturut orang dan yang disuruh mencari

perbuatan yang dapat dihukum yang dimaksud di dalam peraturan itu, yakni sekedar,

yang mengenai perbuatan yang dimaksud itu;

(6) pegawai polisi yang tidak dapat gaji, yang diangkat sebagai polisi dengan mengingat

peraturan yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah, masing-masing menurut

kekuasaan yang diberikan kepadanya pada Akte angkatannya.

Penjelasan:

Teranglah menurut pasal 38 H.I.R., bahwa yang diserahi pimpinan kepolisian represip adalah

para Jaksa Negeri yang berada dibawah pimpinan tertinggi Jaksa Agung yang merupakan

Penuntut Umum Tertinggi. Hal ini tidak mengurangkan ketentuan dalam pasal 7.

(1) Undang-undang Pokok Kepolisian (U.U. tahun 1961 No.13), yang menentukan bahwa

Kepala Kepolisian Negara memegang pimpinan penyelenggaraan tugas Kepolisian, baik

preventip, maupun represip.

Untuk kepentingan penuntutan perkara, maka para Jaksa (mereka sendiri masuk juga

sebagai pegawai penyidik) melakukan pengusutan perkara dengan dibantu oleh para

"pegawai pengusut" atau "pegawai penyidik". Siapakah para pegawai penyidik itu? Ialah

para pegawai pejabat dan orang-orang yang disebutkan dalam pasal 39 H.I.R. ini.

Periksalah pasal itu dan bandingkan dengan pasal 1 dan pasal 2 H.I.R. Pasal-pasal 1 dan

2 menunjuk para petugas yang dibebani. dengan kepolisian preventip, sedangkan pasal

39 menunjuk para petugas yang 6iserahi dengan kepolisian represip. Para petugas di situ

tidak semua sama dibebani kewajiban yang bersifat preventip dan represip.

Patih, Bupati dan Residen hanya mempunyai wewenang preventip. Kepala Onderdistrik,

Manteri Polisi dan Jaksa hanya mempunyai tugas kewajiban yang bersifat represip,

sedangkan Kepala Desa, Kepala Distrik, Polisi Negara, Polisi Khusus dan Polisi tak

Bergaji mempunyai tugas kewajiban baik yang bersifat preventip, maupun yang bersifat

represip.

Pada hakekatnya perbedaan antara tugas kewajiban preventip dan tugas kewajiban yang

bersifat represip itu tidak dapat dipandang sebagai suatu hal yang mutlak, oleh karena

sesungguhnya kekuasaan kepolisian itu dengan sendirinya dapat dijalankan kedua arah yaitu preventip dan represip. Bukankah sudah barang tentu, bahwa siapa 'yang

diwajibkan melakukan kepolisian itu berwenang untuk memelihara keamanan dan

ketertiban umum, dengan sendirinya diharuskan pula untuk mencegah (preventip) dan

memberantas (represip) gangguan-gangguan terhadap hal yang dipeliharanya.

(2) Apakah yang dimaksud dengan "mencari kejahatan dan pelanggaran"? Yang dimaksud

yaitu "mengusut" atau "menyidik"" dan menurut pendapat Mr.R. Tresna ialah

"pemeriksaan permulaan oleh pejabat - pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undangundang, segera setelah mereka itu dengan jalan apapun mendengar khabar yang sekedar

beralasan".

Dapat dikatakan pula bahwa "menyidik" berarti melakukan segala usaha pekerjaan dan

kegiatan membantu kehakiman memberantas kejahatan dan pelanggaran, secara

menangkap dan menahan yang berbuat salah, memeriksa, menggeledah dan membuat

Berita Acara pemeriksaan pendahuluan.

Pasal 40

(1) Sekedar tentang peraturan pekerjaan mencari perbuatan yang dapat dihukum, pegawai

dan penjabat polisi umum (polisi negara) demikian juga pegawai dan penjabat Pamongpraja yang di bawah perintah bupati adalah di bawah kuasa dan pengawasan residen

ataupun bupati.

(2) Akan tetapi dengan tidak menunggu perintah yang lebih lanjut dari pegawai-pegawai

yang tersebut penghabisan itu, mereka itu seyogya melakukan tiap-tiap pekerjaan

jabatan, yang diperintahkan kepadanya oleh jaksa pada pengadilan negeri.

(3) Sungguhpun demikian, yaitu kalau hal itu dapat dilakukan dengan tidak mendatangkan

rintangan kepada justisi, permintaan untuk melakukan pekerjaan jabatan itu hendaklah

sesamanya disampaikan dengan perantaraan atau dengan setahu residen yang

bersangkutan ataupun bupati.

(4) Dalam rencana kepada bupati yang dimaksud dalam pasal 28, maka pegawai dan

penjabat Pamong-praja yang dibawah perintah bupati wajib menerangkan juga sekalian

yang telah dilakukannya tentang mencari perbuatan yang dapat dihukum dalam waktu

yang lalu.

Penjelasan:

Dalam mencari kejahatan dan pelanggaran maka para pegawai dan pejabat Pamong-Praja

berada di bawah perintah Bupati, akan tetapi para pegawai dan pejabat Polisi Negara sekarang

tidak lagi di bawah perintah Bupati, namun demikian dalam melakukan tugas penyidikan itu ke

dua golongan pegawai dan pejabat tersebut berkewajiban melaksanakan perintah-perintah yang

diberikan oleh Jaksa kepada mereka.

Pasal 41

(1) Dengan memperhatikan peraturan pada ayat tiga pasal ini, maka dalam hal ada

kedapatan kejahatan atau pelanggaran, pegawai, penjabat dan orang-orang yang

teristimewa yang diwajibkan mencari kejahatan dan pelanggaran yaitu yang bukan

pegawai penuntut umum dan bukan pula jaksa pembantu, haruslah membuat prosesperbal tentang yang didapatnya; proses-perbal itu mesti diberi tanggal dan sedapatdapatnya harus pula berisi sifat keadaan itu, waktu terjadinya, tempatnya dan bagaimana

peri halnya ia dilakukan, demikian juga keterangan-keterangan dan petunjuk-petunjuk

yang memberatkan bagi orang yang diduga bersalah. Penjelasan:

1. Yang diharuskan membuat proses-perbal dalam pasal ini adalah semua pegawai

penyidik, kecuali yang menjabat Jaksa, Jaksa Pembantu dan, mereka yang tersebut dalam

pasal 39 pada 1 (kepala desa dan lain-lainnya).

2. Yang dimaksud dengan "proses-perbal" yaitu "berita-acara", ialah suatu tulisan yang

dibuat oleh pegawai atau pejabat yang diwajibkan untuk itu oleh undang-undang, diberi

bertanggal dan ditandatangani, berisi uraian kejadian-kejadian 'atau keadaan-keadaan

yang dilihat, didengar dan dialami sendiri atau yang disampaikan oleh orang lain kepada

mereka itu,:atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah di kemudian hari.

Proses perbal itu termasuk dalam pengertian "surat-surat" yang tersebut dalam pasal 295

H.I.R. dan berlaku sebagai bukti yang syah.

3. Yang dimaksud dengan "Jaksa Pembantu" yaitu "Hulp-magistraat, ialah kepala distrik,

kepala onderdistrik (camat), pegawai Polisi Negara yang berpangkat manteri polisi atau

pembantu-pembantu inspektur-polisi (sekarang pembantu letnan) ke atas dan mereka

yang dengan khusus ditunjuk oleh Jaksa Agung untuk itu dengan persetujuan Gubernur,

Kepala Daerah.

4. Menurut ayat 3 pasal ini, maka orang-orang yang tersebut dalam pasal 39 sub, 1 (kepala

desa dan lain-lain) pada menjumpai peristiwa' pidana tidak perlu membuat prosesperbal, akan tetapi mereka itu hanya diharuskan memberitahukan semua hal-hal yang

telah dilakukannya dengan selekas-lekasnya kepada Jaksa atau Jaksa Pembantu yang

terdekat.

Pasal 42

Pegawai, penjabat dan orang-orang yang teristimewa yang diwajibkan mencari kejahatan dan

pelanggaran selanjutnya haruslah mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk

melakukan sesuatu kejahatan, demikian juga barang-barang yang dicuri dan umumnya sekalian

barang-barang yang didapat atau dihasilkan dengan jalan kejahatan atau pelanggaran atau jadi

ganti barang-barang itu; untuk melakukan pekerjaan itu mereka itu tidak boleh memasuki

rumah, atau gedung-gedung yang lain atau tempat-tempat yang ditutup yaitu dalam hal yang

lain dari yang pasti diizinkan menurut reglemen ini atau menurut peraturan undang-undang

yang lain. Bila diduganya, bahwa barang-barang itu ada disimpan di situ, maka hal itu

hendaklah segera diberitahukannya kepada pembesar yang disebut dalam ayat dua pasal yang

lalu.

Penjelasan:

1. Menurut pasal ini maka para pegawai penyidik dalam melakukan penyidikan

diwenangkan untuk merampas atau membeslag barang-barang tertentu yang ada

sangkut-pautnya dengan kejahatan dan pelanggaran, tetapi tidak di izinkan memasuki

rumah atau tempat-tempat yang tertutup lain-lainnya. Kalau ada dugaan, bahwa barangbarang yang dicari itu tersimpan di rumah atau tempat-tempat tersebut mereka harus

memberitahukan hal itu kepada Jaksa atau Jaksa Pembantu terdekat yang akan

menyelesaikan hal itu lebih lanjut.

2. Barang-barang yang perlu dibeslag itu dapat digolong-golongkan sebagai berikut:

a. Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana, seperti misalnya barangbarang yang dicuri, digelapkan, ditipu dan lain sebagainya.

b. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana, seperti misalnya uang

logam atau uang kertas palsu yang telah dibuat oleh terdakwa. Barang-barang tersebut pada sub a dan b ini adalah barang-barang yang biasa

disebut "corpora delicti".

c. Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana, seperti

misalnya golok atau pistol yang dipakai untuk menganiaya atau membunuh orang,

golok atau alat lain yang dipergunakan membongkar rum ah untuk mencuri, racun

untuk membunuh, alat-alat untuk membuat uang palsu dan lain sebagainya, yang

biasa disebut "instrumenta delicti".

d. Barang-barang lain yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk memberatkan

atau meringankan kesalahan terdakwa, seperti misalnya pakaian kena darah yang

dipakai tersangka membunuh orang, kaca jendela yang ada bekas telapak jari dari

orang yang mencuri dan lain sebagainya, yang termasuk pula dalam sebutan

"corpora delicti".

3. Peraturan tentang penggeledahan yang tersebut dalam pasal ini adalah merupakan

peraturan umum. Ada peraturan-peraturan khusus yang dalam hal membeslag barangbarang bukti mengizinkan kepada para pegawai penyidik itu untuk masuk ke dalam

rumah atau tempat-tempat yang tertutup, seperti misalnya:

1) dalam hal menyidik kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan yang tersebut dalam

pasal-pasal 282, 283, 292, 295, 297, 299 dan 303 K.U.H.P. (Lembaran Negara

Republik Indonesia tahun 1914 No.631 dan 632, diubah dengan Lembaran

Negara tahun 1941 No.31 dan 98).

2) dalam hal menyidik kejahatan-kejahatan terhadap keamanan Negara sebagaimana

tersebut dalam pasal-pasal 104-108, 110 dan 111 bis K.U.H.P. (Lembaran Negara

Republik Indonesia tahun 1930 No.31).

Kedua peraturan khusus tersebut di atas ini memberi wewenang kepada para pegawai

penyidik untuk menuntut penyerahan barang-barang yang akan dijadikan, bukti dari

orang yang bersangkutan, dan mereka itu dinyatakan berwenang setiap waktu memasuki

segala tempat, bahkan apabila mereka tidak diperbolehkan masuk, mereka dapat

menggunakan paksaan.

Pasal 43

(1) Tiap-tiap kekuasaan yang diadakan, tiap-tiap pegawai umum, yang dalam menjalankan

jabatannya mendapat tahu bahwa ada sesuatu kejahatan, haruslah dengan segera

memberitahukan hal itu kepada pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu pada

pengadilan negeri yang berkuasa di daerah hukum tempat kejahatan itu terjadi atau di

tempat sitertuduh diam atau boleh kedapatan, dan harus pula mengirimkan sekalian

surat-surat, proses-perbal dan akte-akte yang berhubung dengan perkara itu, kepada

pegawai atau jaksa-pembantu itu.

(2) Berita yang dimaksud dalam ayat yang lalu boleh juga diberitahukan kepada bupati,

demikian juga boleh surat-surat yang dimaksud di situ dikirimkan kepadanya. Bupati

memberitahukan yang diberitakan kepadanya itu kepada jaksa, atau, yaitu sejalan dengan

mengabarkannya kepada jaksa, kepada jaksa-pembantu yang dianggap berhak dalam

daerahnya; surat-surat yang diterimanya, dikirimkannya bersama-sama, baik dalam hal'

yang pertama maupun dalam hal yang kedua.

Penjelasan:

1. "Tiap-tiap kekuasaan yang diadakan, tiap-tiap pegawai umum" artinya tiap-tiap pejabat

dan pegawai dari instansi pemerintah. 2. Apakah sanksinya, apabila kewajiban itu dilalaikan? Terhadap pegawai negeri itu dapat

diambil tindakan administratip, seperti misalnya celaan, penurunan pangkat, pencopotan

dan lain sebagainya. Pada umumnya kelalaian ini memang tidak ada sanksinya pidana,

kecuali apabila kelalaian itu mengenai pemberitahuan atau laporan tentang kejadiankejadian besar yang ditentukan dalam pasal-pasal 164 dan 165.

Pasal 164 K.U.H.P. mengandung ancaman pidana terhadap mereka yang dengan sengaja

melalaikan untuk melaporkan kepada pegawai polisi atau justisi pada saat yang tepat, yaitu

pada waktu suatu perbuatan tindak pidana masih dapat dihindarkan, sedangkan mereka

mengetahui tentang adanya permupakatan jahat untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang

ditentukan dalam pasal itu.

Pasal 165 K.U.H.P. mengandung ancaman pidana terhadap mereka yang mengetahui tentang

adanya niat untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang disebutkan dalam pasal itu, tetapi tidak

melaporkan kepada pegawai polisi atau justisi pada waktu yang tepat, sebelumnya terjadi

perbuatan, sedangkan pada waktu itu kejahatan masih dapat dihindarkan.

Pasal 44

(1) Tiap-tiap orang yang menyaksikan sesuatu makar kepada ketenteraman dan keamanan

umum, atau kepada jiwa atau milik mutlak, hendaklah juga dengan segera

memberitahukan hal itu kepada pegawai penuntut umum pada pengadilan negeri, yang

berkuasa di tempat perbuatan itu dilakukan, atau kepada pengadilan negeri yang

berkuasa di tempat tinggal sitertuduh atau di tempat ia boleh kedapatan, atau kepada

jaksa pembantu, atau kepada pegawai polisi yang sedekat-dekatnya.

(2) Pasal 43, ayat dua berlaku sejalan dengan itu.

(3) Peraturan dalam ayat pertama tidak berlaku pada orang-orang yang tersebut pada pasal

274.

Penjelasan:

1. Bandingkan dengan pasal 43. Jika pasal 43 menunjukkan keharusan itu kepada "tiap-tiap

pejabat dan pegawai pemerintah", maka pasal 44 mengharuskan kepada "tiap-tiap

orang", baik pejabat pemerintah maupun orang-orang swasta.

2. Apakah sanksinya terhadap orang yang melalaikan kewajiban yang tersebut dalam pasal

ini.

Terhadap Pegawai Negeri dapat diambil tindakan administratip, seperti misalnya celaan,

penurunan pangkat atau pencopotan, sedangkan terhadap orang biasa tidak ada

sanksinya, oleh karena kewajiban ini rupanya hanya suatu keharusan moril saja untuk

dituntut dari tiap-tiap warga negara terhadap Negara untuk turut serta dalam pembinaan

keamanan umum.

Walaupun demikian, apabila kelalaian itu mengenai pemberitahuan atau laporan tentang

kejadian-kejadian besar yang ditentukan dalam pasal-pasal 164 dan 165 K.U.H.P.

diancam dengan pidana pula (Iihat pasal-pasal 164 dan 165 K.U.H.P.).

3. Keharusan yang tersebut dalam pasal ini tidak berlaku bagi orang-orang yang tersebut

dalam pasal 274 H.I.R., yaitu orang-orang yang mempunyai hak untuk mengundurkan

diri dari memberikan kesaksian di muka pengadilan.

Pasal 45

(1) Tiap-tiap orang terhadap siapa dilakukan perbuatan yang dapat dihukum atau yang

mengetahui peri hal itu, berhak tentang itu mengajukan pengaduan atau memberitahukan hal itu kepada salah seorang pegawai atau penjabat yang tersebut dalam

pasal 39, atau kepada bupati.

(2) Pengaduan dan pemberitahuan dengan surat harus ditandatangani.

(3) Pengaduan dan pemberitahuan dengan lisan harus disuratkan, yaitu oleh pegawai yang

menerimanya; surat itu ditandatangani oleh pegawai itu, demikian juga oleh orang yang

mengadu atau orang yang memberitahukan, kalau mereka itu pandai menulis.

(4) Kalau orang yang mengadu atau orang yang memberitahukan itu tidak pandai menulis,

maka hal itu hendaklah disebutkan.

(5) Peraturan dalam ketiga ayat yang lalu dalam pasal ini tidak berlaku pada pengaduan atau

pemberitahuan tentang perbuatan yang dapat dihukum, yang disampaikan kepada orangorang yang tersebut dalam pasal 39 pada 1°. Orang-orang itu hendaklah dengan selekaslekasnya memberitahukan pengaduan atau pemberitahuan yang dimaksud itu kepada

pegawai penuntut umum jaksa-pembantu yang sedekat-dekatnya.

(6) Bupati hendaklah mengirimkan pengaduan dan pemberitahuan dengan surat yang

disampaikan kepadanya dan pengaduan dan pemberitahuan dengan lisan yang

dituliskannya, kepada jaksa, atau, yaitu sejalan dengan mengabarkannya kepada jaksa,

kepada jaksa-pembantu yang dianggapnya berhak dalam daerahnya.

Penjelasan:

1. "Tiap-tiap orang terhadap siapa dilakukan perbuatan yang boleh dihukum" artinya "tiaptiap orang yang kena peristiwa pidana"

2. "Mengadu dan memberitahu" yang diletakkan dalam pasal ini merupakan suatu "hak",

sehingga yang berkepentingan mempunyai kebebasan untuk mempergunakan atau tidak

mempergunakan haknya itu, artinya orang yang misalnya kecurian itu (kena peristiwa

pidana) adalah bebas untuk, melapor atau tidak melapor kepada polisi. Kalau ia tidak

melapor, tidak ada sanksi pidananya.

Dalam hal ini ada kecualiannya, yaitu dalam hal apabila laporan atau pemberitahuan atau

mengenai kasus-kasus besar sebagaimana yang diterangkan dalam pasal-pasal 164 dan

165 K.U.H.P. (Lihat pula penjelasan pada pasal 44 H.I.R.).

3. Apakah bedanya "pemberitahuan" dan "pengaduan"? Untuk menjawab pertanyaan ini

harus diketahui, bahwa pada umumnya pegawai penyidik apabila mengetahui suatu

peristiwa pidana yang dilakukan, dengan tidak tergantung kepada kehendak atau

permintaan orang yang menderita peristiwa itu, harus bertindak mengadakan penyidikan

dan penuntutan di muka pengadilan yang berwajib, (delik-delik yang menurut jabatan

harus dituntut, seperti misalnya penganiayaan pasal 351 K.U.H.P., pembunuhan pasal

338 K.U.H.P. dan lain sebagainya). Di samping itu ada beberapa peristiwa pidana yang

penuntutannya digantungkan kepada kehendak atau permintaan orang yang kena

peristiwa itu (delik-delik aduan, seperti misalnya perzinahan pasal 284 K.U.H.P. = delik

aduan absolut, pencurian dalam kalangan keluarga pasal 367 K.U.H.P. = delik aduan

relatip) dan lain sebagainya. Delik-delik aduan semacam ini hanya dapat dituntut apabila

ada kehendak dari orang yang kena delik itu. Kehendak ini dinyatakan dalam bentuk

"pengaduan" yang diajukan kepada pegawai penyidik.

Jadi pengaduan adalah suatu pemberitahuan yang disertai dengan permintaan untuk

menuntut peristiwa itu. Adapun pemberitahuan adalah pemberitahuan belaka tanpa

embel-embel suatu permintaan untuk menuntut peristiwanya, oleh karena tanpa

permintaan pun peristiwanya senantiasa dapat dituntut (delik yang menurut jabatan

harus dituntut). 4. Pengaduan dan pemberitahuan dalam pasal ini dapat diajukan dalam dua cara, yaitu

secara tertulis atau secara lisan. Kalau secara tertulis, suratnya harus diberi tanda tangan,

kalau tidak, akan dianggap surat kaleng dan tidak akan ditanggapi. Biasanya apabila

pegawai penyidik menerima pengaduan atau pemberitahuan dengan surat, maka orang

yang mengadu atau memberitahu di panggil datang di kantor polisi guna memberi

keterangan lebih lanjut dan keterangannya itu dituliskan dalam proses perbal. Sudah

barang tentu surat pengaduan atau pemberitahuannya dilampirkan pada proses-perbal

itu.

Apabila pengaduan atau pemberitahuan itu dilakukan secara lisan, maka orangnya harus

datang di kantor polisi bertemu dengan pejabat polisi yang khusus ditunjuk untuk

menerimanya. Pengaduan atau pemberitahuannya oleh pejabat itu diterima, dituliskan

dalam bentuk proses-perbal atau laporan polisi yang harus ditanda-tangani oleh pejabat

dan orang yang memberitahu, jika orang ini pandai menulis, jika tidak, hal itu harus

disebutkan dalam proses-perbal itu.

Pejabat-pejabat yang tersebut dalam pasal 39 sub.1, yaitu kepala desa dan lain-lain,

apabila menerima pengaduan atau pemberitahuan lisan dari penduduk, tidak usah

membuat proses-perbal, tetapi cukup memberitahukan hal itu selekas-lekasnya kepada

Jaksa atau Jaksa Pembantu yang terdekat.

Bagian Kedua

TENTANG PEGAWAI PENUNTUT UMUM PADA PENGADILAN NEGERI

Pasal 46

(1) Pegawai-pegawai penuntut umum pada pengadilan negeri diwajibkan karena jabatannya

mengusut dengan saksama sekalian kejahatan dan pelanggaran dan menuntutnya, yaitu

yang masuk pemeriksaan pengadilan negeri.

(2) Kalau tidak ditentukan orang yang lain, maka yang dikatakan pegawai-pegawai penuntut

umum dalam reglemen ini, ialah jaksa jaksa pada pengadilan negeri.

(3) Kalau tidak ditentukan orang yang lain, di mana dikatakan jaksa dalam reglemen. ini,

yang dimaksud ialah jaksa pada pengadilan negeri.

Penjelasan:

1. Yang ditentukan dalam pasal ini ialah:

a. bahwa tugas pegawai Penuntut Umum yaitu karena jabatannya harus menyidik

dan menuntut semua kejahatan dan pelanggaran yang terjadi dalam daerah

hukumnya, di muka pengadilan Negeri dan Pengadilan Kepolisian;

b. bahwa yang menjabat sebagai Pegawai Penuntut Umum itu apabila. tidak

ditentukan lain, adalah Jaksa pada Pengadilan Negeri atau Jaksa Negeri.

2. Yang dimaksud dengan "Pengadilan Kepolisian" yaitu pengadilan yang di zaman HindiaBelanda disebut "Landgerecht", di zaman pendudukan Jepang "Keizai Hooin", di zaman

Proklamasi Kemerdekaan "Pengadilan Kepolisian" dan yang dengan Undang-undang

Darurat tahun 1951 No.1 dihapuskan dan disatukan dengan Pengadilan Negeri sampai

pada waktu sekarang ini.

3. Pembentukan lembaga "Penuntut Umum" pada Pengadilan Negeri ini adalah perbedaan

yang penting antara "Inlandsch Reglement" (I.R.) dan "Herzien Inlandsch Reglement"

(H.I.R.). Dengan adanya Penuntut Umum.ini maka sifat penyidikan dan penuntutan perkara

pidana menjadi publik, artinya penuntutan bukan diadakan oleh orang perorangan, akan

tetapi oleh kekuasaan umum (Negara). Disini alat Penuntut Umum itu merupakan suatu

kekuasaan yang atas nama Negara dan masyarakat berwenang mengadakan tuntutan dan

mengatur jalannya tuntutan itu serta melaksanakan pidana-pidana yang dijatuhkan oleh

Pengadilan Pidana

Badan Penuntut itu tidak termasuk golongan hakim. Pada hakekatnya ia termasuk

golongan "magistratuur" (pengadilan) pula, Penuntut Umum biasanya disebut "staande

magistratuur", sedangkan Hakim adalah "Zittende magistratuur".

Disebut demikian karena Penuntut Umum mengucapkan tuntutannya sambil berdiri,

sedangkan Hakim mengucapkan keputusannya dengan tetap duduk dikursinya.

4. Pada hakekatnya dalam menggerakkan aparat kehakiman Penuntut Umum lebih

berperan dari pada Hakim. Meskipun nyata ada suatu peristiwa pidana dilakukan oleh

seseorang, Penuntut Umum berwenang untuk menghentikan perkaranya, jika untuk

kepentingan umum lebih baik perkara itu tidak dilanjutkan ke muka pengadilan.

Wewenang ini biasa disebut pula wewenang untuk "mendeponir" (menyimpan) suatu

perkara, dan diberikan kepada Penuntut Umum berdasarkan atas prinsip oportunitas

yang berlawanan dengan prinsip legalitas.

Berdasarkan kebiasaan (hukum yang tidak tertulis) dan juga berdasarkan ketentuan yang

tersebut dalam pasal 8 Undang-undang Pokok Kejaksaan (U.U. 1961 No.15), di.

Indonesia dianut prinsip oportunitas.;

Pasal 47

(1) Yang sama-sama berhak menjalankan pekerjaan-pekerjaan jabatan yang dimaksud dalam

pasal yang lain, yaitu pegawai-pegawai penuntut umum pada pengadilan negeri, yang

berkuasa di tempat kejahatan atau pelanggaran itu dilakukan; pengadilan negeri, yang

berkuasa di tempat sitertuduh diam; pengadilan negeri, yang berkuasa di tempat

sitertuduh dapat dicari.

(2) Kalau pekerjaan itu serempak diurus oleh pegawai-pegawai itu, maka di antara mereka

itu yang diwajibkan menuntut perkara itu, selamanya ialah yang terlebih dulu tersebut

pada susunan yang di atas ini.

Pasal 48

Kalau kejahatan dilakukan di luar negeri, maka pekerjaan jabatan itu, yaitu apabila kejahatan itu

dapat dituntut dalam negeri ini, dilakukan oleh pegawai-pegawai penuntut umum pada

pengadilan negeri yang berkuasa di tempat sitertuduh itu diam, di tempat tinggalnya yang

penghabisan sekali yang diketahui.

Penjelasan:

(1) Kedua pasal ini mengatur kekuasaan Pegawai Penuntut Umum pada Pengadilan Negeri,

kekuasaan mana sama dengan kekuasaan Pengadilan. Negeri untuk mengadili yang

berhubungan dengan daerah hukumnya yang biasa disebut kekuasaan relatip.

(2) Menurut pasal 47 maka yang sama-sama berkuasa bertindak ialah Pegawai Penuntut

Umum pada:

a. Pengadilan Negeri yang berkuasa di tempat peristiwa pidana itu dilakukan (locus

delicti);

b. Pengadilan Negeri yang berkuasa di tempat tersangka diam atau berada; c. Pengadilan Negeri yang berkuasa di tempat tersangka dapat dicari, artinya

tertangkap.

Apabila terjadi bahwa pekerjaan itu serempak bersama-sama diurus oleh pegawaipegawai tersebut, maka diantara mereka yang diwajibkan menuntut perkara ialah

pegawai yang teratas disebutkan pada urutan di atas ini.

(3) Menurut pasal 48 maka apabila peristiwa pidana dilakukan di luar negeri dan peristiwa

itu dapat dituntut di dalam negeri, maka yang berkuasa bertindak ialah pegawai Penuntut

Umum pada:

a. Pengadilan Negeri yang berkuasa di tempat tersangka diam atau berada, atau

b. Pengadilan Negeri yang berkuasa di tempat, tersangka diketahui paling

penghabisan bertempat tinggal.

Pasal 49

Dalam hal melakukan pekerjaan jabatannya, maka pegawai-pegawai penuntut umum berhak

dengan segera meminta pertolongan kekuasaan sipil umum atau kekuasaan bersenjata.

Penjelasan:

Dalam melaksanakan tugas penyidikan dan penuntutan Pegawai Penuntut Umum

diwenangkan untuk minta bantuan kepada kekuasaan sipil umum dan kekuasaan bersenjata,

artinya kepada Pamong-Praja, Polisi dan Tentara dan mereka' ini berwajib untuk memberikan

pertolongan itu.

Pasal 50

(1) Dalam hal mana pegawai-pegawai penuntut. umum harus mengirimkan berita, antara

mereka sama mereka tentang perbuatan yang dapat dihukum yang sampai diketahuinya,

demikian juga bagaimana cara mengirimkan itu, diatur oleh jaksa-agung; jaksa-agung

juga akan menetapkan peraturan tentang hal jaksa pada pengadilan tinggi mengawasi

pegawai-pegawai penuntut umum pada pengadilan negeri yang di dalam daerahnya dan

tentang hal kepala kejaksaan pada pengadilan negeri mengawasi pegawai-pegawai

penuntut umum yang lain yang di bawah perintahnya pada pengadilan negeri itu.

(2) Dengan tidak mengurangi kewajibannya supaya bekerja dengan segera, maka mereka itu

harus menurut peraturan pembesar yang langsung di atasnya, yang dinyatakan pada ayat

yang lalu pasal ini, yaitu peraturan yang diperintahkannya kepada mereka itu untuk

melakukan pemeriksaan atau tuntutan.

Pasal 51

Surat perintah yang diberikan oleh hakim dalam perkara itu hendaklah diurus dikirimkan,

disampaikan atau diberitahukan dan dijalankan.

Pasal 52

Bila dengan jalan pengaduan atau pemberitahuan atau dengan cara lain, pegawai penuntut

umum mengetahui, bahwa dalam daerahnya ada dilakukan kejahatan atau orang yang disangka

bersalah dalam hal itu ada dalam daerahnya, maka menurut keadaan, ia wajib mula-mula

mencari atau menyuruh mencari sekalian keterangan yang boleh dipakai supaya perkara itu

menjadi terang. Bagian Ketiga

TENTANG JAKSA-PEMBANTU

Pasal 53

(1) Jaksa Pembantu pada pengadilan negeri ialah, kepala distrik, kepala onderdistrik,

demikian juga pegawai-pegawai polisi umum (polisi negara) yang sekurang-kurangnya

berpangkat pembantu-inspektur polisi dan pegawai polisi yang teristimewa ditunjuk oleh

jaksa agung untuk itu dengan persetujuan gubernur, masing-masing dalam seluruh

daerah pegangannya.

(2) Dalam jabatannya sebagai jaksa Pembantu, maka seperti .pegawai penuntut umum juga,

mereka itu hendaklah juga menerima pengaduan atau pemberitahuan tentang kejahatan

dan pelanggaran yang masuk pemeriksaan pengadilan negeri.

Penjelasan:

1. Istilah asli "Jaksa Pembantu" adalah kata bahasa Belanda "Hulp-Magistraat". Kata ini

ada yang menterjemahkan menjadi "Jaksa Pembantu". dan ada yang menjadi "Pembantu

Jaksa". Kami cenderung untuk memakai kata "Jaksa-Pembantu", oleh karena tugas

penjabat bukan sekedar menjadi "pembantu" Jaksa, akan tetapi menjadi "Jaksa",

walaupun bukan Jaksa penuh, bukan Jaksa Tinggi, akan tetapi Jaksa Pembantu.

2. Yang menjabat Jaksa Pembantu ialah:

a. Kepala Distrik (Wedana),

b. Kepala Onderdistrik (Camat),

c. Pegawai Polisi Negara yang sekurang-kurangnya berpangkat Manteri Polisi dam

d. Pegawai Polisi lainnya yang untuk itu khusus ditunjuk oleh Jaksa Agung dengan

persetujuan Gubernur, Kepala Daerah.

3. Kesimpulan pasal ini dapat dikatakan, bahwa pejabat-pejabat Pamong-Praja yang

berpangkat Patih ke atas dan yang berpangkat di bawah Kepala Onderdistrik (Camat),

bukanlah Jaksa-Pembantu. Wedana dan Asisten Wedana yang diperbantukan di Kantorkantor Kabupaten, Karesidenan atau Gubernuran dan lain-lain, oleh karena mereka itu

tidak mempunyai pertanggungan jawab atau mengepalai suatu daerah yang tertentu,

bukanlah Jaksa Pembantu. ;Bukankah dalam pasal 63 (1) H.I.R. itu ada kalimat yang

berbunyi: "masing-masing dalam daerah pegangannya". Demikian pula para Manteri

Polisi Pamong-Praja berhubungan dengan jabatannya tidak dengan sendirinya menjadi

Jaksa Pembantu, oleh sebab mereka itu bukanlah Manteri Polisi pada Kepolisian Negara.

Para Manteri Polisi Pamong-Praja itu untuk memperoleh wewenang sebagai Jaksa

Pembantu membutuhkan penunjukkan khusus terlebih dahulu dengan surat

pengangkatan dari Jaksa Agung dengan persetujuan Gubernur, Kepala Daerah yang

bersangkutan.

4. Sebagaimana tersebut di atas maka dalam Kepolisian Negara yang menurut jabatannya

menjadi Jaksa Pembantu adalah mereka yang berpangkat Manteri Polisi keatas. Dalam

kepangkatan Kepolisian Negara sekarang ini pangkat "Manteri Polisi" sudah tidak ada

lagi. Dalam hal ini dapatlah diterangkan, bahwa sebelum pendudukan Jepang pangkat

Manteri Polisi berada diantara pangkat "Hoofdagent " dan Inspecteur van Politie". Oleh

Pemerintah Tentara Jepang "Hoofd-agent"' tingkat II dijadikan Nitto Keibuho,

sedangkan "Hoofdagent" tingkat I, Manteri Polisi dan Manteri Polisi tingkat I dijadikan

Itto Keibuho. Setelah kemerdekaan Indonesia maka Pangkat Itto Keibuho dijadikan Pembantu Inspektur Polisi kelas II dan I, sedangkan pangkat Manteri Polisi tidak ada

lagi.

Di zaman Pemerintahan Prae-Federal pun pangkat Manteri Polisi tidak dikenal pula.

Manteri Polisi jika diangkat dalam susunan Algernene Politie dijadikan "Ajunct

Hoofdreserche" atau "Hoofdreserche" Polisi kelas II, pangkat-pangkat mana dalam

persesuaian polisi Prea-Federal kepada Polisi Republik Indonesia, menjadi Komandan

Polisi dan Pembantu Inspektur kelas II.

Dalam surat edaran Kepala Kepolisian Negara tertanggal 1 Jogyakarta 20 Maret 1950

No.Pol. 24/1/24/S ditetapkan bahwa pangkat Pembantu Inspektur Polisi kelas II itu

dapat disamakan dengan, Manteri Polisi.

Apabila dilihat dari perkembangan kepangkatan kepolisian di atas itu dapat dianggap

bahwa dalam Kepolisian Negara yang menurut jabatannya menjadi Jaksa Pembantu

adalah pegawai polisi yang berpangkat serendah-rendahnya Pembantu Inspektur Polisi

kelas II dan yang kemudian menjadi Ajun Inspektur Polisi tingkat II dan yang sekarang

ini menjadi Pembantu Letnan II ke atas.

Pejabat Polisi Negara yang di bawah pangkat Pembantu Letnan II, sebagaimana telah

diterangkan di atas, dapat pula bertindak sebagai Jaksa Pembantu, apabila secara khusus

dengan surat pengangkatan ditunjuk oleh Jaksa Agung atas usul dari Kepala Polisi yang

bersangkutan dengan persetujuan Gubernur, Kepala Daerah.

Pasal 54

Kalau sesuatu hal serempak diurus oleh pegawai-pegawai penuntut umum dan oleh jaksapembantu, maka jaksa-pembantu selanjutnya hendaklah berhenti mengerjakan urusan itu dan

menyerahkannya kepada pegawai penuntut umum, kecuali kalau jaksa-pembantu itu

dipersilahkan oleh pegawai itu akan melanjutkan pekerjaan yang telah dimulainya. itu atau akan

membantu pegawai tersebut.

Penjelasan:

Dalam pasal ini ditentukan, bahwa apabila seorang Jaksa Pembantu mengurus suatu perkara,

sedangkan serempak pada waktu itu juga perkara tersebut diurus pula oleh Pegawai Penuntut

umum (Jaksa), maka selanjutnya Jaksa Pembantu harus menghentikan pengurusannya dan

menyerahkan perkara itu kepada Pegawai Penuntut Umum,, kecuali apabila pejabat ini

menyerahkan pengurusan perkara itu kepada Jaksa Pembantu.

Pasal 55

(1) Dengan memperhatikan peraturan dalam pasal 74 dan pasal 83f, maka jaksa-pembantu

hendaklah dengan segera mengirimkan pemberitahuan, proses-perbal, dan akte-akte

yang lain yang dibuatnya, demikian juga barang-barang yang disitanya, kepada jaksa pada

pengadilan negeri; tentang itu jaksa itu hendaklah berlaku seperti ditetapkan dalam pasal

52.

(2) Proses-perbal itu hendaklah diberi, bertanggal dan seberapa dapat mesti berisi-perbuatan

yang dapat menyebabkan akan menuntut sitertuduh, dengan menerangkan waktu,

tempat dan keadaan perbuatan itu dilakukan, nama dan tempat diam sitertuduh dan

saksi-saksi, isi keterangannya yang semata-mata mengenai perbuatan itu dan lagi sekalian

yang lain yang dianggap penting untuk mengurus perkara itu.

(3) Jaksa-pembantu hendaklah memberitahukan tentang hal pengiriman itu kepada bupati,

dengan menyebutkan nama sitertuduh yang menyebabkan ia menjadi tertuduh. Penjelasan:

1. Di sini ditentukan bahwa Jaksa Pembantu harus menyampaikan pemberitahuan, beritaacara dan akte-akte lainnya, artinya mengirimkan berita-acara pemeriksaan pendahuluan

dengan surat-surat lampirannya, yaitu yang lazim disebut "berkas perkara" beserta

barang-barang buktinya yang ada, kepada Jaksa Pengadilan Negeri.

2. Proses-perbal yang dikirimkan itu harus lengkap, maksudnya harus berisikan:

a. tanggal dibuatnya, jenis peristiwa pidana yang dituduhkan kepada tersangka,

lengkap dengan menyebutkan semua unsur-unsurnya,

b. waktu, tempat dan keadaan peristiwa itu dilakukan,

c. identitas tersangka dan saksi-saksi beserta apa yang mereka terangkan mengenai

peristiwa itu.

d. Lain-lain hal yang penting untuk menerangkan perkaranya.

3. Oleh karena pada waktu sekarang ini Bupati tidak aktip lagi menjalankan pimpinan

kepolisian, maka pemberitahuan yang tersebut dalam ayat (3) pasal ini tidak lagi

disampaikan kepada Bupati,'akan tetapi kepada Komandan Resort Kepolisian R.I.

Pasal 56

(1) Atas permintaan pegawai penuntut umum pada pengadilan. negeri maka jaksa-pembantu

haruslah memberi sekalian keterangan dan melakukan pemeriksaan tentang kejahatan

dan pelanggaran yang diwajibkan kepadanya untuk menuntutnya.

(2) Bila jaksa-pembantu yang di bawah perintah bupati kurang memenuhi kewajibannya

menurut reglemen ini, maka hal itu diberitahukan oleh pegawai penuntut umum kepada

bupati; hal itu diperiksa oleh bupati dan- kalau perlu dijalankannya peraturan yang harus

dilakukan dalam hal itu.

Penjelasan:

Para pegawai yang menjabat sebagai Jaksa Pembantu sudah barang tentu sehari-harinya

bekerja hierarchis di bawah perintah Kepala Jawatannya masing-masing, akan tetapi di dalam

tugas mereka sebagai Jaksa Pembantu mereka itu- berada di bawah perintah Pegawai Penuntut

Umum (Jaksa) dan harus melaksanakan segala apa yang diminta oleh pejabat ini dalam

penyidikan dan penuntutan perkara.

Bagian Keempat

TENTANG KEDAPATAN TENGAH BERBUAT

Pasal 57

Kedapatan tengah berbuat yaitu, bila kejahatan atau pelanggan kedapatan sedang dilakukan,

atau dengan segera kedapatan sesudah dilakukan, atau bila dengan segera sesudah itu ada

orang diserukan oleh suara ramai sebagai orang yang melakukannya, atau bila padanya

kedapatan barang-barang, senjata-senjata, alat perkakas atau surat-surat yang menunjukkan

bahwa kejahatan atau pelanggaran itu ia yang melakukan atau membantu melakukannya.

Penjelasan:

Istilah "kedapatan tengah berbuat" kata aslinya adalah perkataan bahasa Belanda "ontdekking

op heeterdaad", ada yang menterjemahkan dengan kata-kata "ketahuan seketika", tertangkap

tangan" dan "tertangkap basah". Arti sehari-hari perkataan itu memang peristiwa itu "ketahuan

tengah atau sedang dilakukan", akan tetapi, menurut pengertian yuridis menurut pasal ini lebih luas lagi daripada itu, ialah dapat diperinci seperti di bawah ini, bahwa kedapatan tengah

berbuat adalah:

a. apabila tindak pidana kedapatan sedang atau tengah dilakukan; misalnya seorang

Bhayangkara sedang meronda melihat dengan mata kepala sendiri seorang sedang

mengambil (mencuri) bola lampu listrik di jalan; pencurian ini "kedapatan tengah

berbuat";

b. apabila tindak pidana kedapatan dengan segera sesudah dilakukan Apakah artinya

"dengan segera?". Ini harus ditentukan menurut situasi dan kondisi.

Tidak ditetapkan tempuh yang pasti. Pada hakekatnya peristiwa itu masih dalam keadaan

"hangat", seperti misalnya seorang Bhayangkara sedang meronda mendengar suara orang

berteriak-teriak minta tolong. Pada saat itu terlihat olehnya ada orang lari keluar dari sebuah

rumah dengan tangannya berlumuran darah, dan sesudah orang itu ditangkap dan diperiksa

ternyata ia baru saja menganiaya musuhnya; penganiayaan ini ketahuan dengan segera setelah

dilakukan = kedapatan tengah berbuat;

Apabila dengan segera sesudah tindak pidana dilakukan, seorang diserukan oleh suara ramai

sebagai pembuatnya, seperti misalnya seorang Bhayangkara yang sedang meronda melihat

orang berlari-lari dikejar oleh orang banyak sambil berteriak-teriak: "Copet, copet!" Orang itu

ditangkap dari diusut ternyata baru raja ia mencuri dompet dari saku celana orang; pencurian

ini kedapatan segera sesudah dilakukan, seorang oleh suara ramai diserukan sebagai

pembuatnya kedapatan tengah berbuat;

Apabila pada seseorang kedapatan barang-barang, senjata-senjata, alat-alat, perkakas atau

surat-surat yang menunjukkan bahwa ialah yang telah berbuat tindak pidana sebagai yang

melakukan atau yang membantu melakukan. Dalam hal ini tidak ada ketentuan "segera

sesudah dilakukan", sehingga waktu lama pun masuk juga dalam pengertian ini; seperti

misalnya seorang Bhayangkara menjumpai seseorang yang sedang memakai sepeda motor yang

ciri-cirinya cocok dengan sepeda motor yang telah hilang dicuri orang satu tahun yang lalu,

waktu diusut lebih lanjut ternyata, bahwa betul sepeda motor itu asal dari curian tersebut.

Walaupun peristiwa ini barulah kedapatan satu tahun sesudah dilakukan, akan tetapi masuk

pengertian pula "kedapatan tengah berbuat".

Pasal 58

(1) Bila orang kedapatan tengah melakukan kejahatan atau pelanggaran . maka pegawai,

penjabat dan orang yang teristimewa yang tersebut dalam pasal 39, wajib dengan segera

melakukan segala sesuatunya yang dapat dipakai supaya perbuatan itu menjadi terang

yaitu dengan tidak mengurangi kewajiban menurut bahagian-bahagian yang lalu dalam

titel ini, dan dengan mengingat peraturan dalam pasal ini dan dalam pasal-pasal yang

berikut.

(2) Dalam hal itu mereka itu berhak merampas barang-barang, yang dimaksud dalam pasal

63 dan berhak pula, yaitu dalam hal yang perlu-perlu sekali, melakukan pemeriksaan

seperti diterangkan dalam pasal- 64 dan pasal 65, pasal 66 dan pasal 67 berlaku sejalan

dengan itu, tetapi tentang pasal yang tersebut mula-mula, dikecualikan kalau orang yang

melakukan pemeriksaan itu tidak pandai menulis.

Penjelasan:

1. Yang dibebani dengan kewajiban yang disebutkan dalam pasal ini adalah "para pegawai

penyidik”: yaitu mereka yang tersebut dalam pasal 39 seperti: Pamong Desa. PamongPraja, Polisi Republik Indonesia, Para Jaksa, Para Pegawai Polisi Khusus dan Para

Pegawai Polisi Tak Bergaji. Kewajiban yang dibebankan di sini sifatnya adalah amat luas dan umum, yaitu "segera

melakukan segala sesuatu yang dapat membuat terang peristiwa yang terjadi", boleh

dikatakan melakukan segala usaha dan pekerjaan pegawai penyidik, seperti misalnya

datang di tempat kejadian perkara, mempertahankan keadaan di tempat itu jangan

sampai berubah, mencari, mengumpulkan, membeslah bekas-bekas dan barang-barang

bukti, melapor kepada yang berwajib, memeriksa keterangan saksi-saksi,

menangkap/menahan/memeriksa tersangka, membuat proses-perbal dan

menyampaikan kepada Jaksa-Pembantu atau Jaksa Pengadilan Negeri yang terdekat,

akan tetapi segala sesuatunya itu para pegawai penyidik harus senantiasa memperhatikan

kewajiban-kewajiban dan peraturan-peraturan yang telah disebutkan dalam bagianbagian yang lalu dan dalam pasal-pasal yang berikut.

2. Aseli istilah "merampas" yang tersebut dalam ayat (2) pasal ini adalah kata bahasa

Belanda "beslag leggen," yang artinya mengambil barang-barang dari tangan seseorang

yang memegang atau menguasainya, untuk kepentingan penyidikan perkara ditahan

sementara oleh pejabat dan akan dikembalikan lagi kepada yang berhak apabila sudah

tidak diperlukan lagi dalam penyidikan. Untuk ini dapat pula misalnya dipergunakan

istilah "membeslah" atau "mensita". Barang-barang yang harus dirampas itu adalah

barang-barang yang tersebut dalam pasal 63, yaitu:

a. senjata dan alat perkakas yang ternyata telah digunakan atau akan digunakan untuk

melakukan peristiwa pidana, seperti misalnya pistol untuk membunuh, kunci palsu

untuk mencuri dan lain sebagainya yang lazim disebut "instrumenta delicti".

b. barang-barang yang lain yang dapat digunakan untuk bukti, seperti misalnya uang

palsu, pakaian yang dicuri, baju kena darah dan lain sebagainya yang biasa disebut

"Corpora delicti".

Tentang perampasan ini harus dibuatkan proses perbal perampasan. dan tentang

perampasan ini lihatlah selanjutnya apa yang tersebut dalam pasal-pasal 64, 65, 66 dan

67.

3. Pada hakekatnya ayat (2) dari pasal 58 ini memberikan suatu ketentuan tentang

"menggeledah tempat" dan merampas barang-barang", yang isinya dapat disimpulkan

sebagai berikut:

a. Syarat-syaratnya: Ada kejadian tindak pidana "kedapatan tengah berbuat" dan hal

itu "perlu sekali" = amat mendesak.

b. Siapa yang berwenang: Semua pegawai penyidik yang tersebut dalam pasal 39.

c. Tempat yang boleh digeledah: Tempat-tempat yang tersebut dalam pasal 65, yaitu:

1) Di seluruh halaman tersangka bertempat tinggal atau diam serta disemua

perumahan yang terdapat dalam halaman itu.

2) Di tempat-tempat lain, dimana tersangka bertempat-tinggal atau berdiam.

3) Di tempat kejadian perkara atau di mana saja ada terdapat bekas-bekas.

4) Di rumah penginapan, warung kopi atau tempat umum lain-lainnya.

d. Barang-barang apa yang boleh diperiksa/dirampas.

Barang-barang yang dapat menjadi bukti, artinya barang-barang yang menjadi

pokok tindak pidana.

e. Penjelasan lain-lain: Apabila kita telah mempelajari semua pasal-pasal dari H.I.R:

yang mengatur tentang soal penggeledahan/perampasan barang-barang bukti,

yaitu pasal-pasal 58, 63, 64, 65, 66, 67, 77, dan 78, dapatlah diambil kesimpulan

bahwa: 1) Untuk menggeledah tempat itu harus ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri,

serta untuk merampas dan memeriksa surat-surat, buku-buku dan tulisantulisan lain yang bukan pokok tindak pidana diperlukan izin tersendiri

(khusus) dari ketua itu.

2) tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri, maka penggeledahan/ perampasan itu

hanya boleh dilakukan oleh Jaksa atau Jaksa-Pembantu dalam peristiwa

"kedapatan tengah berbuat" atau "perlu sekali" = keadaan mendesak, Para

pegawai penyidik atau lain-lainnya (yang bukan Jaksa atau Jaksa. Pembantu)

hanya boleh mengadakan penggeladahan/perampasan dalam peristiwa

"kedapatan tengah berbuat" dan perlu sekali keadaan mendesak", dan lagi

untuk kedua-duanya itu tempat-tempat yang boleh digeledah dibatasi hanya

sampai tempat-tempat yang disebutkan dalam pasal 65 saja.

Pasal 59

(1) Mereka itu boleh memerintahkan, bahwa seorangpun walaupun siapa juga tidak boleh

meninggalkan rumah itu atau pergi dari tempat kejahatan itu dilakukan, selama

pemeriksaan di tempat itu belum selesai.

(2) Barang siapa yang melanggar perintah itu akan ditangkap dan orang itu boleh ditahan

sampai proses-perbal selesai dibuat.

Penjelasan:

1. Dalam hal peristiwa "kedapatan tengah berbuat", para pegawai penyidik berwenang

memerintahkan, bahwa seorang pun tidak boleh meninggalkan rumah atau pergi

meninggalkan tempat kejahatan sampai pemeriksaan setempat selesai. Apabila orang itu

melanggar perintah ini dapat ditahan sampai proses-perbal selesai dibuat.

2. Penahanan tersebut lazim disebut "penahanan tanpa surat perintah: Adapun:

a. Yang berwenang menahan: para pegawai penyidik yang tersebut dalam pasal 39.

b. Lamanya menahan: Mulai dikeluarkan perintah untuk menahan sampai pada

waktu selesai pembuatan proses-perbal pemeriksaan setempat.

c. Syarat-syaratnya:

a. Ada terjadi peristiwa "kedapatan tengah berbuat".

b. Telah dikeluarkan perintah oleh pegawai penyidik untuk, tidak

meninggalkan tempat, tetapi ada orang yang tidak mematuhinya.

Pasal 60

(1) Dalam hal kedapatan orang tengah melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran, maka

tiap-tiap pegawai kekuasaan umum wajib, dan tiap-tiap orang berhak, akan menahan

sitertuduh itu dan akan membawanya kepada salah seorang pegawai penuntut umum

atau kepada salah seorang jaksa-pembantu.

(2) Dalam hal tidak boleh orang ditahan buat sementara, yaitu menurut aturan dalam pasal

62 ayat dua, maka pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu hendaklah membuat

proses-perbal. dan segera memerdekakan orang yang ditahan itu, yaitu dengan

mengingat peraturan dalam pasal 83f ayat lima.

Penjelasan:

Dalam pasal ini diatur tentang suatu penahanan yang biasa disebut "penahanan tanpa surat

perintah", Adapun: a. Yang berwenang menahan:

1. Tiap-tiap anggauta kekuasaan umum, seperti misalnya Polisi Negara, Polisi Militer,

Pamong-Praja dan lain sebagainya berkewajiban menahan.

2. Setiap orang berhak (tidak ada keharusan) menahan.

b. Lamanya menahan: Selama waktu yang diperlukan mulai tersangka tertangkap untuk

membawa sampai dihadapkan pada Jaksa atau Jaksa Pembantu yang terdekat. Disini

amat tergantung pada jarak jauh dekatnya tempat.

c. Syarat-syaratnya:

1. Ada orang melakukan tindak pidana yang "kedapatan tengah berbuat".

2. Tersangka harus dengan selekas mungkin dibawa ke Jaksa atau Jaksa Pembantu

yang terdekat tempatnya.

d. Tindakan selanjutnya: Setelah tersangka dihadapkan kepada Jaksa atau Jaksa. Pembantu,

maka para pejabat ini mengenai penahanan tersangka itu dapat mengambil salah satu

keputusan sebagai di bawah ini:

1) Tersangka dapat ditahan terus dengan surat perintah penahanan model A selama

20 hari, apabila memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam pasal 62.

2) Tersangka harus segera dibebaskan apabila tidak dipenuhi syarat-syarat. dalam

pasal 62, akan tetapi ia harus diperiksa dan dibuatkan proses-perbal terlebih

dahulu.

3) Walaupun syarat-syarat dalam pasal 62 tidak dipenuhi, tersangka dapat pula

ditahan terus (selama 8 hari) diajukan terus kepada Jaksa, sesuai peraturan dalam

pasal 83f (5) (pemeriksaan perkara secara sumir).

Pasal 61

(1) Kalau orang kedapatan tengah melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran, maka

pegawai penuntut umum hendaklah berlaku seperti ditetapkan dalam pasal ini dan dalam

pasal-pasal berikut sampai pasal 72.

(2) Kalau hal itu perlu dianggapnya, maka hendaklah dengan segera ia pergi ke tempat

perbuatan itu dilakukan, untuk membuat proses-perbal yang perlu-perlu di tempat itu,

buat menyatakan bahwa ada kejahatan kejadian, dan buat menyatakan keadaan barangbarang yang berhubung dengan itu dan keadaan tempat itu, demikian juga untuk

mendapat keterangan-keterangan dari orang-orang yang boleh jadi hadir waktu

kejahatan itu dilakukan atau keterangan orang tetangga, isi rumah atau orang lain, yang

diduga akan dapat memberi keterangan atau kabar tentang perbuatan itu; mereka itu

sekaliannya haruslah menanda-tangani keterangan-keterangannya itu dan kalau mereka

itu tidak dapat atau tidak mau melakukan itu, harus disebutkan hal itu.

Penjelasan:

1. Ayat (1) pasal ini mengandung perintah umum, bahwa Pegawai Penuntut Umum (Jaksa)

(menurut bunyi pasal 71 juga "Jaksa Pembantu") apabila ada peristiwa pidana

"kedapatan tengah berbuat", harus bertindak seperti apa yang tersebut dalam pasal ini

dan pasal-pasal 62 s/d 72 yang berikut ).

2. Ayat (2) menentukan, bahwa dalam hal seperti yang tersebut dalam ayat (1), Jaksa

(menurut pasal 71 juga Jaksa Pembantu) harus datang ditempat kejadian perkara untuk

mengadakan penyidikan setempat dan membuat proses-perbal yang perlu, seperti

misalnya: a. tentang bekas-bekas, barang-barang dan lain sebagainya yang menentukan, bahwa

betul telah ada tindak pidana yang telah dilakukan, dan

b. tentang mencari dan memeriksa keterangan keterangan orang-orang yang berada

di rumah atau tempat kejahatan dan para tetangga yang dapat memberi keterangan

tentang peristiwa yang telah terjadi (tersangka dan saksi-saksi informasi); mereka

yang memberi keterangan jika pandai menulis, harus ikut menanda-tangani proses

perbal, kalau tidak, hal itu cukup disebutkan saja dalam proses perbal tersebut.

Pasal 62

(1) la dapat memerintahkan supaya orang yang diduga bersalah ditahan dan dibawa

kepadanya; kalau orang itu sudah didengarnya dan jika keterangan cukup menunjukkan

bahwa ia bersalah, maka pegawai penuntut umum itu dengan mengingat peraturan pada

ayat yang berikut, dapat mengeluarkan perintah untuk menahan orang itu buat

sementara; dalam hal itu harus disebutkan alasan-alasan untuk mengeluarkan perintah itu

dan tempat orang itu akan ditahan.

(2) Perintah untuk menahan buat sementara seperti dimaksud dalam ayat yang lalu itu hanya

dapat dikeluarkan, bila perbuatan itu, dapat dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya lima tahun atau dengan hukuman yang lebih berat, atau jika perbuatan itu

masuk peraturan pasal-pasal 282 ayat penghabisan, 296, 303, 335 ayat pertama, 351 ayat

pertama 353 ayat pertama, 372, 378, 379a, 453 pada 1

0

, 454, 455, 459, dan 480 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana, masuk pasal 26b.

Rechtenordonnantie (Stbl. 1931 No.471), atau jika perbuatan itu suatu kejahatan tentang

senjata api atau tentang candu atau bantuan atau percobaan untuk melakukan perbuatan

yang tersebut dalam pasal ini. Untuk melakukan peraturan-peraturan ini terhadap pada

orang yang belum dewasa, yang sebelum mengerjakan perbuatan itu belum berumur

enam belas tahun, maka peraturan dalam pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana

tidak diperhatikan. Dalam segala hal yang lain-lain, maka perintah untuk menahan buat

sementara itu tidak boleh dikeluarkan.

(3) Tentang perintah untuk menahan buat sementara yang dimaksud di sini dan di tempat

lain dalam reglemen ini hendaklah diberikan sebuah salinan kepada sitertuduh. Hal

memberikan salinan itu hendaklah dicatat dalam perintah itu, yaitu dengan diberi

bertanggal dan ditanda-tangani.

Penjelasan:

Pasal ini mengatur tentang penahanan, yang biasa dinamakan "penahanan dengan surat

perintah model A". Adapun isinya sebagai berikut:

a. Yang berwenang menahan: Jaksa (menurut pasal 71 juga Jaksa Pembantu).

b. Lamanya menahan: 20 hari (periksa pasal 72).

c. Syarat-syaratnya:

1. Ada orang yang berbuat peristiwa pidana "tengah berbuat".

2. Ada petunjuk-petunjuk .yang cukup tentang kesalahan tersangka.

3. Apa yang dituduhkan pada tersangka adalah suatu peristiwa pidana yang

disebutkan dalam salah satu pasal yang dicantumkan dalam ayat (2) dari pasal 62

ini, yaitu:

A. Pada umumnya yang ancaman pidananya penjara 5 tahun atau lebih atau

salah satu pasal seperti berikut B. Pasal 282 ayat penghabisan K.U.H.P., ialah perbuatan penyebaran tulisantulisan, gambar-gambar atau barang-barang lain yang isinya melanggar

kesusilaan.

Pasal 296 K.U.H.P., ialah mewujudkan atau membantu perbuatan cabul sebagai

pencaharian atau kebiasaan.

Pasal 303 K.U.H.P., ialah memajukan atau memberi kesempatan untuk berjudi.

Pasal 335 K.U.H.P., ialah memaksa orang untuk mengerjakan atau membiarkan

barang sesuatu.

Pasal 351 (1) K.U.H.P., ialah penganiayaan biasa.

Pasal 353 (1) K.U.H.P., ialah penganiayaan dengan direncanakan terlebih dahulu.

Pasal 372 K.U.H.P., ialah penggelapan biasa.

Pasal 378 K.U.H.P., ialah penipuan.

Pasal 379 a K.U.H.P., ialah berbelanja tidak jujur.

Pasal 453 K.U.H.P., ialah perbuatan nakhoda kapal yang tidak jujur.

Pasal 454 K.U.H.P., ialah perbuatan anak buah kapal yang melarikan diri (desersi).

Pasal 455 K.U.H.P., ialah perbuatan anak buah Kapal (bukan perwira) yang tidak

mau meneruskan pelayarannya.

Pasal 459 K.U.H.P., ialah melakukan perlawanan terhadap pimpinan kapal.

Pasal 480 K.U.H.P., ialah penadahan barang asal kejahatan.

d. Penjelasan selanjutnya:

1. Surat perintahnya biasa disebut surat perintah penahanan model A.

2. Apabila dikeluarkan oleh Jaksa Pembantu maka tembusan surat perintah itu dalam

tempuh 24 jam harus disampaikan kepada Jaksa dan satu tembusan lagi harus

diterimakan kepada tersangka; tentang pengiriman ini harus dicatat; diberi

bertanggal dan ditandatangani (ayat (2) dari pasal 71).

Pasal 63

Ia hendaknya merampas senjata-senjata dan alat perkakas yang ternyata atau diduga

dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum itu atau dimaksud untuk

melakukan perbuatan itu, demikian juga sekalian barang-barang yang lain yang dapat dipakai

untuk menjadi barang bukti.

Penjelasan:

Barang-barang yang perlu dirampas yang tersebut dalam pasal ini adalah barang-barang yang

biasa disebut "instumenta delicti" dan "Corpora delicti". Lihatlah selanjutnya penjelasan pada

pasal 58.

Pasal 64

(1) Jika melihat keadaan perbuatan yang dapat dihukum itu, keterangannya boleh jadi akan

dapat diperoleh dari berbagai-bagai surat dan barang-barang yang ada pada si tertuduh,

maka pegawai penuntut umum hendaklah dengan segera pergi ke rumah si tertuduh itu

untuk mencari sekalian yang dapat dipakai untuk mencari kebenaran.

(2) Tentang itu ia hendaklah membuat proses-perbal, dan merampas barang-barang yang

dapat dicarinya itu, yaitu mana-mana yang dapat dipakai untuk jadi bukti. Penjelasan:

1. Yang berwenang menggeledah/merampas barang-barang dalam pasal ini adalah Pegawai

Penuntut Umum (Jaksa), menurut pasal 71 juga Jaksa Pembantu syaratnya adalah ada

peristiwa "kedapatan tengah berbuat". Periksa selanjutnya penjelasan pasal 58 pada

No.3.

2. Tempat yang digeledah harus tempat-tempat yang disebutkan dalam pasal 65, kalau di

tempat lain harus ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri (lihat ayat (1) dari pasal 77).

3. Yang boleh dirampas hanyalah surat-surat yang merupakan bukti atau menjadi pokok

tindak pidana, kalau mengenai surat-surat dan buku-buku yang bukan masuk barang

yang menjadikan tindak pidana seperti misalnya surat-menyurat pribadi yang tidak ada

sangkut, pautnya dengan tindak pidana itu, harus ada surat kuasa yang tegas dari Ketua

Pengadilan Negeri (lihat ayat (2) dari pasal 77).

4. Tentang penggeledahan/perampasan ini harus dibuatkan proses-perbal.

Pasal 65

Pemeriksaan yang dimaksud dalam pasal yang lalu boleh dilakukan:

1. di pekarangan tempat sitertuduh itu diam atau tinggal, dan dalam sekalian yang lain-lain

yang kedapatan di atasnya;

2. pada tiap-tiap tempat yang lain tempat si tertuduh itu diam atau tinggal, demikian juga;

3. di tempat perbuatan itu dilakukan atau ada meninggalkan bekas;

4. di rumah-rumah tempat menumpang, di warung-warung kopi dan di tempat umum yang

lain-lain.

Penjelasan:

Tempat-tempat yang tersebut pada sub 1,2 dan 3 adalah merupakan tempat-tempat yang ada

sangkut-pautnya dengan tindak pidana yang dilakukan, sedangkan tempat-tempat yang

tersebut pada sub. 3 dari pasal ini adalah tempat umum.

Ketentuan ini untuk membatasi, janganlah misalnya pejabat dalam peristiwa itu sampai

menjalankan penggeledahan di tempat-tempat atau rumah-rumah lain yang tidak ada sangkutpautnya dengan peristiwa pidana yang telah dilakukan dan juga bukan tempat umum. Jika

menghendaki akan menggeledah tempat-tempat yang tersebut belakangan ini harus ada izin

dari Ketua Pengadilan Negeri (lihat ayat (1) dari pasal 77).

Pasal 66

(1) Barang-barang yang dirampas oleh pegawai penuntut umum itu hendaklah dibungkus

dan disegel; pada bungkusan itu dicatatnya hari waktu barang-barang itu dirampas.

(2) Jika barang-barang itu tidak dapat atau tidak baik dibungkus dalam bungkusan, maka

pada barang-barang itu hendaklah dilekatkannya. sehelai kertas dengan segelnya; pada

kertas itu catatan yang dimaksud di atas ini dituliskannya juga serta ditanda-tanganinya.

Penjelasan:

Pembungkusan dan penyegelan ini gunanya untuk menjaga jangan sampai rusak, hilang atau

ditukar oleh orang yang tidak berwajib.

Barang-barang yang besar-besar yang susah dibungkus, seperti mobil, sepeda motor, mesin

jahit, rumah dan lain sebagainya tidak perlu di bungkus, cukup dengan dilekati sehelai kertas

atau label dengan segelnya serta diberi catatan dari pembeslahan dan tanda tangan yang

membeslah. Pasal 67

Pekerjaan-pekerjaan yang diterangkan dalam ketiga pasal yang lalu hendaklah dilakukan di

hadapan si tertuduh, yaitu kalau ia ditangkap sebelum pekerjaan itu dilangsungkan; barangbarang itu hendaklah diperlihatkan kepadanya dengan menyuruhnya supaya diberinya

keterangan tentang itu dan supaya barang-barang itu ditandainya, yaitu kalau yang demikian

ada alasannya; jika si tertuduh itu tidak dapat atau tidak mau melakukan yang penghabisan itu,

maka hal itu hendaklah disebutkan dalam proses-perbal.

Penjelasan:

Bahwasanya pada waktu membungkus barang-barang itu harus disaksikan oleh tersangka dan

jika dipandang perlu barang-barang itu harus diberi tanda oleh tersangka, maksudnya adalah

untuk menjaga jangan sampai tersangka dengan mudah memungkiri adanya barang-barang itu.

atau mengatakan bahwa barang-barang itu telah ditukar dengan barang lain.

Pasal 68

Kalau .hal itu dianggap perlu oleh pegawai penuntut umum, maka ia akan membawa seorang

atau dua orang ahli untuk menemaninya, yang dapat menimbang sifat dan keadaan kejahatan

itu.

Penjelasan:

Menurut bunyi pasal ini maka Jaksa atau Jaksa Pembantu dalam penyidikan perkara, jika perlu,

tidak akan kekurangan pembantu. Mereka itu dapat membawa seorang atau dua orang ahli

untuk menemaninya; yang dapat memberi pertimbangan atas hal ikhwal atau keadaan

kejahatan yang telah terjadi, seperti. misalnya dalam kasus-kasus kebakaran gedung, pasar dan

lain sebagainya biasa dibawa seorang atau dua orang ahli elektronik untuk dapat menetapkan

apakah kebakaran itu misalnya karena "kortsluiting" atau bukan. Menurut pasal 70 maka tiap .

orang yang dipanggil sebagai orang ahli wajib memberi pertolongan kepada justisi, bila tidak

diancam pidana dalam pasal 216, 224 atau 522 K.U.H.P.

Pasal 69

(1) Dalam hal mati karena perbuatan kekerasan, atau sebab mati itu mendatangkan syak,

demikian juga dalam hal luka parah atau percobaan meracun orang dan makar-makar

yang lain untuk membinasakan nyawa orang, maka ia akan membawa seorang atau dua

orang tabib untuk menemaninya; tabib itu memberi rencana tentang sebab mati itu atau

sebab luka itu dan tentang keadaan mayat itu atau badan orang yang dilukai dan tentang

hal itu kalau perlu diperiksa badan mayat itu sebelah dalamnya.

(2) Orang-orang yang dipanggil dalam hal yang tersebut pada pasal ini dan pada pasal yang

lalu hendaklah disumpah di hadapan pegawai penuntut umum, yaitu bahwa mereka itu

harus memberi rencana kepadanya menurut kebenaran yang sesungguh-sungguhnya,

yakni sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

Penjelasan:

Sebagaimana; ternyata dari bunyi pasal ini maka terang bahwa dalam penyidikan perkara

kematian, penganiayaan, pembunuhan dan sebagainya Jaksa atau Jaksa Pembantu berwenang

untuk membawa dokter turut memeriksa di tempat kejahatan dan dapat diminta

keterangannya. Dalam prakteknya tidak senantiasa seorang ahli atau dokter dapat dibawa ketempat kejahatan.

Kebanyakan barang-barang yang perlu dimintakan pemeriksaan keahlian itu dikirim kepada

mereka dan kemudian diminta pendapatnya dengan tertulis

Khusus,mengenai penganiayaan, perkosaan, pembunuhan dan kejahatan-kejahatan terhadap

jiwa dan kesehatan orang, maka korban yang mati atau mendapat luka-luka itu dikirim kepada

dokter (rumah sakit) untuk diperiksa secara keahlian tentang sebab kematian, keadaan mayat

serta luka-luka itu, yang sesudahnya akan dikeluarkan surat "Visum et Repertum" oleh dokter.

Pasal 70

Tiap-tiap orang yang dipanggil untuk memberi bantuan kepada justisi sebagai orang yang ahli

atau sebagai tabib wajib datang memberi bantuan itu.

Penjelasan:

1. Yang dimaksud dengan "orang ahli" ialah bukan saja yang berpendidikan akademis saja

seperti insinyur bangunan, mesin, elektronik dan lain sebagainya, akan tetapi pada

umumnya semua orang yang berpengalaman dan amat pandai dalam pekerjaannya

seperti misalnya' juru masak, tukang kayu, tukang jahit, montir dan lain sebagainya yang

berpengalaman, cakap dan mahir dalam pekerjaannya, karena tidak jarang terjadi dalam

praktek, bahwa suatu pencurian dapat dibongkar dengan pertolongan tukang besi

(mengenal kunci palsu), tukang jahit (mengenal baju yang dicuri dengan melihat macam

jahitannya dan sebagainya).

2. Mereka yang sengaja tidak mau. memberikan bantuan dalam hal ini diancam pidana

dalam pasal 216 K.U.H.P.).

Pasal 71

(1) Jika dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 61 dan pasal sesudah itu, harus dilakukan

pemeriksaan yang diperintahkan di situ sebelum pegawai penuntut umum dapat hadir di

tempat itu, maka jaksa-pembantu yang bersangkutan hendaklah dengan segera

memberitahukan hal itu kepada pegawai penuntut umum; tetapi sambil menunggu

kedatangannya atau surat perintahnya, ia berhak dan wajib melakukan segala sesuatu

yang boleh dan harus dilakukan oleh pegawai penuntut umum menurut peraturan bagian

ini, jika sekiranya ada ia hadir.

(2) Jika jaksa-pembantu, itu mengeluarkan perintah untuk menahan buat sementara seperti

dimaksud dalam pasal 62, maka dalam dua puluh empat jam ia wajib mengirimkan

salinannya kepada pegawai penuntut umum yang sedekat-dekatnya, yaitu yang dapat

memberi perintah supaya perintah itu dicabut dengan segera.

Penjelasan:

Apabila seorang Jaksa Pembantu menjumpai peristiwa pidana yang "kedapatan tengah

berbuat" dan harus diambil tindakan-tindakan yang dibebankan kepada Pegawai Penuntut

Hukum (Jaksa), sedangkan Jaksa belum dapat hadir disitu, maka Jaksa Pembantu harus dengan

segera memberitahukan peristiwa tersebut kepada Jaksa dan sementara itu Jaksa Pembantu

berhak untuk menjalankan segala wewenang yang diberikan kepada Jaksa.

Dalam ayat (2) pasal itu ditentukan, bahwa bila Jaksa Pembantu mengeluarkan surat

penahanan model A buat 20 hari lamanya, maka dalam 24 jam ia wajib mengirimkan

salinannya kepada Jaksa, yang dapat. memberi perintah supaya perintah itu dicabut dengan

segera. Pasal 72

(1) Jika perintah untuk menahan buat sementara dikeluarkan dalam hal kedapatan tengah

berbuat maka, dengan memperhatikan peraturan pada ayat 2 pasal 83j, perintah itu

hanya berkekuatan buat dua puluh hari sesudah si tertuduh itu dimasukkan ke dalam

tempat tahanan yang ditunjukkan dalam surat perintah itu.

(2) Kalau dalam waktu itu tidak diperintahkan supaya sitertuduh itu terus ditahan, menurut

pasal 83 c, atau tidak ada pula dikirimkan tuntutan kepada kantor panitera pengadilan

negeri supaya perkara itu diperiksa oleh pengadilan dengan perintah supaya si tertuduh

itu terus ditahan, menurut pasal 83 j, maka yang ditahan itu harus dimerdekakan dengan

tidak diadakan perkara lagi, kecuali kalau ia patut terus dikurung karena alasan-alasan

lain.

Penjelasan:

Penahanan yang diperintahkan menurut pasal 62 dan pasal ini (surat perintah model A)

lamanya hanya 20 hari. Apabila memenuhi syarat-syaratnya, penahanan 20 ini oleh Jaksa,

berdasarkan pada pasal 83C, dapat diteruskan dengan penahanan buat 30 hari lamanya

memakai surat, perintah penahanan model S.I., kalau tidak, maka tersangka harus segera

dibebaskan, kecuali kalau ia patut terus ditahan karena alasan-alasan lain.

Bagian Kelima

PERATURAN-PERATURAN LAIN TENTANG PEMERIKSAAN

PENDAHULUAN YANG DILAKUKAN OLEH PEGAWAI PENUNTUT UMUM

DAN JAKSA-PEMBANTU

Pasal 73

Kalau pemeriksaan dilanjutkan oleh pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu, maka

peraturan bagian ini berlaku.

Penjelasan:

Bagian pertama sampai dengan bagian ke empat berisi peraturan-peraturan mengenai

penyidikan peristiwa pidana dan tindakan-tindakan yang harus dilaksanakan apabila terjadi

peristiwa pidana itu, teristimewa dalam hal kedapatan tengah berbuat, sedangkan bagian kelima

dari bab. kedua yang dimulai dengan pasal ini berisi peraturan-peraturan tentang tindakantindakan dalam penyidikan perkara, terutama dalam hal kejadian di luar kedapatan tengah

berbuat, untuk melanjutkan atau membulatkan pemeriksaan pendahuluan, sehingga Pegawai

Penuntut Umum (Jaksa) dapat menentukan ada tidaknya cukup alasan guna meneruskan

perkaranya ke pengadilan yang berwajib.

Pasal 74

(1) Jaksa pembantu berhak melanjutkan pemeriksaan menurut pasal-pasal berikut, selama

pegawai penuntut umum tidak memberitahukan kepadanya, bahwa pemeriksaan itu ia

sendiri yang akan melakukan.

(2) Akan tetapi mereka itu harus mengingat perintah atau petunjuk pegawai penuntut umum

berhubung dengan pemeriksaan itu.

Penjelasan: Pasal ini menegaskan tentang wewenang Jaksa Pembantu, yaitu bahwa apabila Jaksa tidak

memberitahukan, bahwa ia sendirilah yang akan melakukan, maka pemeriksaan dapat

dilakukan oleh Jaksa Pembantu.

Pasal 75

(1) Kalau keterangan-keterangan cukup menunjukkan bahwa sitertuduh itu bersalah dan ia

perlu sekali ditahan untuk kepentingan pemeriksaan atau untuk menjaga supaya

melakukan perbuatan itu dalam hal yang ditentukan pada ayat dua pasal 62 pegawai

penuntut umum atau jaksa-pembantu yang melakukan pemeriksaan itu dapat

mengeluarkan perintah untuk menahan buat sementara.

(2) Peraturan dalam pasal-pasal 62, 71 ayat (2) dan 72 berlaku untuk perintah ini.

Penjelasan:

Pasal ini mengatur tentang penyidikan, khususnya penahanan dalam hal di luar kedapatan

tengah berbuat, Adapun isi ketentuan penahanan itu sebagal berikut:

a. Yang berwenang menahan: Jaksa atau Jaksa Pembantu.

b. Lamanya menahan: 20 hari (lihat pasal 72).

c. Syarat-syaratnya:

1) Ada orang yang berbuat tindak pidana di luar kedapatan tengah berbuat.

2) Ada keterangan-keterangan dan bahan-bahan, cukup untuk menguatkan keyakinan

tentang kesalahan orang yang disangka.

3) Penahanan itu memang sangat perlu untuk:

a. kepentingan pemeriksaan atau,

b. menjaga jangan sampai tersangka mengulangi berbuat tindak pidana, atau.

c. menjaga jangan sampai tersangka dapat melarikan diri dan menghindar dari

pidana yang akan dijatuhkan, dan

d. tersangka dituduh telah berbuat sesuatu pasal dari pasal-pasal yang

disebutkan dalam ayat (2) pasal 62.

e. Penjelasan lebih lanjut:

1) Jika Jaksa Pembantu yang mengeluarkan surat perintah, dalam

tempuh 24 jam salinannya harus disampaikan kepada Jaksa.

2) Disini pun dipakai surat perintah penahanan model A yang

turunannya senantiasa harus disampaikan kepada tersangka, harus

dicatat, diberi bertanggal dan ditanda-tangani.

3) Dalam surat perintah itu harus disebutkan alasan-alasan dan tempat

menahan.

4) Cara penahanan ini sama dengan penahanan menurut pasal 62,

bedanya jika menurut pasal 62 penahanan itu dilakukan dalam tindak

pidana kedapatan tengah berbuat, sedangkan penahanan menurut

pasal 75 dilakukan dalam hal di luar kedapatan tengah berbuat.

5) Tersangka yang ditahan sesudah ia dibawa ke tempat tahanan, dalam

24 jam harus didengar keterangannya oleh Jaksa atau Jaksa Pembantu

yang melakukan pemeriksaan (pasal 76).

Pasal 76 Si tertuduh yang ditahan menurut peraturan dalam pasal yang lalu harus didengar oleh pegawai

penuntut Umum atau jaksa-pembantu yang melakukan pemeriksaan itu dalam dua puluh

empat jam sesudah ia dibawa ke tempat tahanan, yaitu kalau tadinya ia belum lagi didengar.

Penjelasan:

Apabila cukup alasan-alasan sebagaimana termuat dalam pasal 75, maka orang oleh Jaksa atau

Jaksa Pembantu dapat ditahan. Menurut pasal ini orang itu jika belum didengar keterangannya,

setelah sampai di tempat penahanan dalam tempuh 24 jam harus diperiksa keterangannya.

Pasal 77

(1) Dengan seizin ketua pengadilan negeri, maka pegawai penuntut umum atau jaksapembantu yang melakukan pemeriksaan dapat menggeledah rumah, yaitu di mana-mana

hal itu perlu.

(2) Kecuali dalam hal yang dimaksud dalam pasal berikut:

maka waktu menggeledah itu pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu tidak boleh

memeriksa atau merampas surat-surat, buku dan surat-surat lain yang bukan masuk

barang yang menjadikan perbuatan yang dapat dihukum itu atau yang dipakai untuk

melakukan perbuatan itu, kalau ia tidak dengan tegas dapat kuasa dari ketua pengadilan

negeri untuk melakukan itu. Kuasa yang seperti itu perlu juga, bila pekerjaan

menggeledah rumah itu disuruh kepada pegawai pencari kejahatan yang lain.

Penjelasan:

Menurut pasal ini maka pada umumnya untuk menggeledah tempat itu harus ada izin dari

Ketua Pengadilan Negeri, bahkan untuk memeriksa surat-surat, buku-buku dan lain-lain

tulisan yang tidak menjadi pokok (bersangkut paut dengan) peristiwa pidana yang terjadi,

diperlukan surat izin tersendiri (khusus) dari Ketua Pengadilan Negeri.

Boleh juga penggeledahan itu oleh Jaksa atau Jaksa Pembantu tanpa izin dilakukan, akan tetapi

dengan syarat bahwa peristiwanya harus "kedapatan tengah berbuat" atau dalam keadaan

"sangat penting sekali" (mendesak). Bahkan para pegawai penyidik lain-lainnya yang bukan

Jaksa atau Jaksa Pembantu pun boleh juga melakukan penggeledahan, akan tetapi syaratsyaratnya adalah bahwa peristiwa itu "kedapatan tengah berbuat" dan keadaan "sangat penting

sekali"(mendesak). Untuk kedua-duanya ini tempat yang boleh digeledah dibatasi hanyalah

sampai tempat-tempat yang disebutkan dalam pasal 65 saja (Lihat pasal-pasal 78 dan 58).

Pasal 78

(1) Dalam hal yang sangat penting sekali, pegawai penuntut umum atau jaksa pembantu

yang melakukan pemeriksaan itu boleh juga menggeledah rumah dengan tidak seizin

ketua pengadilan yaitu:

1.e di pekarangan tempat sitertuduh itu diam atau tinggal, dan dalam sekalian yang

lain-lain, yang kedapatan di atasnya;

2.e pada tiap-tiap tempat yang lain tempat si tertuduh itu diam atau tinggal;

3.e di tempat perbuatan itu dilakukan atau ada meninggalkan bekas;

4.e di rumah tempat menumpang, di warung kopi dan di tempat umum yang lain-lain.

(2) la boleh juga menyuruh pegawai pencari kejahatan yang lebih rendah melakukan

pekerjaan menggeledah rumah itu. (3) Jika penggeledahan rumah itu harus dilakukan di luar daerah pegangannya, maka atas

permintaannya, rumah itu digeledah oleh pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu

yang sedekat-dekatnya.

Penjelasan:

Pasal ini memberi peraturan tentang penggeledahan tempat dalam hal di luar "kedapatan

sedang berbuat". Adapun isinya sebagai berikut:

a. Yang berwenang menggeledah: Jaksa atau Jaksa Pembantun

b. Syarat-syaratnya: Penggeledahan itu sangat penting sekali (mendesak), tidak perlu

memakai izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Sangat penting sekali atau keadaan

mendesak artinya, bahwa penggeledahan dan pembeslahan perlu sekali harus secepatcepatnya dilakukan, oleh karena jika menunggu surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri;

besar kemungkinan tidak akan dapat ditemukan lagi orang yang akan ditangkap atau

barang yang akan dibeslah untuk bukti. Perumusan yang tetap tentang anti "amat perlu

sekali" itu susah diberikan. Tiap-tiap kasus harus ditinjau sendiri-sendiri, akan tetapi

dalam prakteknya sifat "amat perlu sekali" itu selalu ada, jadi praktis alasan "amat perlu

sekali" itu senantiasa dipergunakan.

c. Tempat yang boleh digeledah:

1) Di seluruh halaman tersangka bertempat tinggal atau berdiam,dan selanjutnya

semua perumahan yang terdapat di atas halaman itu.

2) Di lain-lain tempat tersangka bertempat tinggal atau berdiam.

3) Di tempat kejadian perkara atau di mana saja ada terdapat bekas-bekas.

4) Di rumah penginapan, warung kopi dan lain-lain tempat umum.

d. Barang-barang apa yang boleh dibeslah: Barang-barang yang ada sangkut-pautnya

dengan tindak pidana yang terjadi.

e. Penjelasan lebih lanjut:

1) Apabila Jaksa atau Jaksa Pembantu sendiri tidak sempat menjalankan

penggeledahan itu, senantiasa dapat melimpahkan wewenangnya kepada para

pegawai penyidik rendahan, baik secara tertulis atau secara lisan.

2) Penggeledahan yang harus dilakukan di suatu tempat yang berada di luar daerah

wewenang Jaksa atau Jaksa Pembantu, dapat diminta bantuan dari dan

penggeledahan akan dilakukan oleh Jaksa atau Jaksa Pembantu yang berwenang di

daerah itu.

Oleh karena peraturan penggeledahan rumah serta pembeslahan surat-surat itu

amat penting, maka di bawah ini diberikan catatan untuk dapat diperhatikan:

1. Di dalam peristiwa kedapatan tengah berbuat Baik Jaksa atau Jaksa

Pembantu, maupun para pegawai penyidik lainnya (buat pegawai ini apabila

amat perlu), tanpa izin Ketua.

2. Pengadilan Negeri diperkenankan melakukan penggeledahan tempat serta

memeriksa dan membeslah barang-barang dan surat-surat yang ada sangkutpautnya dengan peristiwa yang terjadi (pasal-pasal 58, 64 dan 65).

3. Di luar peristiwa kedapatan tengah berbuat.

Jaksa dan Jaksa Pembantu apabila. hendak menggeledah. tempat, memeriksa

dan membeslah barang-barang dan surat-surat yang ada sangkut-pautnya

dengan peristiwa yang terjadi, harus ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri,

kecuali dalam keadaan yang amat penting, sedangkan untuk memeriksa dan membeslah surat-surat, buku-buku dan lain sebagainya yang tidak ada

sangkut-pautnya dengan peristiwa yang terjadi, dibutuhkan surat kuasa

tersendiri (khusus) dari Ketua Pengadilan Negeri. (Pasal-pasal 77 dan 78).

Para pegawai penyidik Lain-lainnya dalam hal ini hanya boleh bertindak

apabila ada perintah dari Jaksa atau Jaksa Pembantu di atas. ini.

Pasal 79

Terhadap pada penggeledahan rumah yang dimaksud dalam bagian ini, maka peraturan dalam

pasal-pasal 64 ayat dua, 66 dan 67 berlaku sejalan dengan itu.

Penjelasan:

Peraturan-peraturan yang tersebut dalam Pasal 64 ayat (2) yaitu tentang kewajiban membuat

proses-perbal dan pembeslahan barang yang dicari.

Pasal 66 yaitu tentang pembungkusan dan penyegelan barang-barang yang dibeslah.

Pasal 67 yaitu tentang keharusan hadir dan kalau perlu menandai barang-barang yang akan

dibungkus dan disegel.

Pasal 80

(1) Pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu yang melakukan pemeriksaan itu

menyuruh supaya sitertuduh dan saksi-saksi yang dianggapnya perlu, datang kepadanya

untuk didengarnya.

(2) Untuk pemeriksaan ini si tertuduh, ia tidak ditahan dan saksi-saksi disuruh panggilnya;

orang-orang yang dipanggil itu wajib datang kepadanya, dan selain dari itu saksi-saksi

wajib memberi keterangan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kalau orang-orang yang

tersebut itu tidak datang, maka mereka itu dapat disuruh panggilnya sekali lagi dan dalam

hal itu dapat disertakannya perintah untuk membawanya, ataupun kemudian dari pada

itu diperintahkannya akan menjemput dan membawanya.

Penjelasan:

1. Untuk pemeriksaan tersangka dan saksi dipanggil oleh Jaksa atau, Jaksa Pembantu.

Tersangka dan saksi yang dipanggil itu harus datang, kalau tidak, dipanggil sekali lagi

disertai perintah untuk membawanya dengan kekuatan polisi, artinya jika perlu dengan

kekerasan. Jika mereka itu membangkang, diancam pidana dalam pasal 212 atau pasal

216 K.U.H.P. Dalam hal ini saksi yang tidak mau menghadap, tidak bisa dikenakan

ketentuan pidana yang tersebut dalam pasal 224 atau 522, K.U.H.P., oleh karena pasalpasal ini hanya berlaku bagi saksi yang dipanggil oleh hakim untuk menghadap di muka

pengadilan.

2. Menurut pasal 81, maka saksi atau tersangka yang dipanggil memberi keterangan yang

dapat diterima (beralasan), bahwa ia tidak dapat datang (seperti misalnya karena sakit

dan lain sebagainya), maka Jaksa atau Jaksa Pembantu itu harus pergi ke rumah mereka.

Pasal 81

Bila saksi atau si tertuduh memberi keterangan yang dapat diterima, bahwa ia tidak dapat

datang kepada pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu yang melakukan pemeriksaan itu,

maka pegawai atau jaksa-pembantu itu hendaklah pergi ke rumahnya.

Penjelasan: "Memberi keterangan yang dapat diterima" artinya dapat memberi alasan yang patut diterima

oleh pemanggil, seperti misalnya karena sakit, anak sakit keras, kematian keluarga, punya hajat

menikahkan, khitanan dan lain sebagainya. Apakah tidak dapat datang karena tidak punya uang

untuk naik bis itu dapat digolongkan alasan yang dapat diterima?

Itu tergantung pada jauh dekatnya tempat tinggal. Semuanya itu diserahkan pada pendapat dan

kebijaksanaan pemanggil.

Pasal 82

(1) Saksi-saksi itu didengar dengan tidak disumpah, kecuali dalam hal-hal yang teristimewa

kalau diduga bahwa mereka itu tidak dapat datang dalam pemeriksaan yang lebih lanjut.

Mereka itu seberapa dapat hendaklah didengar berasing-asing, tetapi boleh

diperhadapkan seorang dengan yang lain.

(2) Waktu memeriksa si tertuduh itu hendaklah ditanyakan kepadanya adakah saksi-saksi

yang menyangkal tuduhan atasnya, yang dimintanya supaya didengar, dan kalau ada siapa

saksi-saksi itu. Pertanyaan itu hendaklah dicatat dalam proses perbal.

(3) Jika si tertuduh itu menerangkan untuk membela dirinya, bahwa ketika kejahatan . itu

dilakukan ia ada di tempat lain atau jika dikatakannya, bahwa barang-barang yang

dicurigai yang kedapatan padanya diperolehnya dengan jalan yang sah, maka kepadanya

haruslah diminta dengan sungguh supaya ditunjukkannya saksi-saksi yang dapat

meneguhkan keterangannya itu; kebenaran keterangan itu haruslah diperiksa menurut

mestinya.

Penjelasan:

1. Pemeriksaan seorang saksi dalam pemeriksaan di muka hakim dilakukan dengan

penyumpah saksi itu terlebih dahulu (secara promissoris) atau kemudian setelah

diperiksa (secara assertoris) (lihat ayat (3) pasal 265), akan tetapi menurut pasal 82 maka

pemeriksaan saksi dalam pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh Jaksa atau Jaksa

Pembantu harus dilakukan tanpa disumpah, kecuali dalam hal-hal yang khusus kalau

diduga bahwa saksi itu dikhawatirkan tidak bisa menghadap dalam pemeriksaan

selanjutnya, seperti misalnya sakit keras, luka berat, pergi ke luar negeri, tidak punya

tempat tinggal yang tetap dan lain sebagainya. Pemeriksaan saksi dengan disumpah ini

harus disebutkan dalam proses-perbal.

Kelak di muka sidang pengadilan kalau saksi itu betul-betul tidak hadir, maka prosesperbal pemeriksaan keterangan saksi ini tinggal dibacakan di muka sidang, dan

keterangan ini dihargai sama dengan keterangan saksi secara lisan di muka sidang

pengadilan yang disumpah (lihat pasal 259).

Saksi-saksi boleh "diperhadapkan" seorang dengan yang lain artinya "diadu-mukakan"

atau "dikonfrontasikan".

2. Saksi-saksi yang dimaksudkan dalam ayat (2), pasal ini ialah saksi yang meringankan

kesalahan tersangka, yang biasa disebut saksi "de charge". Lawannya adalah saksi "a

charge", yaitu saksi yang memberatkan kesalahan tersangka.

3. Keterangan. yang disebutkan dalam ayat (3) pasal ini adalah yang biasa disebut

keterangan tentang "alibi" tersangka. Keterangan ini adalah penting sekali, oleh karena

jikalau terdapat betul, maka keterangan itu dapat membebaskan tersangka dari tuduhan.

Pasal 83 Keterangan-keterangan si tertuduh dan saksi-saksi harus dituliskan; dari keteranganketerangan, itu hendaklah dibuat proses-perbal dan proses-perbal itu tidak saja mesti ditandatangani oleh pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu yang melakukan pemeriksaan itu,

tetapi juga oleh orang yang memberi keterangan itu. Kalau orang yang memberi. keterangan

itu tidak dapat atau tidak mau 'menandatangani itu maka hal ini harus disebutkan.

Penjelasan:

Keterangan tersangka dan saksi-saksi yang diperiksa harus dituliskan dalam suatu prosesperbal; proses perbal ini tidak saja ditandatangani oleh perbalisan, akan tetapi juga oleh orang

yang didengar keterangannya, sebagai tanda persetujuannya atas isi keterangan itu. Apabila

orang ini tidak menanda tangani, seperti misalnya karena tidak dapat menulis atau

menganggapnya tidak perlu, maka orang itu tidak perlu dipaksa untuk menanda-tangani, akan

tetapi cukup hal itu disebutkan dalam proses-perbal saja.

Pasal 83a

Sebanyak kali harus didengar keterangan saksi-saksi atau orang-orang yang dituduh, yang diam

atau tinggal di luar daerah pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu yang melakukan

pemeriksaan itu, maka pemeriksaan itu kalau ia harus dilakukan di luar daerah jaksa, dengan

perantaraan jaksa itu - boleh diperintahkan kepada pegawai penuntut umum. atau kepada

jaksa-pembantu yang berkuasa di tempat diam atau di tempat tinggal saksi-saksi atau si

tertuduh itu.

Penjelasan:

Hal ini dalam praktek lazim dilakukan, Biasanya Jaksa atau Jaksa Pembantu yang meminta

bantuan Jaksa atau Jaksa Pembantu dari luar daerah untuk memeriksa atau mendengarkan

keterangan seseorang yang berada di luar daerah itu, membuat suatu proses-perbal dalam

bentuk "tanya-jawab", yang hanya diisi dengan pertanyaan-pertanyaannya saja, sedangkan

ruang jawaban dikosongkan yang nanti akan diisi dan ditanda-tangani oleh Jaksa atau Jaksa

Pembantu yang dimintai bantuan, sesudahnya proses-perbal itu dikirim kembali.

Pasal 83b

(1) Kalau dianggap perlu oleh pegawai-penuntut umum atau oleh jaksa-pembantu, yang

melakukan pemeriksaan itu, maka ia boleh meminta rencana yang perlu kepada tabib

atau ahli-ahli yang lain.

(2) Mereka itu haruslah bersumpah di hadapan pegawai penuntut umum atau jaksapembantu, bahwa mereka akan memberi rencana menurut kebenaran yang sesungguhsungguhnya, yakni sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Di sini berlaku

peraturan dalam pasal 70 dan pasal 83a.

Penjelasan:

Dalam prakteknya jarang sekali terjadi bahwa orang ahli atau tabib itu mengangkat sumpah di

depan Jaksa, lebih-Iebih Jaksa Pembantu. Rencana atau surat keterangan keahlian tersebut

biasanya dibuat oleh yang bersangkutan dengan mengingat sumpah jabatan, atau suatu

kesediaan untuk meneguhkannya dengan mengangkat sumpah di kemudian, sumpah mana

kelak dilakukan di depan pengadilan.

Ayat (2) dari pasal ini menentukan bahwa pasal 70 berlaku untuk ini, yang berarti bahwa tiaptiap orang yang dipanggil untuk memberi bantuan kepada justisi sebagai orang ahli atau tabib,

wajib datang memberi bantuan itu. Sengaja tidak memenuhi kewajiban itu diancam pidana

dalam pasal 216 K.U.H.P. Pasal 83c

(1) Bila terhadap si tertuduh ada hal-hal yang sangat memberatkan dan cukup pasti bahwa

perbuatan itu masuk pada yang diterangkan dalam ayat 2 pasal 62 dan perkara itu diduga

tidak akan dapat diperiksa pengadilan dalam waktu yang ditetapkan dalam pasal 72,

maka untuk kepentingan pemeriksaan atau untuk mencegah supaya perbuatan itu tidak

akan diulangi atau untuk mencegah supaya si tertuduh tidak melarikan diri, jaksa dapat

memerintahkan menangkap si tertuduh, atau kalau ia sudah. ditahan buat sementara,

memerintahkan supaya ia tetap ditahan.

(2) (Ditiadakan oleh undang-undang darurat No.1/1951).

(3) Si tertuduh harus didengar oleh jaksa atau jaksa-pembantu dalam tempo dua puluh

empat jam sesudah perintah itu dijalankan, jikalau hal itu tadinya belum dilakukan.

(4) Kecuali dalam hal yang ditentukan pada pasal 83j ayat (2), maka perintah yang dimaksud

dalam ayat pertama pasal ini tidak dapat berlaku lebih lama dari tiga puluh hari, terhitung

mulai dari hari perintah itu dijalankan. Selama pemeriksaan belum habis maka tuntutan

jaksa perintah itu dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri, tiap-tiap kali dengan

tiga puluh hari, kalau sesudah sambungan yang penghabisan hal itu ditimbang perlu oleh

ketua pengadilan.

(5) (Tidak ada artinya lagi berhubung dengan dihapuskannya jabatan ajunct jaksa).

Penjelasan:

1. Pasal ini menentukan perihal penahanan dengan surat perintah yang isinya sebagai di

bawah ini:

a. Yang berwenang menahan: Jaksa Kepala atau Jaksa.

b. Lamanya menahan: 30 hari terhitung dari waktu perintah itu dijalankan.

c. Syarat-syaratnya:

1) Harus ada hal-hal yang timbul memberatkan kesalahan tersangka dan ada

alasan-alasan nyata yang cukup kuat, bahwa ia melakukan tindak pidana

yang tersebut dalam pasal 62 (2) H.I.R.

2) Dapat dikira-kirakan, bahwa perkara tersebut tidak akan dapat diadili dalam

waktu 20 hari.

3) Penahanan perlu diteruskan karena:

a. kepentingan pemeriksaan, atau

b. mencegah pengulangan tindak pidana oleh tersangka, atau

c. mencegah jangan sampai tersangka melarikan diri.

d. Penjelasan lebih lanjut:

1. Dalam waktu 24 jam sesudah perintah penahanan dijalankan,

tersangka harus didengar keterangannya oleh Jaksa Kepala,

Jaksa atau Jaksa Pembantu.

2. Jika perintah itu dikeluarkan oleh Jaksa, maka dalam waktu 24

jam ia wajib mengirimkan salinannya kepada Jaksa Kepala, dan

Jaksa Kepala ini dapat memerintahkan mencabut perintah

penahanan ini dengan segera.

3. Untuk perintah penahanan ini dipakai model S.I. 4. Menurut ayat (4) dari pasal ini maka atas tuntutan Jaksa Kepala

atau Jaksa, perintah penahanan itu dapat diperpanjang oleh

Ketua Pengadilan Negeri, tiap-tiap kali dengan 30 hari, jikalau

sambungan yang penghabisan hal itu. ditimbang perlu oleh

Ketua Pengadilan. Untuk ini dipakai surat perintah penahanan

model S.VI.

Terangnya sebagai berikut: menurut pasal 72 dan 65 penahanan hanya sampai 20 hari

saja. Menurut ayat (1) dari pasal 83 c ini, maka apabila kiranya perkara yang sedang

diperiksa itu tidak dapat dihadapkan kemuka pengadilan dalam tempuh 20 hari, maka

Jaksa Kepala atau Jaksa dapat memberi perintah agar tersangka ditahan terus, dan

kelanjutan penahanan ini berlaku tidak lebih lama dari 30 hari (surat perintah penahanan

model S.I.). Atas tuntutan Jaksa Kepala atau Jaksa waktu 30 hari itu dapat disambungsambung oleh Ketua Pengadilan Negeri, tiap-tiap kali dengan 30 hari (Surat perintah

penahanan model S. V I.).

Pasal 83d

(1) Ketua pengadilan negeri baik oleh karena jabatannya maupun atas permintaan si

tertuduh, berhak meminta supaya surat-surat yang berhubungan dengan perkara itu di

kemukakan kepadanya dan setelah bermupakat dengan jaksa memerintahkan, supaya

pemeriksaan disudahi dengan lekas. Kalau ada alasan buat itu, ia boleh menetapkan bila

pemeriksaan itu selambat-lambatnya harus sudah diselesaikan.

(2) Jika menurut pendapatnya, perbuatan itu tidak masuk pada aturan pasal 62 ayat 2, maka

ia akan memerintahkan supaya si tertuduh yang ada dalam tahanan, dikeluarkan.

Penjelasan:

Dalam praktek sering terjadi, bahwa penahanan terhadap tersangka itu, karena kelalaian atau

kelambatan dalam pemeriksaannya, berlangsung berlarut-larut hingga waktu lama, sehingga

amat merugikan pada orang yang ditahan. Pengawasan jangan sampai hal itu terjadi demikian,

menurut pasal ini diletakkan di pundak Ketua Pengadilan Negeri.

Baik arena jabatannya maupun atas permintaan tersangka Ketua Pengadilan Negeri apabila

suatu penahanan dirasa sudah berlangsung agak terlalu lama, dapat menjalankan koreksi atau

teguran kepada Kejaksaan dengan meminta agar surat-surat atau berkas yang berhubungan

dengan perkara itu diserahkan kepadanya. Setelah berunding dengan Kepala Kejaksaan, dapat

diperintahkan kepada pejabat yang bersangkutan agar supaya pemeriksaan perkara segera

diselesaikan dan disudahi, kalau perlu sambil ditentukan waktu selambat-lambatnya

pemeriksaan itu harus sudah diselesaikan.

Kalau ternyata tidak ada alasan lagi untuk menahan tersangka lebih lanjut, tersangka harus

dengan segera dibebaskan.

Pasal 83e

Surat-surat pemeriksaan dan sekalian barang-barang yang dapat dipakai jadi tanda bukti,

hendaklah diserahkan dengan selekas-lekasnya kepada jaksa.

Pasal 55, ayat 3 berlaku sejalan dengan itu.

Pasal 83f (1) Jaksa pembantu berbuat menurut aturan pada ayat-ayat yang berikut dalam pasal ini,

menyimpang dari aturan pasal 55 dan dari aturan pada pasal-pasal yang lalu dalam bagian

ini

1e. (Ditiadakan oleh undang-undang darurat No. 1/1951).

2e. jika ternyata pada waktu dilakukan pemeriksaan sementara pada si tertuduh dan

saksi-saksi bahwa perkara itu perkara bersahaja, demikian juga tentang buktinya

dan perihal mengenakan undang-undang dan perbuatan itu biasanya tidak

dihukum dengan hukuman utama yang lebih berat dari selama-lamanya satu tahun

penjara.

(2) Bilamana menurut timbangan jaksa pembantu, cukup alasan akan menuntut si tertuduh,

maka ia dengan segera mengirimkan laporan dengan surat kepada jaksa bersama-sama

dengan surat-surat rencana yang dikirimkan kepadanya dan sekalian yang lain-lain yang

dapat dipakai jadi keterangan dari perbuatan yang dilakukan itu.

(3) Laporan yang dimaksud dalam ayat yang lalu, hendaklah menyebutkan perbuatan yang

boleh menyebabkan akan menuntut si tertuduh, dengan menerangkan waktu bilamana,-

di tempat mana dan keadaan perbuatan itu dilakukan, mana dan tempat diam (alamat)

saksi-saksi, isi pokok dari keterangan-keterangannya dan sekalian yang lain-lain yang

dianggap penting untuk menyelesaikan perkara itu.

(4) Kalau si tertuduh ditahan buat sementara, karena sesuatu perbuatan yang dimaksud

dalam pasal 62 ayat 2, maka ia dikirim bersama-sama dengan laporan, yang dimaksud

pada kedua ayat yang lalu dalam pasal ini, kepada jaksa atau disuruh bawa i ke hadapan

pegawai itu.

(5) Pun dalam hal ia tidak ditahan buat sementara, si tertuduh dapat juga ditahan dan

dengan tidak bertangguh lagi dikirim bersama-sama dengan laporan itu kepada jaksa atau

disuruh bawa ke hadapan pegawai itu, kalau dengan hal yang demikian, dapat dicapai,

perkara itu diperiksa pengadilan pada hari itu juga atau pada hari kerja yang berikutnya.

Dalam hal ini saksi-saksi dapat juga dikirim bersama-sama atau disuruh bawa e hadapan

jaksa.

(6) Bilamana menurut timbangan jaksa pembantu, tidak cukup alasan untuk menuntut si

tertuduh, atau bilamana ia tidak dapat dituntut oleh karena sesuatu perbuatan seperti

dimaksud dalam asal 62 ayat (2), maka si tertuduh, jikalau ia. ditahan, hendaklah

dimerdekakan dengan tidak bertangguh lagi, tetapi dalam hal-hal yang tersebut terakhir

ini dengan memperhatikan aturan pada ayat yang lalu pasal ini.

(7) Bilamana jaksa pembantu memerdekakan si tertuduh karena aturan pada ayat yang lalu,

maka hal itu hendaklah dengan segera diberitahukan kepada jaksa.

Penjelasan:

Pasal 83 f ini mengatur tentang mengajukan perkara-perkara ringan kepada pengadilan, yaitu

perkara-perkara:

Yang dulu masuk kekuasaan Landgerecht (Hakim Kepolisian) yang menurut Undangundang Darurat Nomor 1/1951 telah dihapuskan dan menjelma menjadi: Sidang

tanpa dihadiri Jaksa yang biasa disebut Sidang Kecil Pengadilan Negeri, yang

kekuasaannya adalah mengadili perkara-perkara pidana sipil yang diancam dengan

pidana yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah,

atau yang dianggap diancam dengan pidana pengganti yang tidak lebih dari tiga

bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, begitu juga kejahatan

"penghinaan ringan" yang dimaksudkan dalam pasal 315 Kitab Undang-undang

Hukum Pidana. Yang masuk kekuasaan "Landraad" pemeriksaan secara sumir dahulu yang sekarang

menjelma menjadi pemeriksaan dalam Sidang Besar Pengadilan Negeri secara

sumir, yaitu mengenai perkara-perkara yang sifatnya sederhana baik tentang

pelaksanaan hukumnya, maupun tentang pembuktiannya, dan pula tidak akan

dijatuhkan (bukan ancaman) pidana utama yang lebih berat dari satu tahun

penjara.

Dalam hal ini apabila Jaksa Pembantu berpendapat, bahwa perkara itu masuk kekuasaan

"Landgerecht" dan perkara itu dapat diputus pada hari itu juga atau pada hari kerja yang

berikut, sedangkan ada cukup alasan untuk menuntut tersangka, maka berkas perkara,

barang-barang bukti, tersangka dan saksi-saksinya dikirimkan kepada Jaksa yang segera

mengajukan perkara itu kepada hakim "Landgerecht" (sekarang Pengadilan Negeri

Sidang Kecil).

Apabila Jaksa Pembantu berpendapat, bahwa perkara itu masuk kekuasaan "Landraad"

dan perkara itu karena sifatnya sederhana baik mengenai pelaksanaan hukumnya,

maupun tentang pembuktiannya serta tidak akan dijatuhkan pidana utama yang lebih

berat dari satu tahun penjara, dan oleh karena itu dapat diadili secara sumir, maka berkas

perkara yang berisikan sebutan peristiwa pidana yang dilakukan, identitas dan keterangan

tersangka dan saksi-saksi, bersama-sama barang-barang bukti, tersangka dan saksisaksinya dikirimkan kepada Jaksa. Untuk mengajukan perkara secara sumir ini di muka

pengadilan Negeri, Jaksa tanpa surat perintah berwenang untuk menahan tersangka

lamanya 8 hari (periksa ayat (3) pasal 83 k).

Bagian Keenam.

TENTANG MENYUDAHKAN PEMERIKSAAN PERMULAAN

Pasal 83g

(1) Dengan selekas-lekasnya sesudah diterima surat-surat pemeriksaan, jaksa berbuat seperti

ditetapkan dalam pasal-pasal berikut.

(2) (Tidak ada artinya lagi berhubung dengan susunan kejaksaan sekarang).

Penjelasan:

Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan oleh Jaksa dalam pasal ini adalah pekerjaanpekerjaan yang tersebut dalam pasal 83 h s/d 83 m.

Pasal 83h

Jika pemeriksaan yang telah dilakukan itu memerlukan penambahan pemeriksaan, maka jaksa

melakukan sesuatu yang diperlukan atau menyuruh melakukan oleh jaksa pembantu atau

oleh pegawai lain yang menurut pendapatnya patut disuruh melakukan pekerjaan itu.

Kalau pada pemeriksaan lanjutan itu ada dugaan, bahwa pemalsuan surat-surat ada dilakukan,

maka ia dapat memerintahkan kepada penyimpan umum, supaya dikirimkan ke

kantornya surat-surat yang sah yang disimpannya, yang disangka palsu atau yang

dipalsukan; atau yang perlu dipakai untuk dibandingkan dengan surat lain. Jika satu surat

yang dianggapnya perlu untuk pemeriksaan, sebagian dari suatu daftar, yang tidak dapat

dipisahkan, maka ia dapat memerintahkan supaya daftar itu seluruhnya dibawa ke

kantornya untuk diperiksa selama waktu yang ditentukan dalam surat perintah itu.

Perintah jaksa itu disampaikan kepada penyimpan sambil menerima surat tanda

penerimaan, atau dikirimkan kepadanya dengan surat tercatat.

Mengenai pengiriman ini jaksa memberi keterangan tanda terima. Jika hal. ini tidak dilakukan

pada waktu yang ditentukan dalam surat perintah itu, dengan tidak ada sebab-sebabnya

yang sah, maka jaksa dapat memberi perintah supaya penyimpan itu dipaksa dengan

paksa badan akan mengirimi surat itu. Jika surat yang dikehendaki oleh jaksa itu tidak

sebagian dari satu daftar, maka penyimpan membuat salinan surat itu untuk menjadi

pengganti surat asli sampai surat asli itu diterima kembali. Di sebelah di bawah salinan

itu dicatatnya apa sebabnya salinan itu dibuat, catatan mana disebutkan juga pada salinan

dan salinan-salinan yang diberikan itu.

Segala ongkos pengiriman atau membawa surat itu dan ongkos membuat salinan oleh

penyimpan dihitung masuk ongkos kehakiman.

Jaksa sendiri melakukan pemeriksaan yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini dan ia dapat

meminta penerangan dari seorang ahli atau lebih. Yang ditentukan dalam pasal 69 ayat 2

dan pasal 70 berlaku dalam hal ini.

Jika seseorang dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan

hukuman mati, maka jaksa menanyakan kepadanya, apakah ia berkehendak pada sidang

pengadilan dibantu oleh seorang sarjana hukum atau, ahli hukum.

Penjelasan:

Jaksa harus selekas mungkin mempelajari proses perbal pemeriksaan pendahuluan yang

diterimanya dari Jaksa Pembantu. Apabila ternyata bahwa isinya ada yang kurang atau

salah, maka ia dapat memerintahkan kepada Jaksa Pembantu yang bersangkutan atau

pegawai lain, untuk mengadakan penambahan atau perbaikan yang dianggapnya perlu.

Apakah yang dimaksudkan dengan "pemalsuan" sebagaimana tercantum dalam ayat (2).

Pemalsuan ini ada tiga kemungkinan ialah

surat yang dipakai itu palsu, artinya surat itu dari semula memang sudah palsu, atau

surat yang dipakai itu dipalsukan, artinya semula atau asalnya surat itu betul, akan tetapi

kemudian dipalsukan, mungkin diubah isinya, sebagian atau semuanya, mungkin

dihilangkan beberapa bagian, mungkin telah dilakukan kedua-duanya.

surat yang dipakai itu sebetulnya sudah. dibuat secara yang semestinya, akan tetapi isinya

tidak sama dengan apa yang semestinya, seperti misalnya suatu Akte notaris yang

dibuat menurut semua syarat-syarat yang diperlukan, memuat keterangan atau

pernyataan orang yang menghadap pada notaris, tetapi keterangan itu

bertentangan dengan kebenaran. Dalam hal ini bukan aktenya yang di palsu, akan

tetapi isinya.

Kepalsuan yang tersebut pada sub a dan b di atas biasa disebut "kepalsuan

material", sedangkan kepalsuan yang disebut pada sub c itu adalah "kepalsuan

intelektual."

Apabila ternyata dengan sengaja dipergunakan surat-surat palsu, maka yang

bersalah diancam pidana dalam salah satu pasal dari pasal-pasal 264 s/d 276 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana.

Yang disebut "penyimpan umum" adalah pejabat yang karena kedudukannya dibebani dengan

tugas dan kewajiban menyimpan dan memelihara surat-surat, akte-akte, daftar-daftar,

register-register dan lain sebagainya yang sifatnya umum, seperti misalnya Notaris,

Pegawai pencatatan Sipil dan Pegawai Pencatatan warga, Penyimpan pendaftaran tanah

dan lain sebagainya. Para "pemimpin umum" yang dimintai surat-surat atau bantuannya oleh Jaksa atau Jaksa

Pembantu harus memenuhinya, apabila tanpa alasan tidak mau memenuhinya, ia dapat

dipaksa dengan paksaan badan, misalnya disandera (gijzeling).

Ketentuan dalam pasal 70 berlaku di sini, sehingga yang bersalah itu diancam pidana

dalam pasal 216 atau 225 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Ketentuan dalam ayat (6) pasal 83h ini ada hubungannya dengan perihal "penasehat hukum"

atau "pembela" dalam berperkara. Bolehkah seorang tersangka pada waktu diperiksa

perkaranya oleh Polisi atau Jaksa (pemeriksaan pendahuluan) dibantu oleh seorang

pembela atau penasihat hukum? Menurut ayat (6) pasal ini jika seorang tersangka

dituduh melakukan sesuatu kejahatan yang diancam dengan pidana mati, maka Jaksa

wajib menanyakan kepadanya apakah ia berkehendak di sidang pengadilan dibantu oleh

seorang sarjana hukum atau ahli hukum. Menurut pasal 254 (1) H.I.R. seorang terdakwa

memang berhak untuk kepentingannya didampingi oleh pembela, ini boleh seorang

sarjana hukum atau ahli hukum lain yang biasa disebut pokrol atau pengacara, malahan

menurut pasal 250 (5) H.I.R. bagi terdakwa yang dituduh melakukan peristiwa pidana

yang ada ancamannya pidana mati, oleh Hakim ditunjuk seorang penasihat hukum

dengan percuma, akan tetapi hal ini mengenai pada waktu di sidang pengadilan, atau

tepatnya setelah perkara itu diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pada waktu

pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh Polisi dan Jaksa, tidak ada satu pasal pun

yang menyebutkan 'hak tersangka atas bantuan seorang pembela, sehingga Jaksa atau

Jaksa Pembantu berwenang menolak seorang pembela yang akan mendampingi

tersangka dalam pemeriksaan pendahuluan, ini adalah sifat inquisitoir yang masih

melekat pada H.I.R., lain halnya dengan hukum acara pidana di Negeri Belanda misalnya

yang sifatnya sudah accusatoir, yaitu memberikan kesempatan kepada seorang tersangka

untuk dapat didampingi pembela pada waktu perkaranya mulai diperiksa oleh Polisi.

Dalam Undang-undang Pokok Kehakiman (UU. No. 14/1970) telah ditentukan, bahwa

tersangka sejak saat ditangkap/ditahan (pemeriksaan pendahuluan) berhak untuk

dibantu oleh pembela atau penasihat hukum, cara bagaimana pelaksanaannya masih

harus diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Selama undang-undang yang baru ini

belum dibuat, maka yang berlaku masih tetap peraturan yang ditentukan dalam H.I.R.

Pasal 83i

Jika menurut timbangan jaksa perkara itu sudah cukup diperiksa dan masuk pemeriksaan

pengadilan negeri, maka sekalian surat diserahkannya kepada ketua pengadilan negeri yang

dianggapnya berhak dan dalam hal dituntut supaya perkara itu diperiksa dalam sidang

pengadilan dengan menerangkan seksama-seksamanya atau menunjukkan perbuatanperbuatan tentang mana diminta supaya yang tertuduh dituntut.

Penjelasan:

Tentang Pengadilan Negeri yang berkuasa mengadili silahkan periksa catatan pada pasal 252.

Pasal 83j

Sewaktu memajukan tuntutan yang dimaksud dalam pasal yang lalu maka jaksa dapat juga

menuntut supaya si tertuduh ditangkap atau ditahan dalam penjara.

Kalau si tertuduh berada dalam tahanan karena pasal-pasal 62, 75 dan 83c reglemen ini, pada

waktu tuntutan itu diserahkan kepada kepaniteraan pengadilan negeri yang berhubung dengan perbuatan-perbuatan yang ada tersebut di dalamnya, maka ia tetap tinggal dalam

tahanan sampai ketua pengadilan negeri mengambil keputusan tentang tuntutan itu.

Dalam pada itu selama jaksa belum memasukkan tuntutannya, ia senantiasa berkuasa untuk

menyuruh memerdekakan si tertuduh yang ditahan buat sementara atau yang ditahan

dalam penjara, jika penahanan buat sementara atau penahanan dalam penjara dianggap

tidak perlu lagi. Akan tetapi ia wajib mencabut perintah-perintah yang ada dalam perkara

itu untuk menahan buat sementara, untuk menangkap, atau untuk menahan dalam

penjara, jika pada waktu mengirimkan surat-surat yang tersebut di atas itu tidak

dituntutnya supaya orang itu ditahan dalam penjara.

Penjelasan:

Sebagaimana telah diterangkan dalam penjelasan pada pasal-pasal 60, 72, 75 dan 83 c, maka

penahanan itu yang mula-mula dilakukan oleh Jaksa Pembantu dengan surat perintah

penahanan model A, kemudian, dapat disambung dengan penahanan dengan surat perintah

model S.I. oleh Jaksa kemudian atas tuntutan Jaksa dapat disambung lagi tiap-tiap kali dengan

30 hari dengan surat perintah model S.VI oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Menurut pasal 83 j maka jikalau pemeriksaan pendahuluan sudah selesai dikerjakan dan

menurut pendapat Jaksa pemeriksaannya sudah cukup baik serta masuk kekuasaan Pengadilan

Negeri, maka berkas perkara kemudian oleh Jaksa disampaikan kepada Ketua Pengadilan

Negeri dengan surat tuntutan agar supaya perkara itu diperiksa dalam sidang pengadilan.

Bersama surat ini Jaksa dapat pula memajukan tuntutan agar supaya tersangka yang sudah

berada di dalam tahanan, tetap ditahan. Lamanya penahanan ini tergantung dari pertimbangan

dan pendapat Ketua Pengadilan Negeri. Tiap-tiap kali perpanjangan penahanan oleh Ketua

Pengadilan Negeri lamanya 30 hari (surat perintah model S.VI) sampai perkara itu dapat

diputus.

Pasal 83k

(1) Dalam hal-hal yang dimaksud dalam pasal 83f ayat 1 sub 2e dan pasal 335, menyimpang

sekedar dari apa yang ditetapkan dalam pasal 83j, jaksa akan membawa selekas-lekasnya

dengan langsung perkara itu ke hadapan hakim yang berhak, kecuali pada hal yang

ditentukan dalam ayat ke-4 pasal ini.

(2) Jaksa dapat dengan langsung, bilamana perlu, meminta keterangan yang lebih lanjut dari

pegawai yang melakukan pemeriksaan sementara.

(3) Kalau si tertuduh berada dalam tahanan, dan perkara itu tidak dapat dibawa ke hadapan

hakim sebelum lewat waktu yang tersebut dalam pasal 72 ayat 1, atau tidak dapat dibawa

ke hadapannya selambat-lambatnya dalam delapan hari sesudah si tertuduh didengar

oleh jaksa, yaitu dalam hal yang tersebut dalam pasal 83f ayat 5, maka dengan mengingat

peraturan dalam pasal 83c ayat 1, jaksa itu hendaklah memutuskan, teruskah ditahan si

tertuduh itu dalam penjara atau tidakkah.

(4) Tentang perkara yang dikirimkan oleh jaksa pembantu kepada jaksa menurut aturan

yang ditentukan dalam pasal 83f, maka jaksa berhak untuk memutuskan:

a. bahwa tidak ada alasan untuk menuntut si tertuduh: dalam hal ini, kalau si

tertuduh ditahan, hendaklah ia dimerdekakan, dengan tidak bertangguh lagi;

b. bahwa perkara itu tidak dapat dimajukan sumir; dalam hal ini surat-surat

dikirimkan kepada jaksa pembantu untuk menyempurnakan pemeriksaan, kecuali

kalau jaksa mempunyai alasan akan menyudahi sendiri pemeriksaan sementara itu. Penjelasan:

1. Menurut ayat (1) pasal ini maka jika perkaranya itu sifatnya sederhana baik mengenai

penyelenggaraan hukum maupun pembuktiannya lagi pula tidak akan dijatuhi pidana

utama Lebih dari satu tahun penjara, dan dapat diperiksa secara sumir, Jaksa dengan

selekas-lekasnya membawa perkara itu ke hadapan hakim yang berhak, sehingga

prosedur ini menyimpang dengan apa yang ditetapkan dalam pasal 83 i, yaitu prosedur

biasa, artinya pengajuan perkara ke pengadilan dengan memakai surat tuntutan atau surat

penyerahan perkara.

2. Ayat (2) pasal ini menentukan, bahwa apabila diperlukan oleh Jaksa guna memastikan

tindakan apa yang harus dilakukan lebih lanjut, Jaksa dengan langsung dapat meminta

keterangan dari pegawai yang melakukan pemeriksaan pendahuluan.

3. Di dalam pasal 83 f disebutkan ketentuan-ketentuan tentang cara mengajukan perkara

sumir Ayat (4) dari pasal 83 k ini menentukan selanjutnya bahwa terhadap perkara sumir

yang diajukan oleh Jaksa Pembantu itu Jaksa berwenang memutuskan:

1) bahwa tidak ada alasan sama sekali untuk menuntut tersangka; dalam hal ini jika

tersangka berada dalam tahanan, harus dengan segera dibebaskan;

2) bahwa perkara itu tidak dapat diajukan secara sumir; dalam hal ini berkas

perkaranya dikirimkan kembali kepada Jaksa Pembantu, untuk menyelesaikan

berkas perkara itu secara prosedur biasa, kecuali kalau Jaksa sanggup akan

menyelesaikan sendiri.

Lain halnya apabila Jaksa berpendapat bahwa perkara itu dapat diperiksa secara

sumir seperti yang dimaksud dalam pasal 83 f (1) sub 2 dan pasal 335, maka Jaksa

dapat membawa perkara itu langsung kehadapan hakim yang berwajib.

Pasal 83l

Ditiadakan oleh undang-undang darurat Nomor 1/1951).

(seperti di atas).

(seperti di atas).

Jika perkara itu dapat diadili pada hari itu juga, maka si tertuduh, jika ia ditahan buat sementara

atau ditahan dalam penjara, hendaklah dimerdekakan dengan segera, dengan perintah

supaya ia datang pada hari yang ditentukan atau pada hari yang akan diberitahukan kelak.

Pasal 83m

Bila nyata pada jaksa, bahwa hal-hal yang diberatkan kepada si tertuduh tidak cukup untuk

menuntutnya, atau perbuatan yang diberatkan kepadanya itu tidak dapat dituntut menurut,

hukum, sebab tidak betul hal itu suatu kejahatan atau pelanggaran, maka jaksa hendaklah

dengan segera menyuruh melepaskan si tertuduh.

Pasal 83n

(Ditiadakan oleh undang-undang darurat Nomor 1/1951).

BAB KETUJUH

TENTANG PENGADILAN DISTRIK (Seluruhnya dari pasal 84 s/d pasal 99 ditiadakan oleh undang-undang darurat Nomor

1/1951).

BAB KEDELAPAN

TENTANG PENGADILAN KABUPATEN

(Seluruhnya dari pasal 100 s/d pasal 114 ditiadakan oleh undang-undang darurat Nomor

1/1951).

BAR KESEMBILAN

PERIHAL MENGADILI PERKARA PERDATA YANG HARUS DIPERIKSA

OLEH PENGADILAN NEGERI

Bagian Pertama

TENTANG PEMERIKSAAN PERKARA DI DALAM PERSIDANGAN

(Pasal 115 s/d pasal 117 ditiadakan oleh undang-undang darurat Nomor 1/1951).

Pasal 118

(1) Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan Negeri, harus

dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh

wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa

tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal

sebetulnya.

(2) Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di dalam itu dimajukan

kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal salah seorang dari tergugat itu, yang

dipilih oleh penggugat. Jika tergugat-tergugat satu sama lain dalam perhubungan sebagai

perutang utama dan penanggung, maka penggugatan itu dimasukkan kepada ketua

pengadilan negeri di tempat orang yang berutang utama dari salah seorang dari pada

orang berutang utama itu, kecuali dalam hal yang ditentukan pada ayat 2 dari pasal 6 dari

reglemen tentang aturan hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan kehakiman (R.O.).

(3) Bilamana tempat diam dari tergugat tidak dikenal, lagi pula tempat tinggal sebetulnya

tidak diketahui, atau jika tergugat tidak dikenal, maka surat gugatan itu dimasukkan

kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang dari pada

penggugat, atau jika surat gugat itu tentang barang gelap, maka surat gugat itu

dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa terletak barang itu.

(4) Bila dengan surat syah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan, maka

penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugat itu kepada ketua pengadilan

negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat kedudukan yang dipilih itu.

Penjelasan:

1. Bab kesembilan H.I.R. berisi perihal mengadili "perkara perdata" yang harus diperiksa

oleh Pengadilan Negeri. Di sini kami anggap berfaedah untuk sekedar memberi

keterangan tentang pengertian "hukum perdata". Hukum perdata yang juga disebut hukum sipil itu dibagi atas: 1.

hukum perdata material dan 2. hukum perdata formal. Yang dinamakan "hukum perdata

material" yaitu kumpulan peraturan-peraturan hukum yang mengatur perhubunganperhubungan antara orang-orang atau badan-badan hukum satu sama lain, yang timbul

dari perhubungan pergaulan masyarakat, seperti misalnya peraturan-peraturan tentang

jual beli, sewa-menyewa, gadai, perseroan dagang, tentang kawin dan perceraian dan lain

sebagainya.

Hukum perdata material ini terutama tercantum dalam Kitab,Undang-undang Hukum

Sipil, Kitab Undang-undang Hukum Perniagaan dan dalam Hukum Adat yang tidak

tertulis.

Yang disebut "Hukum perdata formal" yaitu kumpulan peraturan-peraturan hukum yang

menetapkan cara memelihara hukum perdata material karena pelanggaran hak-hak dan

kewajiban-kewajiban yang timbul dari hukum perdata material itu, atau dengan

perkataan lain kumpulan peraturan-peraturan hukum yang menentukan syarat-syarat

yang harus dipenuhi pada melangsungkan persengketaan di muka Hakim Perdata,

supaya memperoleh suatu keputusan dari padanya, dan selanjutnya yang menentukan

cara pelaksanaan putusan Hakim itu.

Hukum Perdata formal itu menurut Pasal 6 Undang-undang Darurat Nomor 1/1951

tersebut untuk daerah Jawa dan Madura tercantum dalam H.I.R., sedangkan untuk

daerah luar Jawa dan Madura tercantum dalam "Rechtsreglement Buitengewesten".

2. Menurut pasal 118 ini maka pendahuluan akan' pemeriksaan perkara perdata oleh

Pengadilan Negeri adalah pemasukan surat permohonan yang harus ditandatangani oleh

penggugat atau wakilnya. Dalam pasal ini tidak ada ketentuan tentang bentuk dan isi

surat permintaan itu. Menurut lazimnya surat permohonan itu dinamakan "introductief

rekest" yang biasanya berisi nama-nama dan tempat tinggal kedua pihak yang

bersengketa (penggugat dan tergugat), apa yang digugat dan alasan-alasan dari gugatan

itu.

Surat permohonan itu, sesudah diterima dan setelah penggugat membayar biaya

administrasi dan ongkos pemanggilan dan pemberitahuan kepada kedua pihak dan biaya

materai, yang harus dibayar oleh penggugat, dicatat dalam daftar perkara perdata oleh

Panitera.

Ketua Pengadilan Negeri menetapkan hari persidangan pengadilan dengan perintah

untuk memanggil ke dua pihak untuk datang menghadap di persidangan itu. Bersamaan

dengan pemanggilan itu salinan surat permintaan atau surat gugatan (introductief rekest)

diserahkan kepada tergugat, dengan •pemberitahuan, bahwa ia, jika dikehendakinya,

dapat menjawab dengan surat (periksa pasal 121).

3. Menurut pasal 120 maka apabila penggugat itu buta huruf, gugatan dapat diajukan

dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang akan mencatat atau menyuruh

mencatatnya.

Siapakah yang sebenarnya dapat berperkara di muka pengadilan itu? Dapat dikatakan

semua orang dan badan hukum, kecuali mereka yang belum dewasa dan yang berada di

bawah pengampunan; mereka ini harus diwakili oleh wakil atau walinya.

Pasal 119

Ketua pengadilan negeri berkuasa memberi nasihat dan pertolongan kepada penggugat atau

kepada wakilnya tentang hal memasukkan surat gugatnya. Penjelasan:

Peraturan ini adalah amat berguna bagi orang-orang yang mencari keadilan, yang biasanya

tidak mempunyai pengetahuan tentang hukum umumnya dan tidak tahu akan pemeriksaan

perkara perdata khususnya, lagi pula tidak mampu untuk membayar pertolongan seorang

penasihat hukum. Peraturan ini sebenarnya bertentangan dengan larangan umum bagi Hakim

dalam perkara yang telah diserahkan kepada pengadilannya, atau yang dapat diduganya akan

diajukan kepadanya, dengan langsung atau tidak langsung, untuk memberi nasihat atau

pertolongan kepada pihak-pihak yang berperkara atau pengacaranya, akan tetapi ternyata

sesuai benar dengan jiwa Undang-undang Pokok Kehakiman (UU Nomor 14/1970) pasal 5

ayat (2) yang mengatakan bahwa dalam perkara, Pengadilan membantu para pencari keadilan

dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dari rintangan untuk dapat

tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

Pasal 120

Bilamana penggugat buta huruf, maka surat gugatnya yang dapat dimasukkannya dengan lisan

kepada ketua pengadilan negeri, yang mencatat gugat itu atau menyuruh mencatatnya.

Penjelasan:

Peraturan ini amat menolong dan berguna sekali bagi orang-orang pencari keadilan yang

pengetahuannya masih sederhana dan tidak mampu untuk membuat dan menuliskan surat

gugatan. Gugatannya dapat,diajukan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang akan

membuatkan gugatan itu, atau menyuruh membuatkannya.

Ketentuan ini sesuai dengan kehendak penyusunnya, Jhr.Mr.H.L. Wichers, yang menghendaki

agar pemeriksaan perkara perdata di muka pengadilan untuk bangsa Indonesia yang di waktu

itu tahap pengetahuannya masih amat bersahaja, diatur secara praktis, mudah dan tidak

memakan banyak ongkos. Dengan amat kebetulan sesuai pula dengan jiwa Undang-undang

Pokok Kehakiman (UU No. 14/1970) pasal 4 ayat (2) yang menentukan bahwa peradilan

harus dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Pasal 120a

(Ditiadakan oleh undang-undang darurat No. 1/1951).

Pasal 121

Sesudah surat gugat yang dimasukkan itu atau catatan yang diperbuat itu dituliskan oleh

panitera dalam daftar yang disediakan untuk itu, maka ketua menentukan hari, dan

jamnya perkara itu akan diperiksa di muka pengadilan negeri, dan ia memerintahkan

memanggil kedua belah pihak supaya hadir pada waktu itu, disertai oleh saksi-saksi yang

dikehendakinya untuk diperiksa, dan dengan membawa segala surat-surat keterangan

yang hendak dipergunakan.

Ketika memanggil tergugat, maka beserta itu diserahkan juga sehelai salinan surat gugat

dengan memberitahukan bahwa ia, kalau mau, dapat menjawab surat gugat itu dengan

surat.

Ketetapan yang dimaksud dalam ayat pertama dari pasal ini dicatat dalam daftar yang tersebut

dalam ayat itu, demikian juga pada surat gugat asli.

Memasukkan ke dalam daftar seperti di d~lam ayat pertama, tidak dilakukan, kalau belum

dibayar lebih dahulu kepada panitera sejumlah uang yang akan diperhitungkan kelak

yang banyaknya buat sementara ditaksir oleh ketua pengadilan negeri menurut keadaan untuk bea kantor kepaniteraan dan ongkos melakukan segala panggilan serta

pemberitahuan yang diwajibkan kepada kedua belah pihak dan harga meterai yang akan

dipakai.

Penjelasan:

Surat gugatan yang dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri, sesudahnya diterima dan

penggugat membayar semua biaya administrasi dan ongkos pemanggilan serta

pemberitahuan kepada kedua pihak dan biaya meterai yang harus dibayar oleh penggugat

(lihat ayat (4) pasal ini) dicatat dalam daftar perkara perdata oleh Panitera.

Ketua Pengadilan Negeri menetapkan hari dan jam persidangan pengadilan dengan perintah

untuk memanggil kedua belah pihak untuk datang di persidangan. Bersamaan dengan

pemanggilan ini sehelai salinan surat gugatan diserahkan kepada tergugat, dengan

pemberi tahuan, bahwa ia jika dikehendakinya dapat menjawab dengan surat. Surat

jawaban ini mungkin akan berisi tangkisan yang bersifat:

Tangkisan prinsipal yaitu tergugat membantah kebenaran hal-hal yang dikemukakan oleh

penggugat dalam surat gugatannya, atau

Tangkisan eksepsi, yaitu tergugat tidak membantah secara Langsung isi surat gugatannya,

yaitu menolak gugatannya dengan jalan mengatakan, bahwa dengan alasan-alasan

tertentu pengadilan tidak berwenang untuk mengadili perkaranya secara relatif,

artinya yang berhubungan dengan wewenang hakim yang berhubungan dengan

daerah hukumnya, bukan yang secara absolut, wewenang yang berhubungan

dengan sifat perkaranya.

Bagi penggugat yang buta huruf ada ketentuan dalam pasal 120 untuk memaukan gugatannya

dengan lisan, akan tetapi bagi tergugat tidak ada ketentuan boleh menjawab surat

gugatan dengan lisan, malahan menurut ayat (2) pasal 121, kalau mau ia boleh menjawab

gugatan itu, tetapi dengan surat.

Pasal 122

Ketika menentukan hari persidangan, ketua menimbang jarak antara tempat diam atau tempat

tinggal kedua belah pihak dari tempat pengadilan negeri bersidang dan kecuali dalam hal perlu

benar perkara itu dengan segera diperiksa, dan hal ini disebutkan dalam surat perintah, maka

tempo antara hari pemanggilan kedua belah pihak dari hari persidangan tidak boleh kurang

dari tiga hari kerja.

Penjelasan:

Mengetahui dekat jauhnya jarak dari tempat kediaman kedua belah pihak sampai tempat

persidangan itu perlu untuk menentukan lamanya waktu antara saat pemanggilan dan saat

mulai bersidang.

Kalau jaraknya dekat, waktunya pendek, kalau jaraknya jauh, waktunya juga lama; akan tetapi

tempuh antara hari pemanggilan ke dua belah pihak itu dari hari bersidang paling sedikit tiga

hari kerja.

Pasal 123

(1) Bilamana dikehendaki, kedua belah pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa, yang

dikuasakannya untuk melakukan itu dengan surat kuasa teristimewa, kecuali kalau yang

memberi kuasa itu sendiri hadir. Penggugat dapat juga memberi kuasa itu dalam surat

permintaan yang ditandatanganinya dan dimasukkan menurut ayat pertama pasal 118 atau jika gugatan dilakukan dengan lisan menurut pasal 120, maka dalam hal terakhir ini,

yang demikian itu harus disebutkan dalam catatan yang dibuat surat gugat ini.

(2) Pegawai yang karena peraturan umum, menjalankan perkara untuk Indonesia sebagai

wakil negeri, tidak perlu memakai surat kuasa yang teristimewa yang sedemikian itu.

(3) Pengadilan Negeri berkuasa memberi perintah, supaya kedua belah pihak, yang diwakili

oleh kuasanya pada persidangan, datang menghadap sendiri. Kuasa itu tidak berlaku

buat Presiden.

Penjelasan:

1. Kuasa yang boleh mewakili sebagaimana tersebut dalam pasal ini ada dua macam, yaitu

yang biasa disebut "Kuala umum" dan kuasa khusus". Kuasa umum yaitu kuasa yang

telah ditunjuk di dalam surat gugatan (pasal 118) atau pada waktu mengajukan gugatan

lisan (pasal 120), sedangkan yang dimaksud kuasa khusus yaitu orang yang dengan surat

kuasa tersendiri (khusus) dikuasakan untuk mewakili berperkara.

2. Prinsip acara berperkara menurut H.I.R. dalam hal ini memang berlainan dengan prinsip

acara berperkara menurut "Reglemaiit op de Burgerlijke Rechtsvordering" yang berlaku

bagi orang barat di zaman Hindia Belanda dahulu. Kalau menurut H.I.R. ke dua belah

dimaksudkan supaya menghadap sendiri (kalau dikehendaki barulah .kedua belah pihak

boleh diwakili oleh kuasa ), maka menurut "reglement" yang lain itu kedua belah pihak

yang berperkara senantiasa diharuskan menggunakan bantuan seorang pengacara yang

biasa disebut "procureur", kalau mereka datang tanpa "procureur", dianggap tidak

datang.

3. Pegawai Negeri yang menjalankan perkara untuk Indonesia sebagai wakil Negara

menurut Staatsblad 1922 Nomor 522 yang diubah dengan Staatsblad 1941 Nomor 31 jo

Nomor 98 untuk Pengadilan Negeri adalah Opsir justisi pada Pengadilan Negeri itu.

Dengan keluarnya Undang-Undang Darurat Nomor 1/1951 pegawai itu adalah Jaksa

Kepala atau Jaksa.

Pasal 124

Jika penggugat tidak datang menghadap pengadilan negeri pada hari yang ditentukan itu,

meskipun ia dipanggil dengan patut, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap

mewakilinya, maka surat gugatnya dianggap gugur dan penggugat dihukum biaya perkara; akan

tetapi penggugat berhak memasukkan gugatannya sekali lagi, sesudah membayar lebih dahulu

biaya perkara yang tersebut tadi.

Penjelasan:

Kalau penggugat tidak hadir pada hari persidangan, baik sendiri maupun kuasanya, sedangkan

ternyata bahwa ia telah dipanggil dengan patut, maka gugatannya dianggap gugur, artinya tidak

berlaku lagi, dan bersamaan dengan itu ia dihukum untuk membayar ongkos perkaranya.

Setelah itu sudah barang tentu ia berwenang untuk mengajukan gugatannya, lagi sesudah

membayar lebih dahulu membayar biaya yang diwajibkan.

Pasal 125

Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang

lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu

diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa

pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan. Akan tetapi jika tergugat, di dalam surat jawabannya yang tersebut pada pasal 121,

mengemukakan perlawanan (exceptie) bahwa pengadilan negeri tidak berkuasa

memeriksa perkaranya, maka meskipun ia sendiri atau wakilnya tidak hadir, ketua

pengadilan Negeri wajib memberi keputusan tentang perlawanan itu, sesudah

didengarnya penggugat dan hanya jika perlawanan itu tidak diterima, maka ketua

pengadilan negeri memutuskan tentang perkara itu.

Jika surat gugat diterima, maka atas perintah ketua diberitahukanlah keputusan pengadilan

negeri kepada orang yang dikalahkan itu serta menerangkan pula kepadanya, bahwa ia

berhak memajukan perlawanan (verzet) di dalam tempo dan dengan cara yang

ditentukan pada pasal 129 tentang keputusan itu di muka pengadilan itu juga.

Panitera mencatat di bawah surat putusan itu kepada siapakah dulunya diperintahkan

menjalankan pekerjaan itu dan apakah yang diterangkan orang itu tentang hal itu, baik

dengan surat maupun dengan lisan.

Penjelasan

Kalau yang tidak datang menghadap di persidangan itu penggugat, gugatan akan diperlakukan

seperti yang tersebut dalam pasal 124, akan tetapi apabila yang tidak datang pada hari

perkara itu tergugat, lagi pula ia tidak pula mewakilkan kepada kuasanya untuk

menghadap, meskipun ia sudah dipanggil dengan patut, maka tuntutan dalam surat

gugatan itu diterima dengan putusan "verstek" atau "in absensia", yang artinya putusan

tak hadir, kecuali jika nyata pada pengadilan negeri bahwa tuntutan itu melawan hak atau

tidak beralasan. Putusan hakim yang dijatuhkan dengan putusan tak hadir ini menurut

ketentuan yang tersebut dalam pasal 128 tidak boleh dijalankan sebelum lewat empat

belas hari sesudah diberitahukan, kecuali dalam hal yang perlu, yaitu atas desakan orang

yang menggugat.

Dalam hal ini jikalau ternyata, bahwa tergugat sebelumnya telah mengajukan suatu eksepsi

sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pada pasal 121, maka meskipun tergugat

atau wakilnya tidak datang menghadap di sidang pengadilan, Ketua Pengadilan Negeri

diwajibkan memeriksa dahulu kebenarannya eksepsi itu dan memberikan keputusannya,

setelah itu barulah memulai memeriksa pokok perkaranya.

Eksepsi yang dimaksud dalam ayat (2) pasal 125 ini ialah yang ditujukan kepada tidak

berwewenangnya pengadilan buat memeriksa perkaranya secara relatif, maksudnya

wewenang yang berhubungan dengan daerah hukumnya, bukan wewenang secara

absolut, yaitu wewenang yang tergantung pada sifat perkaranya.

Pasal 126

Di dalam hal yang tersebut pada kedua pasal di atas tadi, Pengadilan negeri dapat, sebelum

menjatuhkan keputusan, memerintahkan supaya pihak yang tidak datang dipanggil buat kedua

kalinya, datang menghadap pada hari persidangan lain, yang diberitahukan oleh ketua. di dalam

persidangan kepada pihak yang datang, bagi siapa pemberitahuan itu berlaku sebagai

panggilan.

Penjelasan:

Kedua pasal yang tersebut di atas, yaitu pasal 124 dan pasal 125, masing-masing mengatur apa

yang harus dilakukan, apabila penggugat, ataupun tergugat, walaupun sudah dipanggil dengan

patut, tidak datang menghadap persidangan, juga tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya.

Terhadap penggugat gugatannya dianggap gugur, sedangkan bagi tergugat yang tidak datang

itu dikalahkan perkaranya dengan putusan verstek. Pasal 126 ini memberikan suatu kelonggaran, yaitu dalam hal-hal tersebut dalam pasal-pasal

124 dan 125 hakim tidak wajib segera mengambil keputusan seperti tersebut di atas itu, akan

tetapi dapat memerintahkan agar supaya pihak yang tidak datang itu dipanggil sekali lagi

supaya menghadap. Apabila pada panggilan yang ke dua kali ini juga mereka itu tetap tidak

menghadap atau menyuruh wakilnya untuk menghadap, maka barulah diambil keputusan

seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 124 dan 125 di atas.

Ketentuan dalam pasal 126 ini seakan-akan memberi peringatan agar hakim jangan sampai

bertindak dengan tergesa-gesa. Mudah dimengerti misalnya kemungkinan tetap ada, bahwa

pemanggilan untuk menghadap, walaupun barangkali secara formil telah disampaikan dengan

patut, akan tetapi m,angkin sesungguhnya orang yang dipanggil itu tidak mengetahui tentang

pemanggilan itu. Ini bukan hal yang mustahil, oleh karena menurut ketentuan surat panggilan

itu dijalankan oleh juru sita. la tidak bertemu sendiri dengan orang yang dipanggil, akan tetapi

menyerahkan panggilan itu kepada kepala desa dan kepala desa itu lalai untuk

menyampaikannya, lebih-lebih kalau diingat, bahwa karena banyaknya pekerjaan di balai desa

itu biasanya semrawut.

Pasal 127

Jika seorang atau lebih dari tergugat tidak datang atau tidak menyuruh orang lain menghadap

mewakilinya, maka pemeriksaan perkara itu diundurkan sampai pada hari persidangan lain,

yang paling dekat. Hal mengundurkan itu diberi tahukan pada waktu persidangan kepada pihak

yang hadir, bagi mereka pemberitahuan itu sama dengan panggilan, sedang tergugat yang tidak

datang, disuruh panggil oleh ketua sekali lagi menghadap hari persidangan yang lain. Ketika itu

perkara diperiksa, dan kemudian diputuskan bagi sekalian pihak dalam satu keputusan, atas

mana tidak diperkenankan perlawanan (verzet).

Penjelasan:

Pasal ini menentukan apa yang harus dilakukan, apabila tergugat tidak semuanya datang

menghadap atau tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai kuasanya. Dalam hal ini hari

sidang pemeriksaan perkara diundurkan sampai pada hari persidangan yang lain yang

ditentukan oleh Ketua Pengadilan Negeri, waktu pengunduran mana tidak boleh terlalu lama.

Pengunduran ini diberitahukan dalam persidangan dan bagi para yang hadir pada waktu itu

pemberitahuan ini berlaku sebagai panggilan, sedangkan bagi yang tidak hadir, oleh Ketua

Pengadilan Negeri diperintahkan supaya dipanggil. Dalam sidang yang akan datang itu

diputuskan perkaranya bagi semua tergugat sekaligus, baik bagi yang datang maupun tidak.

Atas keputusan hakim ini tidak diperkenankan mengajukan perlawanan.

Pasal 128

(1) Putusan yang dijatuhkan sedang pihak yang dilakukan tak hadir (verstek), tidak dapat

dijalankan sebelum lewat empat belas hari sesudah pemberitahuan, yang dimaksud pada

pasal 125.

(2) Jika sangat perlu, maka putusan itu dapat diperintahkan supaya dijalankan sebelum lewat

tempo itu, baik dalam putusan atau oleh ketua sesudah dijatuhkan keputusan, atas

permintaan penggugat baik dengan lisan maupun dengan surat.

Penjelasan:

Dalam pasal ini ditentukan, bahwa keputusan verstek hakim itu tidak boleh dieksekusi

sebelum lewat waktu empat betas had sesudah pemberitahuan Ketua Pengadilan Negeri

kepada yang dikalahkan sebagaimana yang tercantum dalam ayat (3) pasal 125. Walaupun

demikian jika oleh Ketua Pengadilan Negeri dianggap perlu, keputusan tersebut boleh juga dilakukan dalam tempuh kurang dari 14 hari itu, atas permintaan orang yang menggugat secara

lisan maupun secara tertulis. Ketentuan melakukan keputusan dalam tempuh yang kurang dari

14 hari ini dapat disebutkan sama sekali dalam putusan hakim itu juga, maupun dengan

perintah tersendiri yang dikeluarkan sesudah dijatuhkan keputusan.

Pasal 129

Tergugat, yang dihukum sedang ia tak hadir (verstek) dan tidak menerima putusan itu, dapat

memajukan perlawanan atas keputusan itu.

Jika putusan itu diberitahukan kepada yang dikalahkan itu sendiri, maka perlawanan itu dapat

diterima dalam tempo empat belas hari sesudah pemberitahuan itu. Jika putusan itu

tidak diberitahukan kepada yang dikalahkan itu sendiri, maka perlawanan itu dapat

diterima sampai hari kedelapan sesudah peringatan yang tersebut pada pasal 196, atau

dalam hal tidak menghadap sesudah dipanggil dengan patut, sampai hari kedelapan

sesudah dijalankan keputusan surat perintah kedua, yang tersebut pada pasal 197.

Surat perlawanan itu dimasukkan dan diperiksa dengan cara yang biasa, yang diatur untuk

perkara perdata.

Memajukan surat perlawanan kepada ketua pengadilan negeri menahan pekerjaan,

menjalankan keputusan, kecuali jika diperintahkan untuk menjalankan keputusan

walaupun ada perlawanan (verzet).

Jika yang melawan (opposant), yang buat kedua kalinya dijatuhi putusan sedang ia tak hadir,

meminta perlawanan lagi, maka perlawanan itu tidak dapat diterima.

Penjelasan:

Menurut pasal ini tergugat yang dikalahkan dengan verstek dan tidak menerima putusan itu,

berhak untuk mengajukan perlawanan atas keputusan itu. Adapun batas waktu untuk

mengajukan perlawanan itu ditentukan sebagai berikut:

apabila keputusan verstek itu oleh hakim sendiri diberitahukan kepada orang yang kalah,

maka tempuhnya dalam 14 hari sesudah pemberitahuan itu, atau.

apabila keputusan itu tidak diberitahukan oleh hakim sendiri, maka tempuhnya sampai

hari ke 8 sesudah teguran yang tersebut dalam pasal 196, yaitu sesudah Ketua

Pengadilan Negeri memanggil pihak yang kalah dan menasehati supaya ia

memenuhi keputusan itu atau.

apabila ia tidak datang sesudah dipanggil dengan patut, tempuhnya sampai hari ke 8

sesudah dijalankan surat perintah Ketua Pengadilan Negeri yang tersebut pada

pasal 197, yaitu surat perintah supaya disita sekian barang-barang milik pihak yang

kalah, sehingga dirasa cukup untuk membayar sejumlah uang yang tersebut dalam

keputusan itu serta biaya menjalankan keputusan.

Menurut ayat (3) pasal ini cara memasukkan dan memeriksa tuntutan perlawanan terhadap

putusan verstek itu dilakukan dengan cara yang sama seperti memasukkan dan

memeriksa perkara biasa.

Apabila tuntutan perlawanan terhadap putusan verstek telah dimasukkan ke Pengadilan

Negeri, maka eksekusi keputusan tersebut tidak dijalankan, kecuali jika hakim dengan

khusus memerintahkan untuk melakukannya (lihat ayat (4) pasal ini). Adapun atas

keputusan verstek ke dua kalinya terhadap tergugat perlawanannya tidak akan diterima,

artinya keputusan itu tidak dapat dilawan lagi.

Pasal 130 Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan

pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.

Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat

sebuah surat (akte) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menepati

perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai

putusan yang biasa.

Keputusan yang sedemikian tidak diizinkan dibanding.

Jika pada waktu mencoba akan memperdamaikan kedua belah pihak, perlu dipakai seorang

juru bahasa, maka peraturan pasal yang berikut dituruti untuk itu.

Penjelasan:

Menurut pasal ini apabila pada hari yang ditentukan ke dua belah pihak datang menghadap di

persidangan, baik mereka sendiri atau pun kuasa mereka, maka Hakim berusaha untuk

mendamaikan lebih dahulu ke dua pihak itu. Apabila usaha ini berhasil, maka di persidangan

lalu dibuat suatu Akte persetujuan. Diputuskan bahwa ke dua belah pihak harus memenuhi

persetujuan itu. Kekuatan akte ini sama dengan kekuatan suatu keputusan Hakim biasa dan

dijalankan pula seperti keputusan biasa, akan tetapi putusan semacam itu tidak boleh

dimintakan banding atau kasasi.

Apabila perlu dipergunakan juru bahasa, dapat dipakai peraturan dalam pasal 131.

Pasal 131

Jika kedua belah pihak menghadap, akan tetapi tidak dapat diperdamaikan (hal ini mesti

disebutkan dalam pemberitaan pemeriksaan, maka surat yang dimasukkan oleh pihakpihak dibacakan, dan jika salah satu pihak tidak paham bahasa yang dipakai dalam surat

itu diterjemahkan oleh juru bahasa yang ditunjuk oleh ketua dalam bahasa dan kedua

belah pihak.

Sesudah itu maka penggugat dan tergugat didengar kalau perlu dengan memakai seorang juru

bahasa.

Juru bahasa itu, jika ia bukan juru bahasa pengadilan negeri yang sudah disumpah, harus

disumpahkan di hadapan ketua, bahwa ia akan menterjemahkan dengan Lulus dan ikhlas

apa yang harus diterjemahkan dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain.

Ayat ketiga dari pasal 154 berlaku bagi juru bahasa.

Penjelasan:

Apabila perdamaian yang diusahakan berdasarkan ketentuan dalam pasal 130 tidak dapat

tercapai, artinya ke dua belah pihak tidak dapat didamaikan, maka pertama-tama surat

gugatan harus dibacakan Sesudah itu Hakim memberi kesempatan kepada tergugat

untuk menjawab gugatan itu. Tidak hanya tergugat, akan tetapi penggugat pun di dengar

keterangannya. Dalam hal ini apabila perlu dapat digunakan juru bahasa. Kalau dipakai

juru bahasa dari luar Pengadilan Negeri, yang belum disumpah, maka ia harus disumpah

terlebih dahulu oleh Ketua Pengadilan Negeri, bahwa ia akan menterjemahkan dengan

benar apa yang harus diterjemahkan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain.

Dalam hal ini biasanya tergugat, kecuali kalau ia mengakui gugatan itu sepenuhnya, mulai

dengan mengajukan eksepsi atau tangkisan, misalnya tangkisan bahwa Hakim tidak

berkuasa mengadili perkara itu, artinya tidak mempunyai kekuasaan relatif maupun

absolut, dan lalu mengajukan jawabannya atas pokok gugatan, jika dan perlu mengajukan

gugatan melawan atau gugatan balasan (gugatan reconventie) terhadap penggugat,

gugatan mana harus diperiksa dan diputuskan secara yang sama seperti cara bagi gugatan yang semula. Gugatan melawan ini harus pula mengandung keterangan tentang apa yang

digugat dan alasan-alasan gugatan itu seperti isi gugatan yang semula (pasal 132 a).

Apabila ternyata bahwa tangkisan itu beralasan, maka Hakim memutuskan, bahwa ia

tidak berkuasa untuk mengadili perkara itu Apabila tangkisan itu ditolak, maka

pemeriksaan perkara itu di teruskan.

Menurut bunyi ayat (4) pasal ini maka ketentuan dalam ayat (3) pasal 154 berlaku bagi juru

bahasa, yaitu yang menerangkan bahwa mereka yang tidak dapat didengar sebagai saksi,

tidak dapat diangkat menjadi Juru bahasa.

Pasal 132

Ketua berhak, pada waktu memeriksa, memberi penerangan kepada kedua belah pihak dan

akan menunjukkan supaya hukum dan keterangan yang mereka dapat dipergunakan jika ia

menganggap perlu, supaya perkara berjalan baik dan teratur.

Penjelasan:

1. Peraturan ini, sifatnya seperti peraturan dalam pasal 119, pada hakekatnya bertentangan

dengan azas, bahwa bagi Hakim dalam perkara yang telah berada di tangannya, atau yang

dapat diduganya akan diajukan kepadanya, dengan langsung atau tidak langsung dilarang

untuk memberi nasihat atau pertolongan kepada pihak-pihak yang berperkara atau

pengacaranya, akan tetapi amat berguna bagi kelancaran jalannya pengadilan pada

umumnya dan bagi kepentingan ke dua belah pihak khususnya, dan hal ini sesuai pula

dengan jiwa Undang-undang Pokok Kehakiman (Undang-Undang Nomor 14/1970)

pasal 5 ayat (2) yang menentukan bahwa dalam perkara perdata, Pengadilan membantu

para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala rintangan untuk

dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

2. Yang dimaksud "upaya hukum" dalam pasal ini, yang dalam kata aselinya disebut

"rechtsmiddel", adalah jalan-jalan menurut hukum yang dapat ditempuh untuk dapat

dicapai suatu keadilan seperti inisalnya eksepsi terhadap kekuasaan hakim untuk

mengadili, perlawanan terhadap putusan verstek, Bandingan, kasasi dan lain sebagainya.

Ini semua adalah upaya hukum yang biasa. Di samping itu masih ada lagi yang disebut

upaya hukum yang luar biasa. ini tidak disebut dalam H.I.R. akan tetapi baik juga untuk

diterangkan di sini.

Tentang upaya hukum luar biasa ini, menurut Mr. R. Tresna dalam bukunya yang

berjudul "Komentar H.I.R., seperti berikut:

a. Perlawanan pihak ketiga (derden verzet), diatur dalam Buku I. titel 10 dari

Reglemen Hukum Acara Perdata untuk Raad van Justitie dan Hooggerechtshof

(pasal 378 - 384). Pokoknya, ialah bahwa orang ketiga dapat memajukan keberatan

terhadap sesuatu keputusan yang dapat merugikan haknya, jikalau baik ia sendiri

ataupun yang ia wakili, tidak pernah dipanggil di dalam perkaranya atau tidak ikut

serta sebagai pihak, baik dengan jalan "voeging" maupun dengan jalan

"tusschenkomst".

b. Rekes - sipil. Diatur dalam Buku I titel XI Reglemen Hukum Acara Perdata

tersebut di atas (pasal 385 - 401). Pokoknya ialah bahwa atas permohonan orang

yang menjadi pokok atau pernah dipanggil, keputusan yang dijatuhkan dalam

persidangan atas perlawanan dan keputusan-keputusan tidak hadir yang sudah

tidak dapat dilawan (verzet) lagi, dapat ditarik kembali di dalam hal-hal yang

tertentu, seperti satu persatu dimuat dalam pasal 385. c. "Voeging"dan "tusschenkomst": Ini adalah dua macam percampuran tangan dari

pihak ke tiga di dalam satu perkara, diatur dalam Buku I, titel II, bagian ke 17

Reglemen Hukum Acara Perdata tersebut di atas (pasal 297 - 282).

Pasal 297 bunyinya: "Setiap orang yang berkepentingan di dalam suatu perkara

perdata, yang terjadi di antara dua belah pihak yang lain, dapat menuntut supaya ia

diperbolehkan ikut serta atau mencampuri". Bedanya "voeging" (ikut serta) dan

"tusschenkomst" (mencampuri) ialah seperti berikut:

"Voeging" (ikut serta) = menempatkan diri di samping salah satu pihak bersamasama dengan pihak 4ni menghadapi pihak yang lain. "Tusschenkomst"

(mencampuri = menempatkan diri) di tengah - tengah antara ke dua belah pihak.

d. "Vrijwaring" (ditarik masuk dalam perkara). Diatur dalam Buku I, titel I bagian ke

lima dari Reglemen Hukum Acara Perdata tersebut di atas (pasal 70 - 76).

Vrijwaring ini terjadi jikalau dalam suatu perkara di luar ke dua belah pihak yang

ditarik masuk dalam perkara sebagai pihak ke tiga.

3. Yang dimaksud "keterangan" yaitu "upaya keterangan" atau "bukti" (bewijsmiddel)

seperti bukti dengan surat, bukti dengan saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah

sebagaimana tersebut dalam pasal 164.

Pasal 132a

Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan kecuali.

kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang gugatan melawan itu

akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;

kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak berhak memeriksa

gugatan melawan itu berhubung dengan pokok perselisihan.

dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.

Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugat melawan, maka dalam

bandingan tidak dapat memajukan gugatan itu.

Penjelasan:

Oleh karena bagi tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya.

untuk menggugat kembali penggugat, maka tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru,

akan tetapi cukup dengan memajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan

jawabannya terhadap gugatan lawannya. Gugatan melawan ini dapat diajukan baik secara

tertulis, maupun secara lisan (lihat pasal 132 b).

Dengan diberikannya kesempatan untuk gugat-menggugat ini maka jalannya berperkara

menjadi lebih lancar, oleh karena dua persoalan dapat diperiksa sekaligus.

Pada sub 1,2 dan 3 dari pasal ini disebutkan pengecualiannya, yaitu:

1. Jikalau penggugat dalam perkara itu bertindak untuk orang atau badan lain, sedangkan

gugatan melawan itu untuk kepentingan pribadi penggugat. Hal ini memang beralasan,

sebab penggugat pertama dengan penggugat melawan di sini merupakan dua oknum

yang satu sama lain tidak ada hubungannya.

2. Jikalau Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatan pertama tidak mempunyai wewenang

guna memeriksa gugatan melawan, seperti misalnya isi gugatan melawan itu karena

sifatnya termasuk kompentensi Pengadilan Agama atau pengadilan lain yang bukan

pengadilan Negeri itu. 3. Jikalau perkara itu tentang sengketa mengenai eksekusi keputusan hakim, oleh karena

dalam pelaksanaan keputusan hakim itu pada hakekatnya sudah tidak ada persoalan lagi

tentang persengketaan, sebab segala sesuatu oleh hakim telah diselesaikan, sehingga

tidak ada alasan lagi untuk saling bergugatan.

Pasal 132b

(1) Tergugat wajib memajukan gugatan melawan bersama-sama dengan jawabannya, baik

dengan surat maupun dengan lisan.

(2) Buat gugatan melawan itu berlaku peraturan dari bagian ini.

(3) Kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu keputusan, kecuali

kalau sekiranya pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara yang pertama dapat lebih

dahulu diselesaikan daripada yang kedua, dalam hal mana demikian dapat dilakukan,

tetapi gugatan mula-mula dan gugatan melawan yang belum diputuskan itu masih tetap

diperiksa oleh hakim itu juga, sampai dijatuhkan keputusan terakhir.

(4) Bandingan diperbolehkan, jika banyaknya wang dalam gugatan tingkat pertama

ditambah dengan wang dalam gugatan melawan lebih daripada jumlah wang yang

sebanyak-banyaknya yang dapat diputuskan oleh pengadilan negeri sebagai hakim yang

tertinggi.

(5) Bila kedua perkara itu dibagi-bagi dan keputusan dijatuhkan berasing-asing, maka

haruslah dituruti aturan biasa tentang hak bandingan.

Penjelasan:

Menurut ayat (1) dan (3) pasal ini gugatan perlawanan diajukan bersama-sama jawaban

tergugat atas gugatannya, baik secara tertulis maupun secara lisan.

Gugatan pertama dan gugatan perlawanan itu harus diperiksa dan diputus sekali gus dalam

satu surat keputusan. Apabila pengadilan Negeri berpendapat lain, bisa juga; perkara itu

diperiksa dan diputus secara terpisah, akan tetapi yang tidak boleh diabaikan ialah, bahwa

kedua gugatan itu harus senantiasa diselesaikan pemeriksaannya oleh hakim itu juga sampai

dijatuhkan putusan yang terakhir.

Pasal 133

Jika tergugat dipanggil menghadap pengadilan negeri sedang ia menurut aturan pasal 118 tidak

usah menghadap hakim maka ia dapat meminta pada hakim, jika hal ini dimajukan sebelum

sidang pertama, supaya hakim menyatakan bahwa.

ia tidak berkuasa: surat gugat itu tidak akan diperhatikan lagi, jika tergugat telah melahirkan

sesuatu perlawanan lain.

Penjelasan:

Pasal 133 ini mengatur tentang mengajukan eksepsi tentang tidak berwenangnya hakim untuk

mengadili perkara, secara lisan, sedangkan pasal 125 ayat (2) memuat peraturan mengenai

eksepsi semacam itu secara tertulis.

Eksepsi secara lisan itu harus diajukan kepada hakim di sidang permulaan.

Pasal 134

Jika perselisihan itu suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan pengadilan negeri, maka pada

setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu, dapat diminta supaya hakim menyatakan dirinya

tidak berkuasa dan hakim pun wajib pula mengakuinya karena jabatannya. Penjelasan:

Eksepsi atau penyangkalan yang disebutkan dalam pasal-pasal 125 dan 133 itu dikenakan

kepada penyangkalan wewenang pengadilan negeri yang bersifat relatif, yaitu wewenang yang

berhubungan dengan daerah hukumnya, sedangkan eksepsi atau penyangkalan yang

disebutkan dalam pasal 134 ini adalah penyangkalan mengenai wewenang pengadilan negeri

yang bersifat absolut, yaitu wewenang yang berhubungan dengan sifat perkaranya.

Apabila mengenai wewenang yang bersifat relatif, eksepsi atau penyangkalan itu hanya dapat

diperhatikan, jika eksepsi itu diajukan dengan segera pada sidang permulaan atau dengan surat

jawaban yang dimaksud dalam pasal 121, maka eksepsi atau penyangkalan wewenang yang

bersifat absolut dapat diajukan pada sembarang waktu dalam pemeriksaan perkara.

Apabila penyangkalan itu ternyata betul dan beralasan, maka hakim karena jabatannya wajib

mengakui, bahwa ia tidak berwenang.

Pasal 135

Jika tidak ada pernyataan tidak berkuasa, atau jika ada pernyataan yang ditimbang tidak

beralasan, maka pengadilan negeri, sesudah mendengar kedua belah pihak, akan dengan segera

memeriksa dengan saksama dan adil kebenaran surat gugatan yang dilawan itu dan syah-nya

pembelaan tentang itu.

Penjelasan:

Menurut pasal ini maka hakim barulah mulai dengan teliti dan adil memeriksa kebenaran surat

gugatan yang dilawan atau syah-nya perlawanan tentang perkara itu, apabila tidak ada

perlawanan tentang wewenang hakim untuk mengadili, atau apabila perlawanan semacam itu

ada, akan tetapi ternyata tidak beralasan, sedangkan ke dua belah p1hak sudah didengar

keterangannya. Pada hakekatnya inilah tugas hakim yang sesungguhnya, ialah memberi

keputusan di dalam persengketaan yang diajukan kepadanya.

Pasal 135a

Jika gugatan itu mengenai perkara pengadilan yang sudah diputus oleh hakim desa, maka

pengadilan-pengadilan negeri meminta diberitahukan padanya tentang keputusan itu dan

sebanyak-banyaknya tentang alasan-alasannya.

Jika gugatan itu perkara pengadilan yang belum diputus oleh hakim desa, sedang pengadilan

negeri berpendapat perlu keputusan yang sedemikian itu, maka ketua memberitahukan

hal itu pada penggugat sambil menyerahkan selembar surat keterangan, dan pemeriksaan

perkara itu diundurkan sampai persidangan yang akan datang, yang akan ditentukan oleh

ketua, jika perlu oleh karena jabatannya.

Jika hakim desa telah menjatuhkan keputusan, maka penggugat memberitahukan isi keputusan

itu pada pengadilan negeri, kalau dapat dengan menunjukkan salinannya, jika ia

menghendaki perkara itu dilanjutkan sesudah itu maka pemeriksaan perkara itu

dilanjutkan.

Jika Hakim desa belum juga menjatuhkan keputusan, sesudah dua bulan penggugat

memajukan perkaranya kepadanya,. maka atas permintaan penggugat untuk itu,

pemeriksaan perkara itu diulangi pengadilan negeri.

Kalau penggugat tidak dapat dengan cukup menjelaskan alasan-alasan yang dapat diterima

menurut pendapat hakim yang menyebabkan hakim desa tidak mau menjatuhkan

keputusan, maka oleh karena jabatannya hakim harus meyakinkan keadaan itu. Jika ternyata bahwa penggugat tidak memajukan perkara itu pada hakim desa, maka

gugatannya itu dipandang gugur.

Penjelasan:

"Hakim desa" yang dimaksud dalam pasal ini ialah suatu macam hakim atau pengadilan

menurut hukum adat guna mendamaikan persengketaan-persengketaan, perselisihanperselisihan dan pertikaian-pertikaian yang timbul di antara penduduk desa, seperti

pertikaian tentang pembagian air, mengenai pemakaian tanah, penggembalaan ternak

dan segala sesuatu yang mengenai adat kebiasaan di desa dan peri kehidupan sehari-hari

di dalam lingkungan desa itu.

Hakim desa itu tidak pernah dan memang dilarang untuk menjatuhkan pidana seperti

yang dimaksud dalam pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pada umumnya

keputusan hakim desa itu mengandung sifat mendamaikan dan lazimnya orang tunduk

kepada keputusan hakim desa itu berkat rasa solidaritas sebagai sama-sama warga desa.

Mereka itu tidak dipaksa untuk tunduk pada keputusan itu dan tidak dihalang-halangi

apabila mereka menghendaki keputusan hakim-hakim negara yang dibentuk dengan

undang-undang.

Apabila Ketua Pengadilan Negeri memand4g perlu, bahwa perkara yang diajukan kepadanya

itu diputus dahulu oleh hakim desa, maka pemeriksaan di muka pengadilan Negeri

diundurkan. Keputusan Hakim desa ini perlu agar supaya Pengadilan Negeri mempunyai

pegangan dan pandangan bagaimana hakim desa itu melihat perkara tersebut dari sudut

hukum adat.

Kalau setelah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, ternyata bahwa penggugat

tidak membawa perkara itu kepada hakim desa, maka gugatannya dipandang tidak

diteruskan lagi.

Pasal 136

Perlawanan yang sekiranya hendak dikemukakan oleh tergugat (exceptie), kecuali tentang hal

hakim tidak berkuasa, tidak akan dikemukakan dan ditimbang masing-masing, tetapi harus

dibicarakan dan diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara.

Penjelasan:

1. Mr. R. Tresna dalam bukunya yang berjudul "Komentar H.I.R." pada pasal 136 ini

memberikan penjelasan bahwa dalam hal ini ada perbedaan sistem acara perdata di muka

"Raad van Justitie" dahulu: Pasal 114 ayat (1) Reglemen Hukum acara perdata tersebut

menentukan bahwa "procureur" dari tergugat diwajibkan mengajukan sekalian segala

eksepsi-eksepsi dan jawaban yang mengenai pokok gugatan, apabila tidak, maka

gugurlah eksepsi-eksepsi yang tidak sekalian diajukannya dan jikalau tidak sekalian

mengajukan jawaban yang mengenai pokok gugatan, maka apabila eksepsinya ditolak,

gugurlah hak untuk mengajukan jawaban itu.

Pengukuhan serupa itu tidak terdapat dalam pasal 136 H.I.R. Dengan demikian

pemisahan antara eksepsi dan perlawanan pokok bagi pemeriksaan di muka pengadilan

Negeri tidak mempunyai arti.

2. Apakah yang dimaksud dengan eksepsi, dikatakan bahwa eksepsi itu harus diartikan

sebagai perlawanan tergugat yang tidak mengenai pokok persoalannya, melainkan

misalnya hanya mengenai acara belaka.

Eksepsi itu macam-macamnya seperti berikut: 1) declinatoire exeptie, yaitu yang mengajukan perlawanan, bahwa pengadilan tidak

berkuasa mengadili atau bahwa tuntutan terhadapnya itu batal.

2) dilatoire exeptie, yaitu yang mengajukan perlawanan, bahwa tuntutannya belum

sampai waktunya untuk diajukan, di antaranya oleh karma masih ada surat

perjanjian yang belum dipenuhi:~atau oleh karena jangka waktunya belum

terlewat atau oleh karena tergugat masih sedang berada di dalam waktu

pertimbangan.

3) paremptoire exeptie, yaitu yang mengajukan perlawanan mutlak terhadap tuntutan

penggugat, misalnya karena perkaranya sudah usang atau daluwarsa, oleh karena

yang digugat telah diberikan pembebasan dari utangnya, atau oleh karena telah

diadakan perhitungan bayar-membayar atau oleh karena telah ada keputusan

pengadilan yang tidak dapat digugat lagi.

3. Walaupun pasal 136 H.I.R. memuat ketentuan yang tegas, akan tetapi di dalam

prakteknya pemeriksaan perkara-perkara perdata di muka Pengadilan Negeri ketentuan

tersebut tidak begitu dipegang dengan teguh.

Lagi pula, oleh karena terhadap pasal 136 itu tidak ada sanksinya seperti halnya terhadap

pasal 114 ayat (1) Reglemen Hukum acara perdata tersebut di atas, maka Mr. R. Tresna

berpendapat sesuai dengan pendapat Mr. Wirjono Projodikoro, bahwa pasal 136 itu

sebaiknya diartikan sebagai anjuran saja kepada tergugat supaya seberapa boleh

mengumpulkan segala sesuatu yang ingin diajukannya dalam jawabannya, pada waktu ia

mengadakan perlawanan pada permulaan pemeriksaan perkara.

Pasal 137

Pihak-pihak dapat menuntut melihat surat-surat keterangan lawannya dan sebaliknya, surat

mana diserahkan kepada hakim buat keperluan itu.

Penjelasan:

Pasal ini memberikan kesempatan kepada ke dua belah pihak yang berperkara untuk saling

mengontrol dengan meyakinkan isi surat-surat yang sebagai bukti oleh kedua belah pihak

diserahkan kepada hakim, dengan mata sendiri melihat dan memeriksa apakah ada alasan

untuk menyangkal keabsahan surat-surat itu.

Pasal 138

Jika satu pihak membantah kebenaran surat keterangan yang diserahkan oleh lawannya, maka

pengadilan negeri dapat memeriksa hal itu, sesudahnya ia akan memberi keputusan, apa

sarat yang dibantah itu dipakai atau tidak dalam perkara itu.

Jika ternyata buat keperluan pemeriksaan pemakaian surat yang dipegang oleh penyimpan

umum, maka pengadilan negeri memerintahkan supaya surat itu diperlihatkan pada

persidangan yang akan ditentukan untuk itu.

Jika ada keberatan akan memperlihatkannya, baik karena perihal surat itu, maupun karena

jauhnya tempat tinggal penyimpan, maka pengadilan negeri memerintahkan supaya

pemeriksaan itu dijalankan di muka pengadilan negeri pada tempat tinggal penyimpan

itu, atau supaya surat itu dikirimkan kepada ketua itu dalam tempo yang ditentukan dan

menurut cara yang akan ditentukannya. Pengadilan negeri yang tersebut terakhir

membuat surat pemberitaan dari pemeriksaannya itu dan mengirimkan surat itu kepada

pengadilan negeri yang tersebut lebih dahulu. Penyimpan, dengan tidak ada sebab yang syah, tidak memenuhi perintah memperlihatkan atau

mengirimkan surat itu, dapat dipaksa dengan paksaan badan untuk memperlihatkan atau

mengirimkan surat itu atas perintah ketua pengadilan negeri yang berwajib memeriksa

surat itu, atas permintaan pihak yang berkepentingan itu.

Jika surat itu tidak sebahagian dari sebuah daftar, maka penyimpan memperbuat salinan surat

itu sebelum diperlihatkan atau dikirimkan akan jadi ganti surat asli selama surat itu

belum diterima kembali. Di sebelah bawah pada salinan surat itu dicatatnya apa

sebabnya salinan itu diperbuat, catatan mana diperbuatnya pada surat asli yang akan

diberikan itu dan pada salinan tersebut.

Segala biaya dibayar oleh pihak yang memasukkan surat perlawanan itu kepada penyimpan

menurut taksiran ketua pengadilan negeri yang akan memutuskan perkara itu.

Jika pemeriksaan tentang kebenaran surat yang dimasukkan itu menimbulkan sangkaan bahwa

surat itu dipalsukan oleh orang yang masih hidup, maka pengadilan negeri mengirim

segala surat itu kepada pegawai yang berkuasa untuk menuntut kejahatan itu.

Perkara yang dimajukan pada pengadilan negeri dan belum diputus itu, dipertangguhkan

dahulu, sampai perkara pidana itu diputuskan.

Penjelasan:

Apabila surat keterangan yang diserahkan oleh salah satu pihak kepada hakim dibantah

kebenarannya oleh pihak yang lain, maka keaslian surat keterangan itu akan diperiksa dan

diputuskan lebih dahulu, sebelum meneruskan pemeriksaan pokok gugatannya.

Jika ternyata buat keperluan pemeriksaan surat keterangan itu perlu dicocokkan dengan surat

yang dipegang oleh penyimpan umum, maka Pengadilan Negeri dapat memerintahkan kepada

penyimpan umum itu untuk menyerahkan surat itu kepada pengadilan untuk diperiksa dalam

sidang yang akan ditentukan lebih lanjut.

Apabila ternyata ada keberatan untuk mengirimkan surat itu, misalnya karena jauhnya tempat

tinggal penyimpan atau sebab lain-lainnya, maka Pengadilan Negeri yang berkepentingan

memerintahkan agar supaya pemeriksaan terhadap surat itu dilakukan oleh Pengadilan Negeri

di tempat penyimpanan umum itu. Dari hasil pemeriksaannya itu, Pengadilan Negeri ini

membuat proses verbal yang kemudian dikirimkan kepada Pengadilan Negeri yang

berkepentingan itu.

Penyimpan umum yang tanpa sebab yang syah tidak memenuhi perintah untuk

memperlihatkan atau mengirimkan surat itu dapat dipaksa dengan paksaan badan serupa

sandera (gijzeling).

Yang disebut "penyimpan umum" di atas adalah pejabat yang karena kedudukannya dibebani

dengan tugas dan kewajiban menyimpan dan memelihara surat-surat, akte-akte, daftar-daftar

dan lain sebagainya yang sifatnya umum, seperti misalnya Notaris, Pegawai Pencatatan Sipil,

Penyimpan Pendaftaran tanah dan lain sebagainya.

Menurut ayat (7) dan ayat (8) pasal 138 ini maka apabila pemeriksaan surat tersebut

menimbulkan sangkaan bahwa surat ini palsu, maka segala surat-surat yang mengenai hal itu

disampaikan kepada Jaksa, yang berwajib untuk menuntut kejahatan itu berdasarkan pasal 242

KUHP.

Berhubung dengan itu maka pemeriksaan perkara gugatan perdata dipertangguhkan dahulu

sampai perkara penuntutan pidana terhadap pemalsuan itu diputuskan.

Apa yang tersebut di atas itu adalah suatu perkara pidana yang dapat mempengaruhi

pemeriksaan perkara perdata. Sebaliknya sering terjadi pula bahwa pemeriksaan perkara

perdata dapat mempengaruhi juga pemeriksaan perkara pidana. Pasal 139

(1) Jika penggugat atau tergugat hendak meneguhkan kebenaran tuntutannya dengan saksisaksi, akan tetapi oleh sebab mereka tidak mau menghadap atau oleh sebab hal lain tidak

dapat dibawa menurut yang ditentukan pada pasal 121, maka pengadilan negeri akan

menentukan hari persidangan kemudian, pada waktu mana akan diadakan pemeriksaan

serta memerintahkan supaya saksi-saksi yang tidak mau menghadap persidangan dengan

rela hati dipanggil oleh seorang penjabat yang berkuasa menghadap pada sidang hari itu.

(2) Panggilan serupa itu dijalankan juga kepada saksi-saksi yang mesti didengar oleh

pengadilan negeri menurut perintah o!eh karena jabatannya.

Penjelasan:

Pasal ini mengatur tentang pemeriksaan saksi-saksi. Pemeriksaan saksi-saksi itu dapat

dilakukan atas permintaan baik yang menggugat maupun tergugat yang hendak meneguhkan

kebenaran tuntutannya, atau atas inisiatif hakim sendiri. Penggugat dan tergugat itu dapat

membawa sendiri saksi-saksi itu ke muka persidangan untuk didengar keterangannya oleh

hakim, akan tetapi saksi-saksi itu mungkin karena mereka itu sudah diajak oleh yang

berperkara akan tetapi ternyata tidak datang (pasal 121) dapat juga dipanggil oleh hakim atas

permintaan pihak-pihak yang berperkara dengan perantaraan orang yang berkuasa untuk itu.

Apabila seorang saksi tidak datang di persidangan, meskipun telah dipanggil dengan

semestinya, maka ia dihukum oleh hakim untuk membayar ongkos-ongkos yang telah

dikeluarkan untuk pemanggilan yang sia-sia itu. Kemudian ia dipanggil sekali lagi atas

ongkosnya sendiri (pasal 140). Jikalau ia masih pula tidak datang saja, walaupun telah dipanggil

dengan patut, maka ia untuk ke dua kalinya dihukum oleh hakim untuk membayar ongkosongkos yang ke dua kalinya telah dikeluarkan dengan sia-sia itu, dan lagi untuk membayar

kerugian yang telah ditimbulkan bagi ke dua belah pihak, oleh karena ia tidak datang

menghadap itu. Lagi pula hakim dapat memerintahkan agar supaya ia dihantarkan ke

persidangan oleh kekuasaan umum (pasal 141).

Saksi-saksi itu dihadapkan, oleh karena setiap orang yang sanggup dan berwenang untuk

menjadi saksi, wajib menolong, jika diminta oleh sesama manusia yang mempertahankan hakhaknya atau mencari keadilan. Selain itu menurut pasal 522 KUHP ia dapat dituntut kriminal.

Akan tetapi jikalau saksi yang tidak datang menghadap itu membuktikan, bahwa tidak

datangnya itu disebabkan karena ada halangan yang syah, maka Ketua Pengadilan Negeri wajib

menghapuskan segala hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya (pasal 142).

Di samping itu ada ketentuan, bahwa orang yang tempat kediamannya atau tempat tinggalnya

di luar daerah Keresidenan tempat kedudukan Pengadilan Negeri, tidak dapat dipaksa datang

menghadap Pengadilan Negeri untuk memberi kesaksian di dalam perkara perdata (pasal 143).

Pasal 140

Jika saksi yang dipanggil demikian itu tidak datang pada hari yang ditentukan itu, maka

dihukum oleh pengadilan negeri membayar segala biaya yang dikeluarkan dengan sia-sia

itu.

Ia akan dipanggil sekali lagi atas ongkos sendiri.

Penjelasan:

Periksa penjelasan pada pasal 139.

Pasal 140 itu menetapkan dengan tegas bahwa saksi yang lalai itu "dihukum membayar segala

biaya", akan tetapi bagaimana cara menetapkan itu harus diadakan pemeriksaan sendiri, tidak ada ketentuannya, sehingga segala sesuatu diserahkan kepada pendapat dan

kebijaksanaan hakim.

Pasal 141

(1) Jika saksi yang dipanggil kedua kalinya itu tidak juga datang maka ia dapat dihukum buat

kedua kalinya membayar biaya yang dikeluarkan dengan sia-sia itu, dan akan mengganti

kerugian yang terjadi pada kedua belah pihak oleh karena ke tidak datangnya itu.

(2) Kemudian ketua dapat memerintahkan, supaya: saksi yang tidak datang itu oleh pegawai

umum dibawa menghadap pengadilan negeri untuk memenuhi kewajibannya.

Penjelasan:

1. Periksa penjelasan pada pasal 139.

2. Dalam pasal 141 ini ditentukan dengan tegas, bahwa saksi yang untuk kedua kalinya

dipanggil juga tidak datang, maka ia dihukum selain untuk "membayar segala biaya"

untuk pemanggilan yang sia-sia, juga untuk "membayar ganti segala kerugian" yang

terjadi bagi kedua belah pihak karena ia tidak menghadap itu, akan tetapi cara

menentukan berapa besarnya jumlah itu dan apakah harus diadakan sidang tersendiri

untuk itu, tidak ada ketentuannya, sehingga segala sesuatunya diserahkan kepada

pendapat dan kebijaksanaan hakim sendiri.

Pasal 142

Jika saksi yang tidak datang itu membuktikan, bahwa ia tidak dapat datang memenuhi

pengadilan karena sebab yang syah, maka setelah diberikan keterangannya itu, ketua wajib

menghapuskan hukuman yang dijatuhkan padanya.

Penjelasan:

Periksa penjelasan pada pasal 139.

Saksi yang meskipun telah dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap dikenakan sanksi

hukuman tertentu, akan tetapi kalau tidak datangnya itu disebabkan karena ada halangan

yang syah, maka Ketua Pengadilan Negeri wajib meniadakan hukuman-hukuman itu.

Alasan-alasan yang syah seperti misalnya sakit, kematian, halangan-halangan dalam

perjalanan dan lain sebagainya.

Pasal 143

(1) Tidak seorang pun yang dapat dipaksa datang menghadap pengadilan negeri untuk

memberi kesaksian di dalam perkara perdata, jika tempat diamnya atau tempat

tinggalnya di luar keresidenan, tempat kedudukan pengadilan negeri itu.

(2) Jika saksi yang demikian itu dipanggil, tetapi tidak datang maka ia tidak dapat dihukum

karena itu, tetapi pemeriksaan diserahkan kepada pengadilan negeri dalam daerah

hukumnya saksi itu diam atau tinggal; dan majelis itu wajib dengan segera mengirimkan

surat pemberitaan pemeriksaan itu.

(3) Perintah yang demikian dapat juga terus diberikan dengan tidak memanggil saksi itu

lebih dahulu.

(4) Surat pemberitaan pemeriksaan itu dibacakan dalam persidangan.

Penjelasan:

1. Periksa penjelasan pada pasal 139. 2. Seorang yang tempat tinggalnya di dalam daerah Keresidenan tempat kedudukan

Pengadilan Negeri, apabila dipanggil untuk memberikan kesaksian di Pengadilan Negeri

tersebut, harus datang menghadap, kalau tidak, dapat dikenakan hukuman, akan tetapi

kewajiban ini tidak dikenakan kepada saksi yang tempat tinggalnya berada di luar

Keresidenan tempat kedudukan Pengadilan Negeri yang memanggil itu.

Dalam hal ini pemeriksaan keterangan saksi itu diserahkan kepada Pengadilan Negeri

yang berkedudukan di daerah Keresidenan tempat tinggal saksi itu. Dari pemeriksaan

saksi itu Pengadilan Negeri ini harus membuat proses perbal pemeriksaan dan

menyampaikan kepada Pengadilan Negeri yang membutuhkan keterangan saksi itu.

Proses perbal ini dibacakan dalam sidang pengadilan dan dimaksud mempunyai hanya

sebagai bukti kesaksian, walaupun hal itu tidak ada ketentuan dalam H.I.R. Di dalam

H.I.R. juga tidak ada diatur bagaimanakah kiranya apabila saksi itu tidak memenuhi

panggilan atau tidak mau memberikan keterangannya kepada Pengadilan Negeri yang

diserahi memeriksa keterangan saksi itu. Apakah saksi yang tidak mau datang atau tidak

mau berbicara itu bisa dikenakan juga pasal 224 atau 522 KUHP? Pendapat kami bisa

saja. Bukankah perbuatan saksi itu memenuhi baik unsur-unsur dari pasal 224 maupun

dari pasal 522 KUHP tersebut?

Pasal 144

Saksi yang menghadap pada hari yang ditentukan itu dipanggil ke dalam seorang demi seorang.

Ketua menanya namanya, pekerjaannya, umurnya dan tempat diam atau tinggalnya, lagi pula

apakah mereka itu berkeluarga sedarah dengan kedua belah pihak atau salah satu dari

padanya, atau karena berkeluarga semenda, dan jika ada, berapa pupu, dan apakah

mereka makan gajih atau jadi bujang pada salah satu pihak.

Penjelasan:

Saksi dipanggil dan didengar keterangannya "seorang demi seorang", maksudnya tidak

bersama-sama, jangan sampai saksi yang sudah didengar keterangannya berbicara

dengan saksi yang belum diperiksa. Saksi yang sudah diperiksa keterangannya tetap turut

duduk di dalam ruang persidangan, kecuali jika Ketua Pengadilan Negeri menganggap

perlu dipisahkan, misalnya apabila diduga bahwa saksi baru yang akan diperiksa

keterangannya itu takut untuk memberikan keterangan di hadapan saksi yang lain.

Identitas saksi seperti nama, umur, pekerjaan dan tempat tinggalnya, itu perlu guna dapat

memanggil saksi itu kembali, andaikata ia di 'kemudian hari dibutuhkan. Saksi yang

dalam hal ini menyebutkan nama atau keadaan palsu diancam pidana dalam sub. 3 dari

pasal 507 KUHP.

Menanyakan hubungan kekeluargaan kepada saksi yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini ialah

untuk menimbang apakah saksi itu tidak termasuk dalam golongan orang yang tidak

boleh diperiksa sebagai saksi atau yang mempunyai hak undur diri dari kesaksian

sebagaimana yang tersebut dalam pasal-pasal 145 dan 146.

"Keluarga sedarah" yaitu kekeluargaan antara orang-orang yang mempunyai "nenek moyang"

atau "darah" yang sama seperti kakek, bapak, anak, cucu dan seterusnya (Pasal 290

B.W.).

Yang dimaksud dengan "keluarga semenda" yaitu keluarga karena perkawinan, yaitu pertalian

kekeluargaan yang timbul antara salah satu pihak dengan para keluarga sedarah dari

pihak yang lain yang di kawin (pasal 295 B.W.), seperti misalnya ipar laki-laki dan ipar

perempuan. Yang dimaksud "pupu" yaitu "derajat" digambarkan sebagai "kelahiran". Sepupu =

sederajat = diciptakan oleh satu kelahiran.

Berlangsungnya terus-menerus "derajat" itu merupakan. "pancaran", keturunan, garis

atau "linie".

Yang dimaksud "keturunan lurus" yaitu keturunan, garis, pancaran atau linie yang

menggambarkan derajat atau kelahiran antara orang-orang yang berturut-turut

diberanakkan (dilahirkan). Keturunan yang bukan "keturunan lurus" termasuk

"keturunan menyimpang" (pasal 291 B.W.).

Ketentuan tentang kekeluargaan yang tersebut di atas itu adalah ketentuan menurut

Hukum Sipil barat yang berlaku bagi:

a. golongan bangsa barat.

b. golongan bangsa Indonesia aseli yang dalam zaman Hindia Belanda menyatakan

takluk kepada Hukum Sipil Barat,

c. golongan bangsa Indonesia aseli yang beragama Kristen dan menyampingkan

Hukum adat.

d. golongan bangsa Indonesia Keturunan Barat, dan

e. golongan bangsa Indonesia keturunan Cina.

Adapun bagi bangsa Indonesia golongan aseli di dalam hal ini dikuasai oleh

hukum adat.

Pasal 145

Sebagai saksi tidak dapat didengar:

keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang

lulus.

istri atau laki dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian;

anak-anak yang tidak diketahui benar apa sudah cukup umurnya lima belas tahun;

orang, gila, meskipun ia terkadang - kadang mempunyai ingatan terang.

Akan tetapi kaum keluarga sedarah dan .keluarga semenda tidak dapat ditolak sebagai saksi

dalam perkara perselisihan kedua belah. pihak tentang keadaan menurut hukum perdata

atau. tentang sesuatu perjanjian pekerjaan.

Hak mengundurkan diri memberi kesaksian dalam perkara yang tersebut dalam ayat di atas ini

tidak berlaku buat orang-orang yang disebutkan pada pasal 146 kesatu dan kedua.

Pengadilan negeri berkuasa memeriksa di luar sumpah anak-anak yang tersebut di atas tadi

atau orang gila yang terkadang-kadang mempunyai ingatan terang, tetapi keterangan

mereka hanya dapat dipandang semata-mata sebagai penjelasan.

Penjelasan:

1. Setiap orang harus sanggup menjadi saksi.

Seperti juga halnya dalam perkara pidana, pada dasarnya dalam perkara perdata pun,

setiap orang sanggup untuk menjadi saksi, kecuali:

1) Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan

lurus,

2) Isteri atau laki dari salah satu pihak, meskipun sudah ada per ceraian,

3) Anak-anak yang tidak diketahui benar sudah cukup umurnya lima belas tahun, 4) Orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang.

Mengenai orang-orang yang disebutkan dalam, sub. 1 dan 2 di atas, sebabnya mereka itu

tidak sanggup menjadi saksi Wali oleh karena mereka itu tidak dapat dianggap tanpa

memihak, sehingga keterangannya dengan demikian tidak dapat dipercaya.

Mengenai orang-orang yang tersebut dalam sub 3 alasannya adalah, karena umurnya

sangat muda itu, ia dianggap tidak sanggup untuk menghayati pentingnya keterangannya,

sedangkan mengenai orang-orang yang tersebut dalam sub. 4 alasannya ialah karena

orang gila itu tidak dapat menginsyafi dengan sepenuhnya arti sumpah.

Akan tetapi menurut ketentuan dalam ayat (2) pasal 146 ini, keluarga sedarah dan

keluarga semenda tidak dapat dinyatakan tidak sanggup untuk menjadi saksi dalam

perkara perselisihan ke dua belah pihak tentang keadaan menurut hukum perdata atau

tentang suatu perjanjian pekerjaan.

Yang dimaksud "tentang keadaan menurut hukum perdata" yaitu "tentang kedudukan•

warga" dalam bahasa Belanda tentang "burgerlijke stand", seperti misalnya perselisihan

tentang perkawinan, perceraian, keturunan dan lain sebagainya.

Yang dimaksud dengan tentang "perjanjian pekerjaan" yaitu "perjanjian perburuhan",

seperti misalnya persengketaan tentang banyaknya upah, uang pesangon, pemberhentian

dari pekerjaan dan lain sebagainya.

Tentang anak-anak dan orang gila oleh ayat (4) pasal 145, bahwa mereka itu boleh juga

didengar keterangannya dengan tidak disumpah, akan tetapi keterangan mereka itu tidak

merupakan bukti kesaksian, melainkan hanya sebagai penerangan saja.

Apa yang dimaksudkan dengan "penerangan" itu dalam H.I.R. tidak ada ketentuannya.

Menurut pasal 1912 B.W. (Kitab Undang-undang Hukum Sipil) "penerangan" artinya

sesuatu guna•dapat mengetahui dan menyidik data-data yang kebenarannya kemudian

akan dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang biasa.

2. Periksa juga penjelasan pada pasal 144.

Pasal 146

Untuk memberikan kesaksian dapat mengundurkan diri:

saudara laki dan saudara perempuan, dan ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu

pihak.

keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan. perempuan

dari laki atau isteri salah satu pihak.

semua orang yang karena kedudukan pekerjaan atau jabatannya yang syah, diwajibkan

menyimpan rahasia; tetapi semata-mata hanya mengenai hal demikian yang

dipercayakan padanya.

Tentang benar tidaknya keterangan orang, yang diwajibkan menyimpan rahasia itu terserah

pada pertimbangan pengadilan negeri.

Penjelasan:

Orang-orang yang disebutkan dalam pasal ini adalah mereka yang biasanya dikatakan orangorang yang mempunyai hak undur diri dari memberikan kesaksian. Yang dimaksud dengan

orang-orang yang tersebut pada sub. 1 adalah sudah jelas.

Tentang orang-orang yang tersebut pada sub: 2 membutuhkan sedikit penjelasan. Yang

dimaksud dengan "keluarga sedarah" yaitu keluarga yang mempunyai nenek moyang atau

darah yang sama. Yang diartikan, "keturunan yang lurus" yaitu keturunan, pancaran, garis atau linie yang menggambarkan kelahiran dari orang-orang yang berturut-turut diberanakkan.

Adapun "keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus" itu seperti misalnya pertalian antara

anak dan bapak atau sebaliknya, antara kakek dan cucu atau sebaliknya dan lain sebagainya

(Lihat juga penjelasan pada pasal 144).

"Saudara laki-laki dan perempuan dari laki atau isteri salah satu pihak" adalah ipar laki-laki dan

ipar perempuan dari pihak itu sendiri dan oleh karena itu mereka sudah termasuk juga dalam

orang-orang yang disebutkan pada sub. 1. Maka dari itu penyebutan orang-orang ini pada sub.

2 dari pasal 146 dapat dikatakan berlebihan.

Orang-orang yang disebutkan pada sub. 3 adalah mereka yang biasa disebut para "penyimpan

rahasia" pekerjaan atau jabatan mereka. Siapa yang termasuk dalam golongan ini sebenarnya

tidak mudah,ditentukan. sebagai perumpamaan boleh disebutkan seperti: para pastur atau

pendeta Katolik, para tabib, apotaker, notaris, pegawai telekomunikasi dan lain sebagainya.

Apakah pegawai polisi dan wartawan terhadap rahasia informannya juga masuk di sini sering

menjadi persoalan.

Akhirnya Pengadilan Negerilah sebagai hakim yang berwenang menentukan apakah seseorang

dapat diberikan hak undur diri karena martabat, pekerjaan dan jabatannya yang syah

diwajibkan menyimpan rahasia.

Orang-orang yang mempunyai hak undur diri itu boleh minta dibebaskan dari memberi

kesaksian, namun apabila mereka mau, boleh juga memberikan kesaksian itu di muka

pengadilan.

Mudah dapat dimengerti bahwa pada hakekatnya bagi mereka ini sulit untuk memilih akan

memakai atau tidak haknya untuk undur diri itu. Jikalau ia memakai haknya undur diri, ia akan

membiarkan orang yang bersalah bebas dari pemidanaan, sedangkan jikalau ia tidak

memakainya dan sanggup untuk memberikan kesaksian, mungkin ia sendiri paling sedikit akan

kehilangan muka terhadap kliennya, mungkin malahan akan kena pengaduan dari mereka itu

kepada hakim pidana sebagai melanggar pasal 322 dan 323 KUHP (membuka rahasia).

Perlu diperingatkan di sini bahwa orang-orang yang tersebut pada sub. 1 dan 2 itu,

berdasarkan ketentuan yang tersebut pada ayat (3) dari pasal 145 tidak dapat menggunakan

haknya buat mengundurkan diri dari menjadi saksi di dalam perkara perselisihan tentang

"kedudukan warga" dan perselisihan tentang "perjanjian kerja, sebagaimana tersebut dalam

ayat (2) pasal 145,

Pasal 147

Jika tidak diminta mengundurkan diri, atau jika penolakan ini dianggap tidak beralasan buat

memberikan kesaksiannya, maka sebelum saksi itu memberi keterangannya, ia lebih dahulu

disumpah menurut agamanya.

Penjelasan:

Jikalau hak undur diri tidak diminta, atau betul diminta akan tetapi ternyata tidak beralasan,

maka saksi harus didengar keterangannya akan, tetapi harus disumpah lebih dahulu secara

menurut, agama dan kepercayaannya masing-masing.

Boleh diketahui bahwa cara penyumpahan itu ada dua macam, yaitu secara "promissoris"

(disumpah lebih dahulu sebelumnya menyampaikan keterangannya) dan secara "assertoris"

yaitu menyampaikan keterangannya lebih dahulu, kemudian sesudah itu barulah diteguhkan

dengan sumpah.

Pasal 148 Jika di luar hal tersebut pada pasal 146, seorang saksi menghadap di persidangan dan enggan

disumpah, atau enggan memberi keterangannya, maka atas permintaan pihak yang

berkepentingan, ketua dapat memberi perintah, supaya saksi itu disanderakan sampai saksi itu

memenuhi kewajibannya.

Penjelasan:

Jikalau kita bandingkan penyanderaan (gijzeling) pada saksi yang tersebut dalam pasal ini

dengan penyanderaan pihak yang berhutang yang tersebut dalam pasal-pasal 209 dan

seterusnya, maka nampak benar, bahwa penyanderaan menurut pasal 209 diatur lebih lengkap,

yaitu diatur pula tentang lamanya orang dapat disandera (pasal 210), orang-orang yang tidak

dapat disandera (pasal 211) dan tempat-tempat yang dilarang untuk dipakai sebagai tempat

menyandera (pasal 212), akan tetapi mengenal penyanderaan saksi tersebut dalam pasal 148 ini

tidak diberikan peraturan-peraturan lebih lanjut tentang hal-hal. seperti itu, sehingga

penyanderaan saksi dalam pasal 148 ini sulit dipraktekkan. Ada baiknya bahwa di samping itu

dibuka kemungkinan oleh undang-undang untuk menuntut saksi yang tidak mau melaksanakan

kewajibannya dengan sengaja di muka hakim Dalam pasal 224 KUHP ditentukan bahwa

barang siapa yang dipanggil menurut undang-undang sebagai saksi, sebagai ahli atau juru

bahasa dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang

diharuskan kepadanya, akan dihukum.

1) dalam perkara pidana, dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan;

2) dalam perkara lain, dengan pidana penjara selama-lamanya enam bulan.

Pasal 149

(Ditiadakan oleh undang-undang darurat Nomor I/1951).

Pasal 150

Kedua belah pihak akan memajukan pertanyaan yang akan ditanyakan kepada saksi melalui

ketua.

Jika di antara pertanyaan itu ada yang ditimbang pengadilan negeri tidak mengenai perkara itu,

maka pertanyaan itu tidak ditanyakan kepada saksi.

Hakim dapat memajukan segala pertanyaan kepada saksi dengan maunya sendiri yang

ditimbangnya berguna untuk mendapat kebenaran.

Penjelasan:

Para pihak yang berperkara tidak diperkenankan langsung mengajukan pertanyaan-pertanyaan

kepada saksi. Semua pertanyaan yang diajukan kepada saksi harus diberitahukan kepada hakim

dan hakimlah yang akan meneruskan kepada saksi.

Jika hakim memandang pertanyaan itu tidak ada gunanya, pertanyaan itu tidak diteruskan

kepada saksi, sebaliknya apabila dipandang perlu untuk mencari kebenaran, maka hakim

sendiri boleh mengajukan pertanyaan kepada saksi.

Walaupun bagi perkara perdata tidak ada larangan untuk mengganggu saksi seperti dalam

perkara pidana yang tersebut dalam pasal 268, juga meskipun tidak ada larangan untuk

mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menjirat seperti dalam perkara pidana yang

disebutkan dalam pasal 269, namun untuk menjaga supaya saksi tidak diganggu waktu

memberikan keterangannya, menjadi gugup dan memberi keterangan yang bukan semestinya,

dalam perkara perdata pun sebaiknya hakim berusaha untuk menghindarkan hal-hal seperti itu. Pasal 151

Ketentuan-ketentuan pada pasal 284 dan 285, tentang saksi-saksi dalam perkara pidana,

berlaku juga dalam hal ini.

Penjelasan:

Menurut pasal ini maka bagi pemeriksaan saksi di muka sidang perkara perdata ketentuanketentuan yang berlaku dalam pemeriksaan perkara pidana, seperti yang tersebut dalam pasalpasal 284 dan 285, berlaku juga.

Pasal 284 mengatur tentang pemakaian juru bahasa, jika saksi tidak paham akan bahasa yang

dipakai dalam persidangan, sedangkan pasal 285 mengatur tentang pengangkatan juru bahasa

untuk saksi yang bisu dan tuli

Pasal 152

Keterangan saksi yang diperiksa dalam persidangan dituliskan dalam proses perbal persidangan

itu oleh panitera pengadilan negeri.

Penjelasan:

Dari tiap-tiap persidangan pemeriksaan perkara Pengadilan Negeri itu senantiasa dibuatkan

Berita Acara yang biasa disebut "Berita Acara Persidangan" dan dikerjakan oleh Panitera.

Segala keterangan saksi-saksi yang diperiksa harus dicatat dalam Berita Acara itu.

Pasal 153

(1) Jika ditimbang perlu atau ada faedahnya, maka Ketua boleh mengangkat satu atau dua

orang Komisaris dari pada dewan itu, yang dengan bantuan panitera Pengadilan Negeri

akan melihat keadaan tempat atau menjalankan pemeriksaan di tempat itu, yang dapat

menjadi keterangan bagi hakim.

(2) Panitera Pengadilan hendaklah membuat proses perbal atau berita acara tentang

pekerjaan itu dan hasilnya yang perlu ditandatangani oleh komisaris-komisaris dan

panitera pengadilan itu.

Penjelasan:

Azas dan sifat pemeriksaan pada umumnya menghendaki, misalnya sesuai dengan bunyi pasal

154, bahwa agar supaya hakim dapat. memperoleh keterangan yang jelas di dalam perkara yang

diperiksanya, perlu diadakan pemeriksaan setempat, baik oleh hakim sendiri, oleh orang ahli

atau satu atau dua orang komisaris.

Satu atau dua orang komisaris itu diangkat dari dewan Jika Hakim Pengadilan Negeri itu

berupa majelis yang terdiri dari Hakim Ketua dan 2 orang Hakim Anggota, maka yang

diangkat menjadi dua orang komisaris itu adalah dua orang hakim anggota tersebut yang

kemudian dengan dibantu oleh Panitera pengadilan mengadakan pemeriksaan setempat.

Apabila Pengadilan Negeri itu berupa hakim tunggal, maka satu atau dua orang komisaris itu

dapat diangkat yang terdiri dari Hakim Ketua dan panitera, atau diangkat dari rekan-rekan

hakim atau panitera lain yang sama-sama ditempatkan di Pengadilan Negeri itu.

Yang penting adalah agar supaya dapat diadakan pemeriksaan setempat seperti misalnya

tentang keadaan rumah, pekarangan, tanaman, barang-barang besar dan lain sebagainya yang

tidak mungkin dibawa ke muka sidang pengadilan.

Pasal 154 Jika menurut pendapat ketua pengadilan negeri, perkara itu dapat dijelaskan oleh pemeriksaan

atau penetapan ahli-ahli, maka karena jabatannya, atau atas permintaan pihak-pihak, ia

dapat mengangkat ahli-ahli tersebut.

Dalam hal yang demikian, maka ditentukan hari persidangan pada waktu mana hal itu

memberi laporannya baik dengan surat, maupun dengan lisan dan menguatkan

keterangan itu dengan sumpah.

Sebagai ahli tidak dapat diangkat orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi.

Ketua Pengadilan Negeri sekali-sekali tidak diwajibkan menuruti perasaan orang ahli itu, jika

berlawanan dengan keyakinannya.

Penjelasan:

Pada seseorang, tidak. dapat dituntut untuk mengetahui segala-galanya. Demikian pula pada

seorang hakim, oleh karena itu dalam pasal 153 hakim diberi kesempatan apabila diperlukan

untuk memperoleh pertolongan dari sebuah panitia untuk memeriksa keadaan sesuatu tempat,

sedangkan dalam pasal ini apabila dipandang berfaedah, kepada hakim diberi kemungkinan

untuk minta pertolongan atau pendapat seorang ahli. Pada hakekatnya kedua hal tersebut

adalah merupakan alat atau sarana bagi hakim untuk mencari kebenaran yang hakiki agar dapat

menjatuhkan keputusan yang adil.

Untuk meneguhkan keterangannya yang dapat diajukan secara lisan maupun tertulis, para ahli

itu harus disumpah, walaupun hakim tidak terikat untuk senantiasa mempercayainya;

keterangan itu boleh diabaikan, apabila itu berlawanan dengan keyakinannya.

Orang yang dilarang menjadi saksi, juga tidak diperkenankan untuk diangkat menjadi seorang

ahli.

Pasal 155

(1) Jika kebenaran gugatan atau kebenaran pembelaan atas itu tidak cukup terang, akan

tetapi ada juga kebenarannya, dan sekali-kali tidak ada jalan lagi akan menguatkannya

dengan upaya keterangan-keterangan yang lain, maka ketua pengadilan negeri dapat

karena jabatannya menyuruh salah satu pihak bersumpah, baik oleh karena itu untuk

memutuskan perkara itu atau untuk menentukan jumlah uang yang akan diperkenankan.

(2) Dalam hal yang terakhir itu ketua pengadilan negeri menentukan jumlah uang hingga

jumlah mana penggugat dapat dipercaya atas sumpahnya.

Penjelasan:

Sumpah yaitu suatu alat bukti yang syah dalam pemeriksaan perkara perdata. Sumpah itu

dibeda-bedakan dalam sumpah pihak, juga dinamakan sumpah "decisoir" dan sumpah jabatan

yang juga disebut sumpah "suppletoir" atau sumpah tambahan.

Sumpah "decisoir" itu dibebankan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Ini dapat

terjadi, jikalau sama sekali tidak ada bukti untuk menguatkan gugatan atau untuk membu1

tikan pembelaan yang diajukan terhadap gugatan itu. Keputusan dalam perkara ini tergantung

kepada sumpah itu.

Syarat untuk membebankan sumpah itu adalah bahwa sumpah itu mengenai suatu perbuatan

yang dilakukan oleh orang itu sendiri, atau mengenai suatu keadaan yang diketahuinya

sedemikian rupa, sehingga ia sanggup memberi keterangan tentang keadaan itu atas sumpah

(Lihat pasal 156).

Sumpah "suppletoir" atau sumpah jabatan, yaitu sumpah yang disebutkan dalam pasal 155 ini,

yang dinamakan pula sumpah penambah, itu dibebankan oleh hakim kepada salah satu dari ke dua belah pihak, untuk menggantungkan keputusan dalam perkara itu kepada sumpah

tersebut, maupun untuk menetapkan besarnya jumlah uang yang akan dikabulkan.

Hakim hanya boleh berbuat demikian kalau kebenaran gugatan itu atau perlawanan terhadap

gugatan itu tidak seluruhnya terbukti, tetapi tidak pula tidak terbukti sama sekali, dan tidak ada

kemungkinan untuk membuktikannya dengan alat-alat bukti lain, jadi dalam keadaan yang

membimbangkan.

Sumpah suppletoir untuk menetapkan besarnya jumlah uang yang akan dikabulkan di atas itu

dinamakan juga "sumpah penilaian". Sumpah ini hanya dapat diperintahkan oleh hakim

kepada penggugat dan ia dapat memerintahkan sumpah ini hanya kalau tidak ada jalan lain

untuk menetapkan harga tuntutan itu dari pada taksasi.

Semua macam sumpah tersebut di atas itu harus diucapkan masing-masing menurut agama

atau kepercayaan,yang dipeluk oleh orang yang harus mengucapkan sumpah itu.

Semua itu harus diucapkan sendiri oleh orang itu, kecuali kalau hakim karena alasan-alasan

penting yang mengizinkan kepada suatu, pihak, bahwa sumpah itu boleh diucapkan oleh orang

yang diberi kuasa khusus untuk itu, kuasa mana harus diberikan dengan akte otentik (akte

notaris).

Sumpah itu harus diucapkan di muka pihak lawan, atau kalau ia tidak hadir, ia telah dipanggil

dengan semestinya.

Pasal 156

Bahkan jika sekalipun tidak ada keterangan untuk memperkuat gugatan atau lawanan atas

gugatan, satu pihak meminta supaya pihak lain disumpah di hadapan hakim, agar

membuat keputusan bergantung dari pada itu, asal saja sumpah itu tentang satu

perbuatan yang dilakukan oleh orang itu, dari pada sumpahnyalah keputusan itu akan

bergantung.

Jika perbuatan itu, satu perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, maka ia, yang tidak

mau bersumpah itu, dapat menolak sumpah itu kepada lawannya.

Barang siapa disuruh bersumpah, tetapi ia enggan bersumpah atau. menolak sumpah itu

kepada lawannya, ataupun barang siapa menyuruh bersumpah, tetapi sumpah itu ditolak

kepadanya dan ia enggan bersumpah, maka ia akan dikalahkan.

Penjelasan:

Sumpah yang disebutkan dalam pasal ini ialah yang biasa disebut "sumpah pihak" atau sumpah

"decisoir", juga disebut pula sumpah yang menentukan. Berbeda dengan sumpah yang tersebut

dalam pasal 165, yang lazim dinamakan "sumpah jabatan" atau sumpah "suppletoir", disebut

pula sumpah "penambah" yang diperintahkan oleh hakim, maka "sumpah pihak" ini

dibebankan oleh salah satu pihak kepada lawannya.

Perbedaan yang lain lagi ialah bahwa sumpah pihak ini dapat dibebankan, walaupun tidak ada

bukti sama sekali, sedangkan sumpah penambahan hanya dapat dibebankan oleh hakim dalam

keadaan perkara "tidak cukup terang, akan tetapi ada juga kebenarannya".

Dengan adanya ketentuan sumpah dalam pasal ini sebenarnya kedua belah pihak yang

berperkara diberi kesempatan untuk menarik kembali persengketaannya dari tangan hakim

dengan menyerahkan lawannya untuk bersumpah dan menggantungkan penyelesaian

perkaranya dari penyumpah itu.

Keputusan hakim yang didasarkan atas sumpah ini sebenarnya sifatnya- agak berlainan dari

pada keputusan yang biasa, karena keputusan ini pada hakekatnya adalah penyelesaian persengketaan secara "bawah tangan" oleh pihak-pihak yang berperkara sendiri. Keputusan

hakim itu sifatnya hanya memberi pengesyahan kepada penyelesaian bawah tangan itu.

Pasal 157

Sumpah itu, baik yang diperintahkan oleh hakim, maupun yang diminta atau ditolak oleh satu

pihak lain, dengan sendiri harus diangkatnya kecuali kalau ketua pengadilan negeri memberi

izin kepada satu pihak, karena sebab yang penting, akan menyuruh bersumpah seorang wakil

istimewa yang dikuasakan untuk mengangkat sumpah itu, kuasa yang mana hanya dapat diberi

dengan surat yang syah, di mana dengan saksama dan cukup disebutkan sumpah yang akan

diangkat itu.

Penjelasan:

Pasal ini menentukan, bahwa bermacam-macam sumpah itu, baik yang diperintahkan oleh

hakim atau yang dibebankan oleh salah satu pihak, harus dilakukan sendiri oleh orangorangnya, kecuali kalau ada alasan penting hakim memberi izin kepada salah satu pihak, akan

menyuruh bersumpah seorang kuasa atau wakilnya yang khusus. Penguasaannya harus

dilakukan dengan akte otentik (akte notaris). yang disebut akte otentik yaitu suatu akte yang

dibuat oleh atau di muka pejabat umum, oleh siapa di dalam akte itu dicatat pernyataan pihak

yang menyuruh membuat akte itu. Pejabat umum di sini yaitu pejabat yang ditetapkan dengan

undang-undang berwenang untuk membuat akte itu.

Pasal 158

Hal mengangkat sumpah itu selalu dilakukan dalam sidang pengadilan negeri, kecuali jika hal

itu tidak dapat dilangsungkan karena ada halangan yang syah; dalam hal yang demikian

ketua pengadilan negeri boleh memberi kuasa kepada salah seorang anggota, supaya

dengan bantuan panitera pengadilan, yang akan membuat proses perbal tentang hal itu,

disumpahnya pihak yang berhalangan itu di rumahnya.

Sumpah itu hanya boleh diambil di hadapan pihak yang lain, atau sesudah pihak itu dipanggil

dengan patut.

Penjelasan:

Penguasaan oleh ketua pengadilan negeri kepada salah seorang anggota untuk mengambil

sumpah di rumah pihak yang berhalangan datang di sidang pengadilan itu hanya dapat

dilakukan apabila pengadilan negeri itu berupa hakim majelis yang kecuali ketua terdiri dari dua

orang anggota.

Apabila pengadilan negeri, itu berupa hakim tunggal, hal ini tentu tidak dapat dilaksanakan,

atau ketua sendiri yang harus melakukannya.

Yang penting adalah bahwa sumpah itu harus dilakukan di muka pihak yang lain, atau apabila

orang ini tidak menghadap sidang, sesudah orang itu dipanggil dengan semestinya.

Pasal 159

Jika suatu perkara k tidak dapat diselesaikan pada- hari persidangan pertama, yang ditetapkan

untuk memeriksanya, maka pemeriksaan perkara itu diundurkan untuk melanjutkan

sampai hari persidangan lain, yang sedapat-dapatnya tidak berapa lama kemudian, dan

demikian juga seterusnya.

Hal pengunduran itu harus diterangkan dalam persidangan di hadapan kedua belah pihak, bagi

siapa keputusan itu berlaku sebagai panggilan. Jika salah satu pihak dari yang, menghadap pada hari persidangan pertama, tidak menghadap

di persidangan kemudian, waktu diperintahkan pertangguhan yang baru, maka ketua

pengadilan negeri wajib menyuruh memberitahukan kepada pihak itu bila persidangan

itu akan dilanjutkan.

Tidak dapat diberi pertangguhan atas permintaan kedua belah pihak, lagi pula tidak dapat

diperintahkan oleh pengadilan negeri karena jabatannya, jika tidak perlu benar.

Penjelasan:

Pasal ini menentukan pengunduran persidangan pada hari dekat yang akan datang, apabila

pemeriksaan perkara itu tidak selesai dalam sidang pertama. Demikian ini dilakukan seterusnya

sampai pemeriksaan perkara dapat diselesaikan.

Pengunduran itu tiap-tiap kali diperintahkan dalam sidang itu juga, dan bagi mereka yang pada

waktu itu menghadap, pengunduran pada hari sidang di kemudian ini harus dianggap sebagai

panggilan resmi, sedangkan bagi mereka yang tidak menghadap harus diadakan pemanggilan

baru. Pengunduran persidangan sekali-kali tidak boleh dilakukan, baik atas permintaan salah

satu pihak maupun oleh inisiatif hakim sendiri, jikalau tidak perlu benar.

Pasal 160

(1) Jika pada waktu acara ada suatu perbuatan yang harus dilakukan, sedang biaya perkara

menurut pasal 182 akan dapat dipikulkan kepada orang yang dikalahkan maka ketua

dapat memerintahkan supaya salah satu pihak lebih dahulu membayar biaya itu di kantor

kepaniteraan dengan tidak mengurangkan hak dari yang lain, akan membayar lebih

dahulu uang itu atas maunya sendiri.

(2) Jika kedua belah pihak enggan membayar lebih dahulu biaya perkara dan nasihat oleh

ketua untuk membayar biaya itu percuma saja, perbuatan yang diperintahkan itu tidak

dilakukan, kecuali jika diwajibkan oleh peraturan undang-undang dan pemeriksaan

perkara diteruskan kalau perlu pada persidangan lain yang akan ditetapkan oleh ketua,

yang diberitahukan kepada kedua belah pihak.

Pasal 161

(1) Kalau perkara itu sebanyak mungkin sudah diselesaikan baik pada waktu persidangan

pertama juga, maupun dalam persidangan kemudian, maka sesudah disuruh keluar kedua

belah pihak, saksi dan segala orang yang datang mendengar, ketua pengadilan negeri

akan meminta pendapat penasehat, yang menghadiri pemeriksaan perkara itu pada

waktu persidangan menurut pasal 7 Reglemen tentang aturan hakim dan mahkamah

serta kebijaksanaan kehakiman di Indonesian (Staatsblad 1914: 317).

(2) Kemudian diadakan permusyawaratan dan putusan diperbuat menurut ketentuan pada

pasal 39 dan 40 Reglemen tentang aturan hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan

kehakiman di Indonesia (R.O).

Penjelasan:

Menurut pasal 161 ini maka apabila pemeriksaan perkara dalam sidang pertama dan sidangsidang selanjutnya telah selesai dilakukan, maka semua pihak, saksi-saksi dan para penonton

disilahkan untuk keluar dari ruang sidang pengadilan, sehingga hakim mendapat kesempatan

yang leluasa untuk mempelajari hasil pemeriksaannya dan mengambil keputusan.

Dahulu waktu zaman Hindia Belanda, sewaktu "Landraad" hakimnya terdiri dari seorang

ketua, 2 orang anggota dan 1 orang penghulu sebagai penasehat, ketua lalu mengadakan

permusyawaratan dan minta pendapat dari penasihat dan kedua orang anggota itu dan kemudian mengambil keputusan. Sidang umum dibuka kembali dan keputusan hakim

diberitahukan dalam sidang tersebut.

Pengadilan Negeri sekarang ada yang berupa hakim majelis dan ada yang hakim tunggal, dan

kedua-duanya tanpa penasihat (penghulu).

Apabila pengadilan negerinya berupa hakim majelis maka keputusan diambil dalam

permusyawaratan ketua dengan ke dua anggotanya, sedangkan apabila hakim tunggal, maka

keputusan diambil sendiri oleh ketua.

Bagian Kedua

TENTANG BUKTI

Pasal 162

Tentang bukti dan tentang menerima atau menolak alat-alat bukti dalam perkara perdata, ketua

pengadilan negeri wajib mengingat aturan utama yang disebut di bawah ini.

Penjelasan:

Dalam perkara perdata soal pembuktian memegang peranan yang amat penting seperti juga

dalam perkara pidana. Dalam perkara perdata hakim akan segera harus memikirkan pertanyaan

tentang dasar-dasar yang dikemukakan oleh penggugat telah terbukti atau tidak?

Untuk dapat menjawab pertanyaan ini hakim akan melihat pada peraturan tentang pembuktian

tentang perkara-perkara perdata yang tercantum, dalam pasal 162 s/d 177 H.I.R.

Pasal 163

Barang siapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan

untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus

membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.

Penjelasan:

Apabila kita membaca pasal ini, kita mudah memperoleh kesan, bahwa seakan-akan para

pengadu perkara pada pengadilan negeri itu senantiasa harus membuktikan kebenaran

hal-hal yang ia ajukan, pada hal sesungguhnya bukan begitu, sebab yang harus

dibuktikan kebenarannya itu hanyalah segala sesuatu yang tidak disetujui oleh tergugat,

seperti misalnya A mengajukan gugatan pada pengadilan, menuntut agar supaya B

mengembalikan sepeda milik A yang berada di tangan B. Dalam tuntutan itu tidak perlu

misalnya A sebagai pemilik harus juga menyatakan dalam tuntutannya, bahwa. sepeda itu

didapat olehnya dari pembelian yang syah dengan melampirkan kwintasi tanda

pembayarannya, ia cukup mengemukakan bahwa ia adalah menjadi pemilik sebuah

sepeda yang ia terangkan tanda-tandanya, dan sepeda itu berada di tangan B yang tidak

mau menyerahkan kepada A, Apabila kemudian B menyangkal dan mengatakan bahwa

sepeda itu bukan milik A akan tetapi milik B sendiri, asal pembeliannya 6 bulan yang lalu

dari toko X, maka B harus membuktikan apa yang ia katakan itu.

Apa yang tersebut dalam pasal 163 ini adalah yang biasa disebut "pembagian beban

pembuktian", yang maksudnya adalah bahwa yang harus dibuktikan itu hanyalah

perbuatan-perbuatan dan kejadian-kejadian yang dipersengketakan oleh ke dua belah

pihak yang berperkara, artinya yang tidak mendapat persetujuan kedua pihak. Dengan

kata-kata lain, bahwa perbuatan-perbuatan dan kejadian-kejadian yang telah diakui atau

yang tidak disangkal oleh pihak lawan, tidak usah dibuktikan lagi. Perlu diterangkan di sini bahwa juga hal-hal yang telah diketahui oleh umum dan oleh

hakim sendiri tidak perlu dibuktikan, sebab "membuktikan" itu berarti "memberikan

kepastian kepada hakim" tentang adanya kejadian-kejadian dan keadaan-keadaan itu.

Pihak yang mengemukakan sesuatu kejadian atau keadaan, baik penggugat maupun

tergugat, yang tidak diakui oleh pihak- lawan, harus membuktikan kejadian atau keadaan

itu, seperti misalnya A (penggugat) menerangkan, bahwa ia telah menjual dan

menyerahkan barang-barang kepada B (tergugat) dan menuntut dari pada B pembayaran

harga pembelian itu. B menyangkal, bahwa ia telah membeli dan menerima barangbarang itu.

Dalam hal ini A harus membuktikan penjualan dan penyerahan barang-barang itu. B

(tergugat) dalam hal ini tidak memajukan suatu kejadian atau keadaan tertentu, ia hanya

menyangkal saja apa yang diterangkan oleh A (penggugat), oleh karena itu B dari

pihaknya tidak usah membuktikan apa-apa.

Kalau di samping penyangkalan itu, B mengatakan pula bahwa ia telah menerima

barang-barang itu sebagai hadiah dari A, maka B harus membuktikan. pemberian sebagai

hadiah itu, jika ini disangkal oleh A.

Menurut Prof. R. Subekti S.H. dalam bukunya yang berjudul "Hukum Pembuktian", maka

"pembagian beban pembuktian" itu adalah suatu masalah yang amat penting dalam buku

Hukum Pembuktian, oleh karena itu pembagian beban pembuktian itu harus dilakukan

dengan adil dan tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban pembuktian yang

berat sebelah berarti apriori menjerumuskan pihak yang menerima beban yang

terlampau berat, dalam jurang kekalahan. Soal pembagian beban pembuktian ini

dianggap sebagai suatu soal hukum atau soal juridis, yang dapat diperjuangkan sampai

tingkat kasasi di muka mahkamah Agung.

Melakukan beban pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu pelanggaran

hukum atau undang-undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk

membatalkan putusan hakim atau pengadilan rendahan yang bersangkutan.

Pasal 1865 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (B.W.) atau pasal 163 H.I.R.

sebenarnya memang bermaksud memberikan pedoman dalam hal pembagian beban

pembuktian.

Dalam hal itu Malikul Adil dalam bukunya yang berjudul "Pembaharuan Hukum Perdata

Kita" mengatakan bahwa "Hakim yang insyaf akan arti kedudukannya tidak akan lupa

bahwa dalam membagi-bagi beban pembuktian, ia harus bertindak jujur dan sportif,

tidak akan membebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan hal yang tidak dapat

dibuktikan."

Dalam hubungan ini hukum material sering kali sudah menetapkan suatu pembagian

beban pembuktian, misalnya:

a. Adanya keadaan memaksa harus dibuktikan oleh pihak debitur (pasal 1244 B.W.).

b. Siapa yang menuntut penggantian kerugian yang disebabkan suatu perbuatan

melanggar hukum, harus membuktikan adanya kesalahan (pasal 1365 B. W.).

c. Siapa yang menunjukkan tiga kwitansi yang terakhir, dianggap telah membayar

semua angsuran (pasal 1394 B.W.).

d. Barang siapa menguasai suatu barang bergerak, dianggap sebagai pemiliknya (pasal

1977 ayat (1) B.W.).

Pasal 164 Maka yang disebut alat-alat bukti, yaitu:

bukti dengan surat

bukti dengan saksi

persangkaan-persangkaan

pengakuan

sumpah

di dalam segala hal dengan memperhatikan aturan-aturan yang ditetapkan dalam pasal-pasal

yang berikut.

Penjelasan:

1. Apa yang disebutkan sebagai alat-alat bukti dalam pasal ini sebenarnya kurang lengkap.

Menurut HIR sesungguhnya masih ada lagi beberapa macam alat bukti lain lagi, seperti

misalnya: hasil pemeriksaan hakim sendiri atau hasil penyelidikan setempat yang tersebut

dalam pasal 154, hasil pemeriksaan orang ahli yang disebutkan dalam pasal 155 dan

begitu pula hal-hal yang diakui oleh umum, atau yang diakui kebenarannya oleh kedua

belah pihak.

2. Kalau kita bandingkan isi pasal ini dengan pasal 295 HIR, maka sebagian daripada alatalat bukti dalam perkara perdata ini berlainan dari alat-alat bukti dalam pemeriksaan

perkara pidana. Kalau dalam pembuktian perkara pidana, keyakinan hakim mempunyai

peranan yang penting, maka dalam pembuktian perkara perdata tidak demikian.

Keyakinan hakim tidak berperanan sama sekali.

Pasal 165

Surat (Akte) yang syah, ialah suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau di hadapan

pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah

pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya tentang segala hal

yang disebut di dalam surat itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai

pemberitahuan sahaya, dalam hal terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu berhubungan

langsung dengan perihal pada surat (akte) itu.

Penjelasan:

"Akte" yaitu suatu surat, yang ditandatangani, berisi perbuatan hukum, seperti misalnya suatu

persetujuan jual beli, gadai, pinjam-meminjam uang, pemberian kuasa, sewa-menyewa dan lain

sebagainya.

"Surat (akte) yang syah" yang dimaksud dalam pasal ini ialah akte otentik. "Akte otentik" yaitu

akte yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang mengenai isi surat itu berkuasa

untuk membuatnya, dan pula berkuasa di tempat surat itu dibuat seperti misalnya Akte notaris,

berita acara, Akte yang dibuat oleh juru sita, oleh pejabat Kantor "Burgerlijke Stand" dan lain

sebagainya. Lawannya adalah Akte bawah tangan.

"Akte bawah tangan" yaitu suatu akte yang ditandatangani di bawah tangan dan dibuat tidak

dengan perantaraan pejabat umum, seperti misalnya akte jual beli, sewa-menyewa, utangpiutang dan lain sebagainya yang dibuat tanpa perantaraan pejabat umum.

Menurut pasal 165 ini, Akte otentik itu merupakan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak

dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang

disebutkan dalam akte itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan

saja. Isi dari akte otentik itu dianggap tidak dapat disangkal kebenarannya, kecuali jika dapat dibuktikan, bahwa apa yang oleh pejabat umum itu dicatat sebagai benar, tetapi tidaklah

demikian halnya.

Akte bawah tangan pun mempunyai kekuatan bukti seperti akte otentik, apabila akte itu diakui

oleh pihak, terhadap siapa akte itu dipakai sebagai alat bukti.

Bedanya kekuatan Akte otentik dan Akte bawah tangan antara lain adalah, bahwa apabila

pihak lain mengatakan, bahwa isi Akte otentik itu tidak benar, maka pihak yang mengatakan

itulah yang harus membuktikan, bahwa akte itu tidak benar, sedangkan pihak yang memakai

Akte itu tidak usah membuktikan, bahwa isi akte itu betul, sedangkan pada akte bawah tangan,

apabila ada pihak yang meragukan kebenaran akte tersebut, maka pihak ini tidak perlu

membuktikan, bahwa akte itu tidak betul, akan tetapi pihak yang memakai Akte itulah yang

harus membuktikan bahwa akte itu adalah betul.

Pasal 166

Dicabut menurut Staatblad 1927 Nomor 146.

Pasal 167

Hakim dapat memberikan kekuatan bukti yang demikian syah pada pembukuan seseorang,

buat keuntungan orang itu, sebagaimana patut menurut pikirannya, sehingga dapat dihargakan

dalam tiap-tiap hal yang istimewa.

Penjelasan:

Apabila dipandangnya patut, menurut pasal 167 ini, hakim bebas untuk memberikan kekuatan

bukti kepada pembukuan bagi keuntungan orang yang memegang buku itu. Ini adalah hal yang

luar biasa. Biasanya suatu surat tidak mungkin digunakan sebagai bukti bagi keuntungan orang

yang menulisnya; surat itu selalu dipakai sebagai bukti terhadap dan bagi kerugian orang itu.

Pasal 168

(Ditiadakanolehundang-undangdaruratNo.1/1951).

Pasal 169

Keterangan dari seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti yang lain, di dalam

hukum tidak dapat dipercaya.

Penjelasan:

Sampai pada dewasa ini kesaksian itu oleh undang-undang dipandang sebagai bukti yang

penting, walaupun dengan adanya kemajuan teknik pembuktian secara ilmiah dengan

mempergunakan bukti-bukti berupa benda-benda mati seperti sidik jari, telapak kaki,

bekas darah, lampu ultra violet dan lain sebagainya, yang ternyata dapat lebih dipercaya

kebenarannya daripada keterangan dari seseorang saksi. Berhubung saksi itu amat tidak

boleh dipercaya, maka dalam HIR baik untuk pemeriksaan perkara pidana maupun'

perdata seperti yang disebutkan dalam pasal 169 ini ditetapkan sistem "seorang saksi,

bukan saksi" yang artinya untuk menetapkan sesuatu sebagai kebenaran harus

didasarkan atas sedikit-dikitnya dua orang saksi. Apakah sebabnya maka kesaksian itu

amat tidak boleh dipercaya? Oleh karena seorang saksi memberikan keterangan itu acap

kali jauh dari hal yang sebenarnya, sengaja atau tidak sengaja. Hal ini tergantung sekali

kepada kecakapan untuk menangkap dengan panca indera, mengingat apa yang telah

ditangkap, dan menceriterakan kembali apa yang telah ditangkap dan diingat itu. Orang yang tajam panca inderanya akan lebih dapat menangkap keadaan dan hal-hal di

sekelilingnya daripada orang yang kurang sempurna keadaan panca inderanya. Seorang

yang biasa memusatkan pikirannya, akan lebih baik dapat mengingat dari orang yang

biasa tidak pernah mengontrol pikirannya. Akhirnya orang yang terdidik akan lebih

pandai menguraikan kembali apa yang telah ia alami daripada seorang yang tidak pernah

memperoleh pendidikan sekolah,

Hal itu semua tidak berarti, bahwa keterangan seorang saksi itu tidak berarti sama sekali.

Jikalau menurut pertimbangan hakim keterangan seorang saksi saja itu dapat dipercaya,

maka secara dihubungkan bersama-sama dengan lain-lain bukti yang syah, dapatlah

dijadikan bukti yang lengkap, artinya apabila di samping penyaksian seorang saksi itu ada

alat bukti yang lain, misalnya suatu persangkaan atau sumpah tambahan, maka hakim

boleh memperhatikan keterangan saksi tunggal itu.

Pasal 170

Jika kesaksian yang berasing-asing dan yang tersendiri dari beberapa orang, tentang .beberapa

kejadian dapat menguatkan satu perkara yang tertentu oleh karena kesaksian itu bersetuju dan

berhubung-hubungan, maka diserahkan pada pertimbangan hakim buat menghargai kesaksian

yang berasing-asing itu sedemikian kuat, sehingga menurut keadaan.

Penjelasan:

Pasal ini menerangkan, bahwa penyaksian yang masing-masing berdiri sendiri dari beberapa

orang, dapat meneguhkan suatu hal yang tertentu, apabila kesaksian-kesaksian itu satu lama

lain bersetuju dan berhubungan, artinya bahwa buat meneguhkan sesuatu hal, tidaklah

diperlukan keterangan dari dua orang saksi, seperti misalnya A pada suatu waktu yang tertentu

meminjam uang sebanyak Rp 100.000,- dari B dengan tidak ada yang menyaksikan. C seorang

saksi lain, tidak menyaksikan. Pada waktu terjadinya pinjam-meminjam itu, akan tetapi pada

saat lain sesudah pinjam-meminjam uang itu. B mengatakan kepada C bahwa uangnya sebesar

Rp 100.000,- baru saja dipinjamkan kepada A.

Dalam hal ini sesungguhnya hal peminjaman uang itu tidak disaksikan oleh dua orang

sekaligus, akan tetapi penyaksian dari B dan C itu masing-masing berdiri sendiri, walaupun

demikian satu sama lain bersetujuan dan berhubungan, sehingga dapat menguatkan hal

peminjaman A uang Rp 100.000,- itu dari B.

Pasal 171

(1) Tiap-tiap kesaksian harus berisi segala sebab pengetahuan.

(2) Pendapat-pendapat atau persangkaan yang, istimewa, yang disusun dengan kata akal,

bukan kesaksian.

Penjelasan:

Yang dimaksudkan "sebab pengetahuan" yaitu alasan-alasan pengetahuan, artinya dasar-dasar

seorang saksi dapat mengatakan hal sesuatu dalam kesaksiannya, seperti misalnya: saksi

mengatakan baju itu "kotor", ini saja belum cukup ia harus dapat mengatakan alasannya ia

mengatakan kotor itu, misalnya "baju itu putih tetapi kena banyak noda-noda hitam" jadi

"kotor".

Misalnya lagi: Saksi mengatakan, bahwa kendaraan itu memuat "kelebihan", ini saja tidak

cukup, harus disertai alasan pengetahuannya "kelebihan" itu dan alasan itu dapat berupa

begini: menurut surat pemeriksaan kendaraan, kendaraan itu hanya diperuntukkan memuat paling banyak 7 orang, sedangkan banyaknya penumpang waktu itu dihitung ada 10 orang, jadi

kendaraan memuat "kelebihan".

Ketentuan dalam pasal 171 ini ialah bahwa pada umumnya seorang saksi itu harus

memberikan keterangan dari hal-hal yang ia lihat, dengar dan alami sendiri, dan bukanlah yang

ia tahu dari keterangan orang lain, yang biasa disebut kesaksian "de auditu". Lagi pula seorang

saksi harus pula dapat menerangkan alasan-alasannya ia dapat menyaksikan suatu hal atau

peristiwa itu.

Ayat (2) pasal itu menentukan, bahwa pendapat-pendapat atau pikiran-pikiran dari saksi sendiri

yang biasanya disusun sebagai kesimpulan itu bukan merupakan kesaksian yang syah.

Pasal 172

Dalam hal menimbang harga kesaksian hakim harus menumpahkan perhatian sepenuhnya

tentang permufakatan dari saksi-saksi: cocoknya kesaksian-kesaksian dengan yang diketahui

dari tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan; tentang sebab-sebab, yang mungkin ada

pada saksi itu untuk menerangkan duduk perkara dengan cara begini atau begitu; tentang peri

kelakuan adat dan kedudukan saksi, dan pada umumnya segala hal yang dapat menyebabkan

saksi itu dapat dipercaya benar atau tidak.

Penjelasan:

Dari bunyi pasal ini jelaslah bahwa untuk menghargai sesuatu kesaksian itu hakim harus

memperhatikan dengan seksama:

kecocokannya keterangan saksi yang satu dengan yang lain;

apakah keterangan saksi itu sesuai dengan apa yang diketahui tentang perkara itu dari

sudut lain;

apakah ada hubungannya dengan perkara yang dipersengketakan;

peri kehidupan, adat-istiadat dan martabat saksi;

pada umumnya segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai alasan untuk mempercayai

atau tidak mempercayai saksi.

Jelaslah bahwa hakim tidak akan menerima begitu saja persaksian seseorang. Hakim betulbetul harus mempertimbangkan keterangan saksi itu dengan masak-masak. Saksi harus

diuji betul-betul apakah ia dapat dipercaya atau tidak.

Apabila ada alasan-alasan bahwa saksi itu tidak dapat dipercaya, maka hakim dapat

menolak atau tidak menerima keterangannya.

Mengukur kejujuran orang yang menjadi saksi itu amat sulit, lebih-lebih apabila saksi itu

seorang yang tidak dikenal oleh hakim, sehingga hakim tidak mengetahui sifat, watak

dan keadaan orang itu.

Dalam praktek sering terjadi hakim menaruh kepercayaan pada seorang saksi yang

berdusta, atau sebaliknya menaruh syakwasangka terhadap saksi yang kelihatannya

pembohong, tetapi sebenarnya seorang saksi yang jujur.

Pasal 173

Persangkaan saja yang tidak berdasarkan suatu peraturan undang-undang yang tertentu, hanya

harus diperhatikan oleh Hakim waktu menjatuhkan keputusan jika persangkaan itu penting,

saksama, tertentu dan satu sama lain bersetujuan.

Penjelasan: Pasal ini memberi ketentuan tentang alat bukti persangkaan, tetapi tidak memberi perumusan

apa yang dinamakan "persangkaan" itu, pasal itu hanya memberi ketentuan, bahwa

persangkaan-persangkaan saja, yang tidak didasarkan atas suatu undang-undang, hanya boleh

diperhatikan oleh hakim pada mempertimbangkan suatu perkara, kalau persangkaanpersangkaan itu penting, seksama, tertentu dan bersesuaian satu sama lain.

Dari bunyi pasal itu dapat diambil kesimpulan, bahwa sebenarnya ada dua macam

persangkaan, yaitu persangkaan saja seperti yang telah diuraikan di atas, dan persangkaan

berdasarkan undang-undang.

Persangkaan-persangkaan saja itu sifatnya sama dengan "isyarat" atau "penunjukan" dalam

perkara pidana yang tersebut dalam pasal 310, yaitu tidak lain daripada kesimpulan-kesimpulan

yang diambil oleh hakim dari suatu kejadian atau keadaan yang telah terbukti, sehingga

menjelaskan suatu kejadian atau keadaan yang tidak terbukti.

Kejadian-kejadian dan keadaan-keadaan yang diketahui itu dapat dibuktikan dengan berbagaibagai jalan, misalnya dengan surat-surat, penyaksian-penyaksian, pengakuan, pemeriksaan

setempat dan lain-lain.

Untuk membuktikan perbuatan atau kejadian yang dikemukakan atau tuntutan yang tersebut

dalam gugatan, misalnya pinjaman uang diperlukan sekurang-kurangnya dua persangkaan,

sebab pasal 173 ini menyebutkan, bahwa persangkaan-persangkaan itu "satu sama lain harus

bersetujuan".

Penilaian terhadap kekuatan bukti sangkaan saja ini diserahkan kepada kebijaksanaan dan

pendapat hakim, sehingga persangkaan saja itu merupakan bukti bebas, bukan bukti mutlak.

Apa yang telah diuraikan di atas itu hanya berlaku bagi "persangkaan saja", dan tidak berlaku

bagi "persangkaan berdasarkan undang-undang". Yang tersebut terakhir ini adalah

persangkaan-persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri dan yang bersifat

kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang

diketahui (periksa pasal 1916 BW).

Suatu persangkaan semacam itu misalnya apa yang tersebut dalam pasal 1394 BW yang

menetapkan bahwa tentang sewa, bunga uang yang dipinjam, dan umumnya tentang segala

sesuatu yang dapat dibayar dalam jangka setahun atau dengan jangka tertentu yang lebih

pendek, oleh tiga buah kwitansi, dari mana ternyata pembayaran dari tiga jangka yang berturutturut, ditimbulkan persangkaan, bahwa jangka-jangka yang lebih dahulu telah dilunasi, kecuali

kalau dapat dibuktikan yang sebaliknya.

Penilaian terhadap kekuatan bukti "persangkaan berdasarkan undang-undang" ini hakim tidak

bebas seperti terhadap "persangkaan saja". Orang yang memakai persangkaan semacam itu,

misalnya penyewa bebas dari segala pembuktian tentang pembayaran yang telah dilakukan itu

bagi sewa yang harus dibayarnya, artinya hakim tidak boleh menuntut pembuktian lain dari

padanya, di samping ketiga lembar kwitansi yang telah diserahkan dalam perkara itu, dari sewa

yang telah dibayarnya lebih dahulu, kecuali apabila pihak lawannya membuktikan sebaliknya.

Oleh karena itu "persangkaan berdasarkan undang-undang" ini adalah merupakan bukti

mutlak, bukan bukti bebas.

Pasal 174

Pengakuan yang diucapkan di hadapan Hakim, cukup menjadi bukti untuk memberatkan

orang yang mengaku itu, baik yang diucapkannya sendiri, maupun dengan pertolongan orang

lain, yang istimewa dikuasakan untuk itu.

Penjelasan: 1. Pengakuan itu ada dua macam, yaitu "pengakuan di muka hakim" (pasal 174) dan

"pengakuan di luar sidang" (pasal 175). Pengakuan di muka hakim, baik yang diucapkan

sendiri maupun dengan pertolongan kuasanya, merupakan bukti yang cukup dan mutlak,

artinya hakim harus menerima pengakuan itu sebagai bukti yang cukup. Misalnya apabila

tergugat mengakui apa yang menjadi tuntutan penggugat, maka bagi hakim tidak ada lain

jalan daripada ia harus menerima gugatan itu dan menghukum tergugat, sehingga

pengakuan itu harus dianggap sebagai bukti yang menentukan. Adapun pengakuan di

luar sidang sebaliknya merupakan bukti yang bebas, artinya penentuan harga kekuatan

bukti dari pengakuan ini diserahkan kepada pertimbangan dan pendapat hakim, artinya

hakim bebas untuk menghargai atau tidak menghargai pengakuan itu.

2. Syarat pengakuan itu harus diucapkan sendiri, atau dengan pertolongan orang lain yang

"istimewa" dikuasakan untuk itu.

Keharusan adanya "kuasa istimewa" untuk melakukan pengakuan-pengakuan,

hendaknya tidak diartikan seperti harus ada suatu surat kuasa yang khusus guna

melakukan pengakuan di dalam tiap-tiap perkara. Sudah cukup kiranya jikalau di dalam

suatu surat kuasa umum dikatakan secara tentu, bahwa yang menjadi kuasa boleh

melakukan pengakuan untuk dan atas nama yang menguasakan. Sebaliknya surat kuasa

umum yang tidak memuat ketentuan yang demikian, tidaklah cukup bagi yang menjadi

kuasa buat melakukan pengakuan itu.

Perlu dicatat, bahwa pengakuan. di muka hakim dalam perkara perdata berlainan dengan

dalam perkara pidana (pasal-pasal 294 dan 307) tidak memerlukan keyakinan hakim dan

tidak usah dikuatkan oleh keterangan atau alat bukti lain.

Pengakuan itu harus diterima seluruhnya dan tidak boleh dipisah-pisahkan (Lihat pasal

176).

Pasal 176

Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya, dan hakim tidak bebas akan menerima

sebagian dan menolak sebagian lagi, sehingga merugikan orang yang mengaku itu, kecuali

orang yang berutang itu dengan maksud akan melepaskan dirinya, menyebutkan perkara yang

terbukti yang kenyataan dusta.

Penjelasan:

Pasal ini menentukan, bahwa tiap-tiap pengakuan itu harus diterima seluruhnya, dan hakim

tidak boleh menerima sebagian dari pengakuan) itu, dan menolak bagian yang lain, yang akan

merugikan orang yang telah mengaku itu, kecuali kalau yang berhutang dengan maksud untuk

membebaskan diri mengemukakan perbuatan atau kejadian yang terbukti bahwa perbuatan

atau kejadian itu palsu, seperti misalnya orang yang menggugat dalam surat gugatannya telah

menerangkan, bahwa tergugat telah meminjam uang sebanyak satu juta rupiah dari padanya

yang harus dibayar lunas pada tanggal 1 November 1978; bahwa jangka waktu terakhir itu

telah lewat, akan tetapi tergugat telah menolak untuk membayar hutang itu; dan bahwa ia oleh

karena itu memohon supaya tergugat itu dihukum untuk membayar uang satu juta rupiah

kepada penggugat.

Atas gugatan itu tergugat menjawab, bahwa kejadian-kejadian yang dikemukakan penggugat itu

adalah benar, akan tetapi ia menambahkan pada keterangannya itu, bahwa ia telah melunasi

hutang satu juta rupiah itu seluruhnya pada penggugat; hal ini disangkal oleh penggugat.

Memisah-misahkan pengakuan itu misalnya: Tergugat yang tersebut di atas itu sebagai jawaban

atas gugatan itu. memberikan suatu keterangan; sebagian dari keterangan itu mengandung suatu pengakuan, sebagian yang lain berisi suatu pembelaan (sudah membayar lunas) yang

pada hakekatnya akan membatalkan gugatan itu.

Andaikata sekarang hakim memisahkan pengakuan itu dari bagian yang lain dari keterangan

tergugat itu, dan menganggap pengakuan itu sebagai suatu pengakuan yang berdiri sendiri,

maka pemisahan pengakuan itu akan memberi akibat, bahwa pihak yang menggugat tidak akan

perlu membuktikan lagi dasar-dasar gugatannya yang telah dimajukan itu.

Tindakan hakim untuk memisahkan pengakuan di atas itu tidak diperkenankan oleh pasal 176,

sebab pemisahan pengakuan seperti itu akan merugikan. orang (tergugat) yang memberikan

keterangan tersebut, yang hanya untuk sebagian mengandung suatu pengakuan.

Pasal 177

Kepada seorang, yang dalam satu perkara telah mengangkat sumpah yang ditanggungkan atau

ditolak kepadanya oleh lawannya atau yang disuruh sumpah oleh hakim tidak dapat diminta

bukti yang lain untuk menguatkan kebenaran yang disumpahkannya itu.

Penjelasan:

Pasal ini menentukan kekuatan bukti dari sumpah, yang mengatakan bahwa dari orang yang

dalam suatu perkara telah mengangkat sumpah yang diperintahkan kepadanya oleh pihak

lawan, atau yang dipulangkan kepadanya, atau yang diperintahkan oleh hakim

kepadanya, tidak boleh diminta bukti-bukti lain untuk menguatkan apa yang telah

diucapkannya dalam. sumpah itu.

Apakah sumpah itu? Suatu sumpah yaitu suatu keterangan yang diucapkan dengan

khidmad, bahwa jika orang yang mengangkat sumpah itu memberi keterangan yang tidak

benar, ia bersedia untuk dikutuk oleh Tuhan. Oleh karena itu maka sumpah adalah suatu

cara untuk menguatkan suatu keterangan seseorang sebagai satu pihak dalam suatu

perkara, dan menjadi alat bukti yang sesungguhnya amat lemah, sebab banyak orang

tidaklah begitu takut akan kutukan Tuhan. Oleh karena itu perintah untuk bersumpah

itu dipakai sebagai alat bukti, jikalau tidak ada jalan yang lain lagi.

Sumpah itu ada dua macam, yaitu:

a. Sumpah pihak, atau sumpah "decisoir", yaitu sumpah yang dibebankan oleh salah

satu pihak yang berperkara kepada pihak yang lain;

b. Sumpah jabatan, atau sumpah suppletoir, yaitu sumpah.. yang menurut jabatan

diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak yang berperkara.

Menurut pasal 177 ini ternyata dengan jelas, bahwa sumpah itu baik decisoir maupun

suppletoir merupakan bukti yang mutlak, artinya setelah pihak yang bersangkutan

mengangkat sumpah, maka hakim harus menetapkan keterangan untuk apa pihak itu

telah bersumpah sebagai telah cukup terbukti, meskipun barangkali ia sendiri tidak yakin

tentang kebenaran keterangan itu.

Lagi pula pihak lawan tidak diperkenankan untuk melawan pada kebenaran sumpah

yang telah diucapkan itu; walaupun hal ini tidak mengurangkan, bahwa ia senantiasa

berhak untuk mengadukan pihak lawannya supaya dituntut kriminal tentang sumpah

palsu yang tersebut dalam pasal 242 KUHP.

Bagian Ketiga

TENTANG MUSYAWARAT DAN KEPUTUSAN Pasal 178

Hakim karena jabatannya waktu bermusyawarat wajib mencukupkan segala alasan hukum;

yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.

Hakim wajib mengadili atas segala bahagian gugatan.

Ia tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan

lebih dari pada yang digugat.

Penjelasan:

Dalam ayat (1) hakim harus mencukupkan segala alasan hukum. Apakah yang dimaksud

"alasan hukum" itu? Alasan-alasan hukum yaitu pasal-pasal dari peraturan-peraturan undangundang yang digunakan sebagai dasar tuntutan penggugat, atau dasar yang digunakan hakim

untuk meluluskan atau menolak tuntutan penggugat.

Dengan adanya ketentuan ini maka penggugat sebenarnya sekali-kali tidak perlu khawatir kalau

ia lupa tidak menyebutkan atau keliru mengemukakan pasal perundang-undangan yang ia pakai

untuk mendasarkan tuntutannya, sebab semuanya itu toh akan dibetulkan oleh hakim yang

pada hakekatnya berkewajiban menggunakan peraturan perundang-undangan dalam

mempertimbangkan perkara yang berada di tangannya.

Ayat (2) mewajibkan kepada hakim mengadili dan memberikan putusan atas semua bagian dari

apa yang digugat atau dituntut, artinya apabila dalam gugatan itu disebutkan beberapa hal yang

dituntut seperti misalnya membayar pokok hutang, membayar bunga dan membayar kerugian,

maka atas ketiga macam tuntutan ini Pengadilan Negeri harus dengan nyata memberikan

keputusannya. Tidak diperkenankan misalnya, apabila atas tuntutan yang pertama ia memberi

keputusan meluluskan, sedangkan tuntutan kedua dan ketiga tidak ia singgung sama sekali

karena persoalannya sulit umpamanya.

Ayat (3) melarang hakim untuk menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat atau

meluluskan yang lebih daripada yang digugat, seperti misalnya apabila seorang penggugat

dimenangkan di dalam perkaranya untuk membayar kembali uang yang dipinjam oleh

lawannya, akan tetapi ia lupa untuk menuntut agar supaya tergugat dihukum pula membayar

bunganya, maka hakim tidak diperkenankan menyebutkan dalam putusannya supaya yang

kalah itu membayar bunga atas uang pinjaman itu.

Pasal 179

(1) Sesudah keputusan diperbuat dengan mengingat aturan-aturan di atas ini, maka kedua

belah fihak dipanggil masuk kembali dan keputusan diumumkan oleh ketua.

(2) Jika kedua fihak atau salah satu dari mereka tidak hadir pada waktu keputusan itu

diumumkan, maka isi keputusan itu atas perintah ketua diberitahukan kepadanya oleh

seorang pegawai yang diwajibkan untuk itu.

(3) Ayat penghabisan dari pasal 125 berlaku dalam hal ini.

Penjelasan:

Menurut hasil-hasil pemeriksaan perkara di persidangan pengadilan, dengan memperhatikan

peraturan tentang pembuktian dan pula dengan memperhatikan hukum perdata material yang

berlaku antara kedua belah pihak, maka hakim mengambil keputusan dalam sidang, tertutup

tanpa hadirnya kedua belah pihak dan para penonton, yang mungkin merupakan keputusan

sela atau keputusan akhir, semuanya ini tergantung daripada tingkat pemeriksaan perkara itu.

Ayat (1) pasal ini menentukan, bahwa sesudah keputusan itu diumumkan, maka atas perintah

ketua pengadilan isi keputusan itu diberitahukan kepada mereka oleh seorang pegawai yang

diwajibkan untuk itu (ayat (2) pasal ini). Selanjutnya ayat (3) menerangkan bahwa ayat penghabisan pasal 125 berlaku dalam hal ini,

yang artinya bahwa panitera pengadilan harus mencatat di bawah surat keputusan itu kepada

siapakah dulunya diperintahkan menjalankan pemberitahuan itu, dan apakah yang diterangkan

orang itu tentang hal tersebut, baik dengan surat maupun dengan lisan.

Pasal 180

Ketua pengadilan negeri dapat memerintahkan supaya keputusan itu dijalankan dahulu biarpun

ada perlawanan atau bandingan, jika ada surat yang syah, suatu surat tulisan yang

menurut aturan yang berlaku dapat diterima sebagai bukti atau jika ada hukuman lebih

dahulu dengan keputusan yang sudah mendapat kekuasaan pasti, demikian juga jika

dikabulkan tuntutan dahulu, lagi pula di dalam perselisihan tentang hak kepunyaan.

Akan tetapi hal menjalankan dahulu, keputusan ini sekali-kali tidak dapat menyebabkan orang

disanderakan.

Penjelasan:

Ada anggapan, bahwa keputusan hakim itu baru dapat dijalankan, baik dengan jalan penagihan,

penyitaan atau penyanderaan, maupun dengan jalan paksaan langsung, ialah sesudahnya

keputusan itu memperoleh kekuatan yang pasti, yaitu setelah lampau waktu buat mengadakan

perlawanan naik banding atau kasasi. Keharusan menunggu ini sesungguhnya dapat

menimbulkan kesukaran.

Dari bunyi pasal 180 ini ternyata bahwa Pengadilan Negeri boleh memerintahkan supaya

keputusan hakim itu dijalankan dahulu, walaupun pihak yang kalah membantah keputusan itu

atau naik banding. Apakah hakim boleh memerintahkan menjalankan keputusan dengan segera

tanpa diminta oleh yang berkepentingan? Di dalam HIR tidak ada ketentuan tentang hal itu.

Mr. R. Tresna dalam bukunya "HIR" menjelaskan, bahwa menurut pendapat umum yang juga

diikuti di dalam praktek pengadilan, hal itu tidak diperkenankan. Oleh karena itu dianjurkan

sebaiknya di dalam surat gugatan dicantumkan permintaan itu, agar di kemudian hari tidak

harus mengalami kekecewaan.

Sekarang bagaimanakah akibatnya, apabila keputusan yang telah dijalankan dengan segera itu,

di dalam pemeriksaan banding dibatalkan? Sudah barang tentu oleh karena ada pembatalan itu

maka keputusan hakim semula harus dianggap tidak ada, dan harus diadakan pemulihan

terhadap apa yang sudah dijalankan, artinya kedua belah pihak harus dikembalikan kepada

keadaan semula.

Ayat (2) pasal 180 membatasi, bahwa menjalankan putusan hakim dengan segera itu sekali-kali

tidak diperkenankan sampai berakibat orang disandera.

Pasal 181

(1) Barang siapa, yang dikalahkan dengan keputusan akan dihukum membayar biaya

perkara. Akan tetapi semua atau sebagian biaya perkara itu dapat diperhitungkan antara:

laki isteri, keluarga sedarah dalam turunan yang lurus, saudara laki-laki dan saudara

perempuan atau keluarga semenda, lagi pula jika dua belah fihak masing-masing

dikalahkan dalam beberapa hal;

(2) Pada keputusan sementara dan keputusan yang lain yang lebih dahulu dari keputusan

penghabisan maka dapatlah keputusan tentang biaya perkara ditangguhkan sampai pada

waktu dijatuhkan keputusan terakhir.

(3) Biaya perkara yang diputuskan dengan keputusan sedang yang dikalahkan tak hadir,

harus dibayar oleh orang yang dikalahkan, meskipun ia akan menang perkara sesudah dimajukan perlawanan atau bandingan, kecuali pada waktu pemeriksaan perlawanannya

atau bandingannya, bahwa ia tidak dipanggil dengan patut.

(4) Di dalam hal yang tersebut pada pasal 127, maka ongkos panggilan ulangan orang-orang

tergugat yang tidak datang, harus dibayar oleh orang-orang yang tergugat itu, meskipun

mereka menang perkara, kecuali jika pada waktu persidangan pertama mereka itu

ternyata tidak dipanggil dengan patut.

Penjelasan:

Menurut pasal ini maka pihak yang kalah harus dihukum untuk membayar ongkos perkara,

dan menurut keadaan pembayaran ongkos perkara itu dapat diperhitungkan antara:

laki dan isteri,

keluarga sedarah turunan lurus, yaitu misalnya antara anak dan orang tua, antara cucu dan,

kakek/nenek dan sebagainya,

saudara laki-laki dan saudara perempuan,

keluarga-keluarga semenda atau keluarga karena perkawinan, seperti misalnya ipar laki-laki,

ipar perempuan dan sebagainya,

kedua belah pihak masing-masing yang dikalahkan dalam beberapa hal.

Ayat (2) menentukan, bahwa penghukuman membayar ongkos itu senantiasa ditentukan dalam

surat keputusan terakhir.

Apabila sebelumnya ada penghukuman-penghukuman membayar ongkos perkara dalam

keputusan sementara atau keputusan-keputusan sela lainnya, maka semuanya itu ditangguhkan

sampai pasta waktu dijatuhkan keputusan yang terakhir.

Ayat (3) menentukan, bahwa pihak yang dikalahkan dengan keputusan "verstek", senantiasa

harus dihukum membayar ongkos perkara, walaupun ia kelak bisa menang perkara dalam

perlawanannya terhadap putusan-verstek itu.

Pasal 182

(1) Hukuman membayar biaya itu dapat meliputi tidak lebih dari:

1o. biaya kantor panitera dan biaya meterai, yang perlu dipakai dalam perkara itu;

2o. biaya saksi, orang ahli dan juru bahasa terhitung juga biaya sumpah mereka itu,

dengan pengertian bahwa fihak yang meminta supaya diperiksa lebih dari lima

orang saksi tentang satu kejadian itu, tidak dapat memperhitungkan bayaran

kesaksian yang lebih itu kepada lawannya;

3o. biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim dan lain-lain;

4o. gaji pegawai yang disuruh melakukan panggilan, pemberitahuan dan segala surat

jurusita yang lain;

5o. biaya yang tersebut pada pasal 138, ayat keenam;

6o. gajih yang harus dibayar kepada panitera atau pegawai lain karena menjalankan

keputusan;

semuanya itu menurut undang-undang dan daftar harga yang telah ada atau yang akan

ditetapkan kemudian oleh Menteri Kehakiman dan jika itu tidak ada menurut taksiran

ketua.

Pasal 183 Banyaknya biaya perkara, yang dijatuhkan pada salah satu fihak harus disebutkan dalam

keputusan.

Aturan itu berlaku juga tentang jumlah biaya, kerugian dan bunga uang, yang dijatuhkan pada

satu fihak untuk dibayar kepada fihak yang lain.

Penjelasan:

Kedua pasal tersebut mengatur tentang penghukuman untuk membayar ongkos perkara yang

harus dibebankan pada pihak yang kalah. Pasal 182 menyebutkan perincian dari hal-hal yang

boleh ditarik biaya. Jenis-jenis pengeluaran di luar perincian itu tidak boleh dimasukkan dalam

ongkos perkara.

Penentuan jumlahnya harus didasarkan atas tarip yang ada atau yang akan ditetapkan oleh

Departemen Kehakiman, atau kalau tidak ada, didasarkan atas taksiran Ketua pengadilan.

Pasal 184

Keputusan harus berisi keterangan ringkas, tetapi yang jelas gugatan dan jawaban, serta dasar

alasan-alasan keputusan itu: begitu juga keterangan, yang dimaksud pada ayat keempat

pasal 7. Reglemen tentang Aturan Hakim dan Mahkamah serta Kebijaksanaan

Kehakiman di Indonesia dan akhirnya keputusan pengadilan, negeri tentang pokok

perkara dan tentang banyaknya biaya, lagi pula pemberitahuan tentang hadir tidaknya

kedua belah fihak pada waktu mengumumkan keputusan itu.

Di dalam keputusan-keputusan yang berdasarkan pada aturan undang-undang yang pasti, maka

aturan itu harus disebutkan.

Keputusan-keputusan itu ditandatangani oleh ketua dan panitera.

Penjelasan:

Menurut pasal ini maka surat keputusan hakim itu harus berisi:

a. suatu keterangan singkat tetapi jelas dari isi gugatan,

b. jawaban tergugat atas gugatan itu,

c. alasan-alasan keputusan,

d. keputusan hakim tentang pokok perkara dan tentang ongkos perkara,

e. keterangan apakah pihak-pihak yang berperkara hadir pada waktu keputusan itu

dijatuhkan,

f. kalau keputusan itu didasarkan atas suatu undang-undang ini harus disebutkan,

g. tanda-tangan hakim dan panitera.

Dicatat di sini, bahwa tentang isi keputusan pengadilan pasal 23 Undang-undang Pokok

Kehakiman (UU No. 14/1970) mengatakan bahwa:

1) Segala keputusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan

itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang

bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

2) Tiap putusan Pengadilan harus ditandatangani oleh Ketua, Hakim Anggota yang

memutus dan Panitera yang ikut bersidang.

3) Penetapan-penetapan, ikhtisar-ikhtisar rapat permusyawaratan dan berita-acara tentang

pemeriksaan sidang ditandatangani oleh Ketua dan Panitera.

Apakah keputusan Pengadilan Negeri dalam perkara perdata apabila tidak memenuhi

ketentuan-ketentuan di atas itu menjadi batal? Di dalam HIR tidak ada ketentuannya. Pasal 185

Keputusan yang bukan keputusan terakhir, sungguhpun harus diucapkan dalam persidangan

juga, tidak diperbuat masing-masing sendiri, tetapi hanya dilakukan dalam surat

pemberitaan persidangan.

Kedua belah fihak dapat meminta supaya diberikan kepada masing-masing salinan yang sah

dari peringatan yang demikian dengan membayarnya sendiri.

Penjelasan:

Menurut penjelasan Mr.R.Tresna dalam bukunya yang berjudul "Komentar H.I.R., maka yang

dimaksud dengan "putusan yang bukan putusan, terakhir itu mungkin apa yang dinamakan

"interlocutoire vonnis", suatu macam keputusan yang tidak dikenal oleh H.T.R. Mungkin juga

yang dimaksud adalah yang biasa disebut "provisionele vonnis" sebagaimana yang disebut

dalam pasal 180 H.I.R. yang telah kita kenal sebagai keputusan hakim yang segera harus

dijalankan.

Sesungguhnya hukum acara pidana itu mengenal beberapa macam keputusan, tetapi tidak

dimuat dalam H.I.R., oleh karena H.I.R. dulu dibuat untuk mengadili golongan Bumiputra dan

sengaja dibuat sesederhana mungkin.

Untuk diketahui ada baiknya macam-macam keputusan itu disajikan di bawah ini:

a. keputusan declaratoir: yaitu keputusan yang hanya menegaskan sesuatu keadaan hukum

semata-mata, misalnya tentang anak yang syah, tentang hak milik atas suatu benda dan

lain sebagainya.

b. keputusan constitutief: yaitu suatu keputusan yang mentiadakan sesuatu keadaan hukum

atau yang menimbulkan sesuatu keadaan hukum baru, diantaranya: keputusan-keputusan

yang memutuskan perkawinan pernyataan jatuh pailit dan lain sebagainya.

c. keputusan condemnatoir: yaitu keputusan yang menetapkan bagaimana hubungannya

sesuatu keadaan hukum (duduknya hubungan hukum), disertai dengan penetapan

hukuman terhadap salah satu pihak.

Keputusan-keputusan serupa ini merupakan sekalian keputusan declaratoir, oleh karena

hakim, sebelum menjatuhkan keputusannya, lebih dahulu menetapkan bagaimana

duduknya hubungan hukum diantara kedua belah pihak itu.

Sebagian besar dari keputusan-keputusan hakim termasuk golongan keputusan ini, dan

dari ini sebagian besar lagi mengandung hukuman membayar sejumlah uang.

d. keputusan preparatoir: yaitu keputusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk

melancarkan segala sesuatu guna mengadakan keputusan terakhir, misalnya keputusan

hakim untuk menolak pengunduran pemeriksaan saksi.

e. keputusan interlocutoir: yaitu keputusan hakim dengan mana sebelum dijatuhkan

keputusan, diperintahkan mengadakan pemeriksaan dahulu, yang dapat mempengaruhi

bunyinya keputusan terakhir, seperti misalnya tentang mendengar saksi, mengambil

sumpah, pemeriksaan buku, pemeriksaan ahli dan lain-lain.

Bedanya di antara keputusan preparatoir dan interlocutoir, terutama terlihat di dalam

pengaduan banding dan kasasi.

Jikalau terhadap keputusan preparatoir, banding itu baru dapat diajukan sekalian dengan

banding terhadap keputusan terakhir, maka banding terhadap keputusan interlocutoir

dapat segera diajukan, kecuali jika hakim menetapkan lain.

f. keputusan incidentieel: yaitu keputusan atas sesuatu perselisihan, yang tidak begitu

berhubungan dengan pokok perkaranya, seperti misalnya keputusan atas tuntutan

supaya lawan di dalam perkara mengadakan jaminan terdahulu, yang dinamakan "cautie" (cautie judicatum solvi); begitupun keputusan yang membolehkan seseorang ikut serta di

dalam perkara (voegirrg, tusschenkomst atau vrijwaring).

g. keputusan provisioneel: yaitu keputusan atas tuntutan supaya di dalam hubungan pokok

perkaranya dan menjelang pemeriksaan pokok perkara itu, sementara diadakan tindakantindakan pendahuluan untuk kefaedahan salah satu pihak atau ke dua belah pihak.

Keputusan yang demikian itu banyak digunakan di dalam pemeriksaan singkat

(kortgeding).

h. keputusan, contradictoir: yaitu keputusan di dalam perkara di mana tidak saja yang

digugat mengadakan perlawanan, melainkan juga jikalau yang digugat itu segera

menerima tuntutan penggugat.

i. keputusan verstek: yaitu keputusan di mana yang digugat, meskipun dipanggil

sebagaimana mestinya, tidak datang menghadap atau tidak menyuruh orang lain

menghadap untuknya sebagai kuasa.

Pasal 186

(1) Panitera membuat berita acara dari tiap-tiap satu perkara di dalam berita acara itu

disebut juga selain dari yang terjadi dalam persidangan, nasehat yang tersebut pada ayat

ketiga pasal 7 Reglemen tentang Aturan Hakim dan Mahkamah serta Kebijaksanaan

Kehakiman di Indonesia.

(2) Berita acara ini ditandatangani oleh hakim dan panitera.

Pasal 187

(1) Jika ketua tidak dapat menandatangani keputusan atau berita acara persidangan, maka

hal itu dilakukan oleh anggota yang turut dalam pemeriksaan perkara itu, yang tingkat

jabatannya langsung di bawah ketua.

*

(

(2) Jika panitera tidak dapat menandatangani keputusan hukuman atau berita acara

persidangan maka hal itu harus di jelaskan dalam keputusan atau berita acara.

Penjelasan:

Menurut pasal 186 bagi pemeriksaan tiap-tiap suatu perkara Panitera Pengadilan harus

membuat berita-acara persidangan yang harus berisi segala sesuatu yang telah terjadi selama

persidangan, juga keterangan yang dimaksud pada ayat tiga pasal 7 Reglemen tentang Aturan

Hakim dan Mahkamah serta Kebijaksanaan Kehakiman di Indonesia (R.O.). "Keterangan"

yang dimaksud di sini adalah nasihat dari Penasihat (Penghulu) yang di zaman Hindia-Belanda

harus ikut duduk dalam persidangan (Landraad").

Di dalam susunan Pengadilan Negeri sekarang ini Penasehat (Penghulu) itu sudah tidak ada

lagi, sehingga ""keterangan" itu tidak perlu ada. Walaupun pada hakekatnya pada waktu majelis

hakim Pengadilan Negeri mengambil keputusan dengan berdasarkan suara terbanyak, akan

tetapi menurut bunyi pasal 136 ini, di dalam berita acara persidangan itu tidak boleh

disebutkan. bahwa keputusan itu dijatuhkan dengan suara terbanyak atau dengan suara bulat.

Berita-acara itu harus ditanda-tangani oleh Ketua dan Panitera Pengadilan, yang berdasarkan

pasal 187, apabila Ketua tidak dapat menanda tangani putusan hakim dan berita-acara

*

Tentang membanding keputusan Pengadilan negeri dimajukan sekarang pada Pengadilan Tinggi. Soal ini

diatur dalam Undang-undang Darurat No.I/1951 (Lembaran Negara No.9/1951). persidangan, maka hal itu harus dikerjakan oleh hakim anggota yang ikut memeriksa perkara

itu, yang pangkatnya setingkat di bawah pangkat ketua.

Kalau yang tidak dapat menanda tangani itu Panitera, maka tidak perlu diganti, tetapi cukup

hal itu disebutkan saja dalam berita-acara.

Bagian Keempat

TENTANG MEMBANDING KEPUTUSAN (APEL)

Pasal 188 s/d pasal 194. (Ditiadakan oleh undang-undang darurat No. 1/1951).

Bagian Kelima

TENTANG MENJALANKAN KEPUTUSAN

Pasal 195

(1) Hal menjalankan keputusan pengadilan negeri, dalam perkara yang pada tingkat pertama

diperiksa oleh pengadilan negeri, adalah atas perintah dan dengan pimpinan ketua

pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu, menurut cara yang

diatur dalam pasal-pasal berikut ini:

(2) Jika hal itu harus dilakukan sekaligus atau sebagian, di luar daerah hukum pengadilan

negeri yang tersebut di atas, maka ketuanya meminta bantuan ketua pengadilan yang

berhak, dengan surat demikian juga halnya di luar Jawa-Madura.

(3) Ketua pengadilan negeri yang bantuannya diminta, berlaku sebagai ditentukan pada ayat

di atas ini juga, jika nyata padanya, bahwa hal menjalankan keputusan itu harus terjadi

sekaligus atau sebagian di luar daerah hukumnya pula.

(4) Bagi ketua pengadilan negeri yang diminta bantuannya oleh rekannya dari luar Jawa dan

Madura, berlaku peraturan dalam bahagian ini, tentang segala perbuatan yang akan

dilakukan disebabkan perintah ini.

(5) Ketua yang diminta bantuannya itu, memberitahukan dalam dua kali dua puluh empat

jam, segala daya upaya yang telah diperintahkan dan kemudian tentang kesudahannya

kepada ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama, memeriksa perkara itu.

(6) Perlawanan terhadap keputusan, juga dari orang lain yang menyatakan bahwa barang

yang disita miliknya, dihadapkan serta diadili seperti segala perselisihan tentang upaya

paksa yang diperintahkan oleh pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya terjadi

penjalanan keputusan itu.

(7) Dari perselisihan yang timbul dari keputusan tentang perselisihan itu ketua pengadilan

negeri memberitahukan dengan surat tiap-tiap kali dalam tempo dua kali dua puluh

empat jam kepada ketua pengadilan negeri, yang pada tingkat pertama memeriksa

perkara itu.

Penjelasan:

Apabila cara menjalankan putusan hakim, perdata kita bandingkan dengan cara menjalankan

putusan hakim pidana, maka boleh dikatakan, bahwa cara menjalankan putusan hakim pidana

itu agak mudah, sedangkan cara menjalankan putusan hakim perdata agak sulit.

Eksekusi putusan hakim pidana dijalankan oleh Jaksa, sedangkan menjalankan putusan hakim

perdata dilakukan oleh panitera atas perintah hakim pengadilan negeri.

Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim

yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini

memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang

dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya.

Lazimnya pihak yang kalah dengan kemauan sendiri memenuhi keputusan itu, akan tetapi

sering juga terjadi, bahwa terhukum tidak mau mematuhi keputusan itu.

Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu

dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus

benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan

hukum untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena

lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera,

walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.

la lalu mengajukan permohonan dengan lisan atau dengan surat kepada Hakim Pengadilan

Negeri yang menjatuhkan keputusan itu untuk eksekusi, sebab eksekusi itu dilakukan atas

perintah dan di bawah pimpinan hakim (Iihat pasal 196).

Menurut ayat (2) pasal 196, apabila keputusan itu sebagian harus dilaksanakan di luar daerah

hukum pengadilan negeri yang telah memutus itu, maka ketua pengadilan negeri ini meminta

bantuan dengan surat kepada pengadilan negeri yang berwenang di daerah itu.

Menurut ayat (5) pasal 196, ketua pengadilan negeri yang diminta bantuannya dalam dua kali

dua puluh empat jam harus memberitahukan kepada ketua pengadilan negeri yang meminta

bantuan, segala daya upaya atau usaha yang telah diperintahkan dan kemudian tentang

kesudahannya.

Menurut ayat (6) apabila timbul perlawanan terhadap keputusan itu, baik dari pihak. lawan

maupun dari fihak ketiga yang menyatakan bahwa barang-barang yang disita itu miliknya, maka

perselisihan itu diperiksa dan diputus secara lazimnya oleh Pengadilan Negeri yang dalam

daerah hukumnya terhadap eksekusi keputusan itu.

Pasal 196

Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan

damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan

surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat

menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta

memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh

ketua, yang selama-lamanya delapan hari.

Penjelasan:

Biasanya pihak yang kalah itu dengan kemauan sendiri mematuhi isi keputusan hakim, akan

tetapi apabila ia lalai atau tidak mau memenuhinya, maka pihak yang menang baik dengan lisan

maupun dengan surat memajukan permintaan kepada pengadilan negeri yang telah memutus

perkara itu, untuk melaksanakan keputusan tersebut.

Ketua pengadilan kemudian menyuruh memanggil pihak yang kalah itu dan diberi ingat supaya

dalam tempoh yang ditetapkan oleh ketua yang selama-lamanya delapan hari, memenuhi

keputusan itu.

Setelah lewat tempoh yang ditetapkan itu dan yang kalah belum juga memenuhi perintah

hakim, maka menurut pasal 167 hakim kemudian memerintahkan kepada Panitera untuk

menyita barang-barang terangkat milik orang yang kalah sekira cukup untuk memenuhi tagihan

uang dan biaya eksekusi. Pasal 197

Jika sudah lewat tempo yang ditentukan itu, dan yang dikalahkan belum juga memenuhi

keputusan itu, atau ia jika dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap, maka ketua

oleh karena jabatannya memberi perintah dengan surat, supaya disita sekalian banyak

barang-barang yang tidak tetap dan jika tidak ada, atau ternyata tidak cukup sekian

banyak barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan itu sampai dirasa cukup akan

pengganti jumlah uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan

semua biaya untuk menjalankan keputusan itu.

Penyitaan dijalankan oleh panitera pengadilan negeri.

Apabila panitera berhalangan karena pekerjaan jabatannya atau oleh sebab yang lain, maka ia

digantikan oleh seorang yang cakap atau yang dapat dipercaya, yang untuk itu

ditunjukkan oleh ketua atau atas permohonan panitera oleh Kepala Daerah, dalam hal

penunjukkan yang menurut tersebut tadi, ketua berkuasa pula, menurut keadaan

bilamana perlu ditimbangnya untuk menghemat biaya berhubung dengan jauhnya

tempat penyitaan itu harus dilakukan.

Penunjukkan orang itu dilakukan dengan menyebutkannya saja atau dengan mencatatnya pada

surat perintah yang tersebut pada ayat pertama pasal ini.

Panitera itu atau orang yang ditunjukkan sebagai penggantinya membuat berita acara tentang

pekerjaannya, dan kepada orang yang disita barangnya itu diberitahukan maksudnya,

kalau ia ada hadir.

Di waktu melakukan penyitaan itu ia dibantu oleh dua orang saksi, yang namanya,

pekerjaannya dan tempat diamnya disebutkan dalam pemberitaan acara, dan mereka

turut menandatangani surat asli pemberitaan acara itu dan salinannya.

Saksi itu haruslah penduduk Indonesia, telah cukup umurnya 21 tahun dan terkenal sebagai

orang yang dapat dipercaya pada yang melakukan penyitaan itu.

Penyitaan barang yang tidak tetap kepunyaan orang yang berutang, termasuk juga dalam

bilangan itu uang tunai dan surat-surat yang berharga uang dapat juga dilakukan atas

barang berwujud, yang ada ditangan orang lain, akan tetapi tidak dapat dijalankan atas

hewan dan perkakas yang sungguh-sungguh dipergunakan menjalankan pencaharian

orang yang terhukum itu.

Panitera atau orang yang ditunjuk menggantinya, menurut keadaan, dapat meninggalkan

barang-barang yang tidak tetap atau sebagian dari itu dalam persimpanan orang yang

barangnya disita itu, atau menyuruh membawa sebagian dari barang itu ke satu tempat

persimpanan yang patut. Dalam hal pertama, maka ia memberitahukan kepada polisi

desa atau polisi kampung, dan polisi itu harus menjaga, supaya jangan ada dari barang itu

dilarikan. Opstal Indonesia tidak dapat dibawa ke tempat lain.

Penjelasan:

Jika tempo yang diberikan oleh ketua pengadilan sudah lewat dan pemenuhan surat keputusan

belum juga dilaksanakan, maka oleh karena jabatannya, ketua memberi perintah dengan

surat supaya dilakukan penyitaan atas barang-barang yang tidak tetap (terangkat) milik

orang yang kalah, sekira cukup untuk membayar jumlah uang yang ditagih dan biaya

eksekusi. Jika barang-barang tidak tetap tidak ada, atau tidak cukup banyaknya, supaya

disita juga barang-barang yang tetap (tidak terangkat).

Penyitaan dilakukan oleh Panitera Pengadilan, jika ia berhalangan digantikan oleh seorang yang

cakap dan boleh dipercaya, yang ditunjuk oleh Ketua atau atas permohonan panitera,

oleh Kepala Daerah Penunjukan orang itu cukup dilakukan dengan mencatatnya pada

surat perintah penyitaan tersebut. Yang dimaksud dengan barang-barang tidak tetap atau barang-barang terangkat

(roerendegoederen) yaitu barang-barang yang dapat diangkat seperti misalnya perabot

rumah tangga, kendaraan, barang-barang perhiasan, uang tunai, surat-surat yang

berharga uang, dan barang-barang berwujud lain-lainnya. Semuanya ini dapat disita,

kecuali hewan dan perkakas yang sungguh-sungguh dipergunakan menjalankan

pencahariannya untuk memperoleh nafkah.

Yang dinamakan barang-barang tetap atau barang-barang tak terangkat (onroerende

goederen) yaitu barang-barang yang tidak dapat diangkat, seperti misalnya tanah, kebun,

pekarangan, rumah, gedung (rumah kampung yang terbuat dari kayu dan bambu beratap

genting yang biasa dapat diangkat, tidak masuk disini), dan lain sebagainya

Barang-barang ini baru dapat disita, apabila barang-barang yang terangkat tidak ada atau

kurang jumlahnya untuk memenuhi tagihan dan biaya eksekusi.

Panitera atau orang, penggantinya yang menjalankan putusan hakim dengan menyita barangbarang itu harus membuat berita acara? tentang pekerjaannya dan kepada orang yang

disita barangnya itu diberitahukan maksudnya, jika ia hadir.

Pada waktu melakukan penyitaan, panitera dibantu oleh dua orang saksi, penduduk

Indonesia yang telah cukup berumur 21 tahun dan dapat dipercaya, yang mana,

pekerjaan dan tempat tinggalnya harus disebutkan dalam berita-acara, dan mereka turut

menanda tanganinya.

Di manakah barang-barang yang disita itu harus disimpan? Menurut keadaan, Panitera

dapat meninggalkan barang-barang yang tidak tetap atau sebagian dari itu dalam

penyimpanan orang yang barangnya disita, atau menyuruh membawa barang itu ke suatu

tempat simpanan yang layak. Polisi desa diberi tahu hal itu dan ia harus menjaga barang

yang berada dalam penyimpanan pemiliknya atau jangan sampai dilarikan.

Yang disebut "opstal Indonesia" yaitu bangunan atau rumah orang-orang Indonesia dari

kayu atau bambu yang tidak melekat (ditembok) pada tanah (yang dapat dipindahpindah) seperti pernah diuraikan di atas.

Yang dimaksudkan oleh ayat (8) dengan "yang ada di tangan orang lain" yaitu bahwa penyitaan

juga boleh dilakukan terhadap barang-barang dan sebagainya itu milik pihak yang kalah,

akan tetapi yang berada di tangan pihak ketiga.

Dalam hal ini satu salinan "exploit" penyitaan diberikan kepada pihak ke tiga itu, dan

pihak ketiga ini berhak untuk mengajukan perlawanan terhadap penyitaan itu;

perlawanan ini diperiksa dan diputus menurut cara yang lazim oleh Pengadilan Negeri.

Orang yang disita itu tidak diperkenankan memindahkan ke tangan lain, membebani atau

menyewakan barang-barang yang disita itu, dan seterusnya ia sebagai penyimpan barangbarang sitaan itu menurut pasal 281 K.U.H.P. dapat dipidana, jika ia dengan sengaja

menyingkirkan atau menggelapkan sebuah atau lebih dari barang-barang yang disita itu.

Setelah penyitaan itu kemudian menyusul penjualan barang-barang yang disita dengan

pertolongan kantor lelang atau oleh Panitera sendiri yang menyita (pasal 200).

Terhadap penyitaan dan penjualan ini yang disita dapat memajukan perlawanan, kalau

ada alasan-alasan tertentu, seperti misalnya ia sementara telah membayar memenuhi

keputusan hakim itu.

Perlawanan ini diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri menurut cara biasa, akan

tetapi hal ini tidak menghalangi eksekusi putusan, kecuali kalau hakim memerintahkan

untuk menundanya sambil menunggu keputusan tentang perlawanan itu (pasal 207). Pasal 198

(1) Jika disita barang yang tetap, maka surat pemberitaan acara penyitaan itu diumumkan,

walaupun barang tetap itu sudah atau belum dibukukan menurut ordonansi tentang

membukukan hypotheek atas barang itu di Indonesia (Staatsblad 1834 No. 27) dengan

menyalin pemberitaan acara itu di dalam daftar yang tersebut pada pasal 50 dari aturan

tentang menjalankan undang-undang baharu (Staatsblad 1848 No. 10); dan jika tidak

dibukukan menurut ordonansi yang tersebut di atas ini, dengan menyalin pemberitaan

acara itu dalam daftar yang disediakan untuk maksud itu dengan menyebut jam, hari,

bulan dan tahun itu harus disebut oleh panitera pada surat asli yang diberikan

kepadanya.

(2) Lain dari itu orang yang disuruh menyita barang itu, memberi perintah kepada kepala

desa supaya hal penyitaan barang itu diumumkan di tempat itu menurut cara yang

dibiasakan, sehingga diketahui seluas-luasnya oleh ketua, yang tinggal di tempat

penjualan itu dilakukan atau di dekat tempat itu.

(2) Akan tetapi jika penjualan, yang dimaksud dalam ayat pertama, harus dilakukan untuk

menjalankan suatu keputusan berguna untuk membayar suatu jumlah, yang lebih dari

tiga ratus rupiah, biaya perkara tidak dihitung, atau jika menurut timbangan ketua ada

persangkaan, bahwa barang yang disita itu dikuatirkan tidak akan menghasilkan lebih

dari tiga ratus rupiah, maka penjualan itu sekali-kali tidak dapat dilakukan dengan

perantaraan kantor lelang.

(3) Penjualan dalam hal ini akan dilakukan oleh orang yang menjalankan penyitaan itu, atau

oleh orang lain yang cakap dan dapat dipercaya, seperti dimaksud pada ayat pertama.

Orang yang diperintahkan menjual itu memberi pertelaan dengan surat kepada ketua

tentang kesudahan penjualan itu.

(4) Yang terhukum berkuasa akan menunjukkan tertib barang, sitaan yang akan dijual itu.

(5) Setelah hasil penjualan barang itu sama dengan jumlah yang tersebut dalam keputusan

yang dilakukan ditambah dengan biaya untuk menjalankan keputusan itu, maka

penjualan itu dihentikan dan barang-barang yang selebihnya, pada saat itu juga

dikembalikan kepada yang terhukum.

(6) Penjualan barang-barang yang tidak tetap, dilakukan diumumkan pada waktunya

menurut kebiasaan setempat; penjualan tidak dapat dilakukan sebelum lewat hari

kedelapan setelah barang-barang itu disita.

(7) Jika bersama-sama dengan barang yang tidak tetap barang yang tetap disita dan dari

barang-barang yang tidak tetap itu tidak ada yang Akan lekas jadi busuk, maka penjualan

itu dengan memperhatikan tertib yang diberikan dilakukan serentak pada satu waktu;

akan tetapi hanya sesudah diumumkan dua kali yang berselang 15 hari;

(8) Jika penyitaan itu dilakukan semata-mata atas barang-barang.

Penjelasan:

Jika disita barang tetap (tak terangkat), maka berita acara penyitaan itu dimaklumkan kepada

umum. Adapun jalannya dua macam yaitu:

kalau barang yang disita itu telah didaftar menurut Staatsblad 1834 No. 27, dengan menyalin isi

berita acara itu kedalam daftar yang dimaksud dalam pasal 50 Staatsblad 1848 No. 10.

Kalau barang yang disita itu belum atau tidak didaftar menurut Staatsblad 1834 No. 27, dengan

menyalin berita-acara itu ke dalam daftar yang untuk maksud itu tersedia di Kantor

Panitera. Dalam daftar a dan b tersebut di atas itu harus disebutkan jam, hari, bulan dan tahun

pengumuman pensitaan itu.

Semenjak jam, hari, bulan dan tahun tersebut di atas maka pihak yang disita barangnya itu

tidak dapat lagi memindahkan kepada orang lain, memberatkan atau menyewakan barangbarang tetap yang disita itu. Kalau ia berbuat demikian, diancam pidana dalam pasal 281

K.U.H.P. (Pasal 199).

Pasal 199

(1) Terhitung mulai dari hari pemberitaan acara penyitaan barang itu diumumkan fihak yang

disita barangnya, itu tidak dapat lagi memindahkan kepada orang lain, memberatkan atau

mempersewakan barang-barang tetap yang disita itu.

(2) Perjanjian yang bertentangan dengan larangan ini, tidak dapat dipakai akan melawan

yang menjalankan penyitaan itu.

Penjelasan:

Menurut pasal mi maka terhitung mulai jam, hari, bulan dan tahun berita-acara penyitaan itu

dimaklumkan pada umum, pihak yang disita barangnya tidak dapat lagi memindahkan,

memberatkan atau menyewakan barang yang disita itu kepada orang lain.

Apabila ia toh berbuat demikian juga, diancam pidana dalam pasal 28 K.U.H.P.

Pasal 200

(1) Penjualan barang yang disita dilakukan dengan perantaraan kantor lelang, atau menurut

keadaan, menurut pertimbangan ketua, oleh orang yang melakukan penyitaan itu atau

orang lain yang cakap dan dapat dipercaya, yang ditunjuk barang yang tetap maka syaratsyarat yang tersebut pada ayat di atas ini, dipakai bagi penjualan itu.

(9) Penjualan barang tetap yang kenyataan berharga lebih dari seribu rupiah, harus

diumumkan suatu kali, selambat-lambatnya empat belas hari sebelum hari penjualan, di

dalam suatu surat kabar harian yang terbit di tempat barang itu akan dijual, dan jika tidak

ada surat kabar harian seperti itu maka diumumkan dalam surat kabar harian disatu

tempat yang terdekat.

(10) Hak orang yang barangnya dijual, atas barang tetap yang dijual itu berpindah kepada

pembeli, karena pemberian hak padanya setelah ia memenuhi syarat-syarat pembelian.

Setelah syarat-syarat itu dipenuhi maka kepadanya diberikan surat keterangan oleh

kantor lelang, atau oleh orang yang diserahi penjualan yang bersangkutan.

(11) Jika orang yang barangnya dijual itu, enggan meninggalkan barang yang tetap itu, maka

ketua pengadilan negeri membuat satu surat perintah kepada orang yang berkuasa

menjalankan surat jurusita, supaya dengan bantuan panitera pengadilan negeri, jika perlu

dengan pertolongan polisi, barang yang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh

orang, yang dijual barangnya itu, serta oleh kaum keluarganya.

Penjelasan.

1. Penjualan barang-barang yang disita dilakukan:

a. dengan perantaraan kantor lelang.

b. oleh pejabat yang menyita barang itu, atau

c. orang lain yang cakap dan dapat dipercaya, satu sama lain menurut pertimbangan

ketua. 2. Apabila penjualan itu untuk menjalankan keputusan hakim untuk membayar jumlah

yang tidak lebih dari tiga ratus rupiah di luar ongkos perkara, atau apabila diduga bahwa

penjualan itu tidak akan menghasilkan lebih dari tiga ratus rupiah, maka penjualan itu

tidak boleh dilakukan dengan perantaraan kantor lelang.

3. Orang yang barang-barangnya disita berwenang untuk menunjukkan tertib barang sitaan

yang akan dijual. Setelah jumlah uang yang dibutuhkan tercapai, maka penjualan

dihentikan dan barang-barang yang ketinggalan dikembalikan kepada pemiliknya.

4. Penjualan barang-barang yang tidak tetap dilakukan setelah penjualan diumumkan

menurut lazimnya di tempat, dan tidak boleh dilakukan sebelum hari kedelapan sesudah

penyitaan barang itu dilakukan. Apabila barang-barang yang tidak tetap disita bersamasama barang yang tetap dan barang yang tidak tetap itu tidak lekas rusak, maka

penjualannya dilakukan serempak pada suatu waktu, akan tetapi sesudah penjualan itu

diumumkan dua kali dengan antara 15 hari.

Jikalau penjualan itu mengenai barang tetap melulu, yang harganya kira-kira lebih dari

seribu rupiah, maka penjualannya harus diumumkan dalam suatu surat kabar yang terbit

pada tempat penjualan, pengumuman mana dilakukan satu kali, selama-lamanya empat

belas hari sebelum hari penjualan.

5. Bagaimana kalau keputusan hakim itu mengenai pengosongan barang tetap oleh pihak

yang kalah, atau sesudah barang tetap itu dijual lelang, orang yang dijual barangnya tidak

mau meninggalkan barang itu? Dalam hal ini ketua pengadilan negeri membuat surat

perintah kepada pejabat yang berkuasa menjalankan penyitaan untuk dengan bantuan

panitera serta jika perlu dengan pertolongan polisi, agar barang tetap itu dikosongkan.

Pasal 201

Jika pada suatu waktu dimajukan lagi permintaan atau lebih untuk menjalankan keputusan

yang dijatuhkan kepada seorang yang berhutang itu juga, maka dengan satu pemberitaan

disitalah sekian banyak barang-barang, sehingga kiranya cukup untuk jumlah uang dari

keputusan itu bersama-sama dan ditambah pula dengan biaya menjalankan keputusan itu.

Pasal 202

Jika dimasukkan lagi permintaan untuk menjalankan keputusan-keputusan yang dijatuhkan

terhadap yang berhutang itu juga, lain dari pada yang dimaksud pada pasal 195 ayat pertama,

oleh hakim dapat pula dikirimkan kepada ketua yang menyuruh penyitaan itu, supaya

dijalankannya. Ketentuan-ketentuan dari pasal 202 berlaku bagi permintaan itu.

Pasal 203

Dalam tempo yang tersebut dalam pasal di mulai itu, maka keputusan hukuman yang

dijatuhkan kepada seorang yang berhutang itu juga, lain dari pada yang tersebut dalam pasal

195 ayat pertama, oleh hakim boleh juga dikirimkan kepada ketua yang telah memberi perintah

pensitaan barang itu, supaya dijalankannya. Aturan yang ditentukan dalam pasal 202 juga

berlaku bagi permintaan itu.

Pasal 204

Dalam hal yang tersebut pada ketiga pasal ini, ketika menentukan cara membagi hasil

penjualan itu di antara penagih hutang, sesudah didengarnya atau dipanggilnya dengan patut orang yang berhutang dan penagih hutang yang meminta supaya dijalankan

keputusan itu.

Penagih hutang, yang datang menurut pengadilan yang tersebut pada ayat di atas ini, dapat

meminta bandingan pada pengadilan tinggi tentang pembagian itu bagi permintaan

bandingan itu berlaku pasal 188 sampai pasal 194.

Penjelasan:

Pasal-pasal 201, 202, 203 dan 204 itu memberikan peraturan tentang hal apabila suatu waktu

harus diurus bersama-sama dua permintaan atau lebih untuk menjalankan putusan hakim yang

dijatuhkan pada seorang berutang itu juga, jadi harus mengeksikusi beberapa keputusan hakim

dengan serentak terhadap seorang berutang.

Dalam hal yang demikian maka harus disitalah dengan satu berita acara sekian banyak barangbarang orang yang berutang itu, sehingga kiranya cukup untuk membayar jumlah uang dari

semua keputusan itu beserta biaya eksekusinya.

Jika hasil penjualan barang-barang itu mencukupi untuk membayar semua-hutang maka semua

tagihan dipenuhi dari padanya, dan sisanya dibayarkan kembali kepada pemilik barang-barang.

Apabila basil penjualan tidak mencukupi, maka ketua pengadilan menentukan cara membagi

pendapatan penjualan itu di antara penagih hutang, yaitu sesudah didengarnya atau

dipanggilnya dengan patut orang yang berutang dan para penagih hutang yang minta supaya

dijalankan keputusan itu.

Para penagih utang yang telah datang memenuhi panggilan ketua, menurut ayat (2) pasal 204,

bila tidak menerima atas putusan ketua itu, boleh minta banding kepada "Raad van Justitie",

sekarang Pengadilan Tinggi.

Pasal "188 sampai dengan 194" dihapuskan oleh Undang-undang Darurat No. 1/1951 dan

yang berlaku untuk hal itu sekarang pasal 7 sampai dengan pasal 15 Undang-undang No.

20/1947.

Pasal 205

Demi keputusan ketua pengadilan negeri tentang pembahagian itu telah dipastikan, maka ketua

mengirimkan suatu daftar pembagian kepada juru lelang atau kepada orang yang diperintahkan

melelangkan itu, untuk dipakainya menjadi dasar pada pembagian uang penghasilan lelang itu.

Penjelasan:

Apabila keputusan ketua pengadilan negeri tentang pembagian sebagaimana yang dimaksud

dalam pasal 204 itu sudah pasti, maka ketua mengirimkan suatu daftar pembagian kepada

pejabat yang telah menjalankan penjualan lelang, agar supaya dipakai sebagai dasar pada

pembagian uang hasil pelelangan itu.

Pasal 206 s/d pasal 208

(Ditiadakan oleh undang-undang darurat No. 1/1951).

Pasal 209

(1) Jika tidak ada atau tidak cukup barang untuk memastikan penjalanan keputusan, maka

ketua pengadilan negeri atas permintaan fihak yang menang dengan lisan atau dengan

surat, memberi perintah dengan surat pada orang yang berkuasa untuk menjalankan

surat sita, supaya orang yang berhutang itu disenderakan (digijzel). (2) Lamanya orang berutang dapat disanderakan, menurut pasal berikut, harus disebut

dalam surat perintah itu.

Penjelasan:

Selain daripada cara-cara eksekusi keputusan hakim yang telah kita kenal dalam pasal 197 yaitu

dengan jalan menyita dan menjual lelang barang-barang milik pihak yang kalah, apabila ia tidak

mau memenuhi keputusan hakim, ada lagi cara yang lain dengan jalan menyanderakan

(gijzeling), yaitu menyuruh tahan pihak yang kalah di dalam rumah lembaga pemasyarakatan

dengan maksud untuk memaksanya supaya memenuhi keputusan hakim.

Alat eksekusi penyanderaan itu hanya boleh dipergunakan, jika barang-barang untuk

memenuhi isi keputusan itu tidak ada atau tidak cukup. Ini adalah alat eksekusi yang penting

sifatnya, karena menyangkut kebebasan manusia.

Ketua pengadilan negeri mengeluarkan surat perintah untuk menyandera itu atas permintaan,

dengan lisan atau tertulis, dari pihak yang menang. Dalam perintah itu disebutkan berapa lama

pihak yang kalah itu akan ditahan (lihat pasal 210). Perintah itu dijalankan pihak yang berkuasa,

yaitu juru-sita. Biaya penahanan itu, terutama biaya pemeliharaan orang yang disandera, untuk

sementara ditanggung oleh pihak yang mengajukan permintaan untuk menyandera. Ongkosongkos itu di kemudian hari, kalau orang yang ditahan itu memenuhi sanderanya, akan disuruh

menanggung oleh yang disanderakan (lihat pasal 216).

Pasal 210

Penyanderaan itu diperintahkan untuk enam bulan lamanya, karena hukuman membayar

sampai seratus rupiah; untuk setahun lamanya, karena hukuman membayar lebih dari

seratus sampai tiga ratus rupiah;

untuk dua tahun lamanya, karena hukuman membayar lebih dari tiga ratus sampai lima

ratus rupiah; untuk tiga tahun lamanya, karena hukuman membayar lebih dari lima ratus

rupiah.

Biaya perkara yang turut ditanggungnya tidak termasuk pada waktu menghitung yang tersebut

di atas ini.

Pasal 211

Penyanderaan sekali-kali tak dapat diizinkan pada anak dan turunan keluarganya sedarah dan

keluarganya semenda dalam keturunan yang ke atas.

Pasal 212

Orang yang berutang itu tidak dapat disanderakan:

1o. di dalam rumah, yang dipergunakan untuk melakukan agama, selama ada kebaktian;

2o. pada tempat-tempat, di mana kuasa umum bersidang, selama ada.

Penjelasan:

1. Pasal 210 mengatur tentang lamanya penyanderaan.

2. Pasal 211 mengatur tentang larangan permintaan menyandera keluarga tertentu.

Yang dimaksud dengan keluarga sedarah dan keluarga semenda (perkawinan) turunan ke

atas yaitu: seperti bapak, ibu, kakek, nenek dan seterusnya, bapak mertua, ibu mertua,

kakek dan nenek mertua dan seterusnya.

3. Pasal 212 menentukan tempat-tempat yang dilarang untuk dipakai sebagai sandera. Pasal 213

(1) Jika orang yang berutang itu memajukan perlawanan terhadap penjalanan penyanderaan

itu, berdasarkan pernyataan bahwa perbuatan itu melawan hukum dan atas itu ia

meminta keputusan dengan segera, maka ia harus memasukkan surat kepada ketua

pengadilan negeri, yang memerintahkan penyanderaan itu atau, jika orang itu

menghendaki, supaya ia dibawa menghadap pegawai yang di dalam kedua hal itu akan

memutuskan dengan segera, patut atau tidaknya orang yang berutang itu disanderakan

dahulu, menunggu keputusan pengadilan negeri.

(2) Ayat yang keempat, keenam dan ketujuh dari pasal 218 berlaku dalam hal itu.

(3) Jika orang yang berutang memasukkan perlawanan dengan surat, maka ia, dapatlah

dijaga, supaya jangan melarikan diri, sementara menunggu keputusan ketua.

Penjelasan:

Apabila orang yang akan disanderakan itu ingin mengajukan perlawanan terhadap penjalanan

sandera itu, karena dianggapnya tidak syah dan meminta putusan dengan segera, maka ia harus

mengajukan surat kepada ketua pengadilan negeri yang memerintahkan penyanderaan itu, atau

.jika ia menghendaki, dapat juga dibawa menghadap ketua itu .

Ketua kemudian akan memutuskan dengan segera, patut atau tidaknya orang itu disanderakan

lebih dahulu atau ditangguhkan dan menunggu keputusan pengadilan negeri. Dalam hal ini

berlaku juga ketentuan-ketentuan dalam ayat (4), (6) dan (7) dari pasal 218.

Ayat (4) mengatakan, bahwa perkara itu dikemukakan oleh ketua dalam persidangan

pengadilan negeri yang pertama akan datang dan diputuskan oleh pengadilan negeri itu dengan

sepatutnya menurut pendapatnya, jika perlu, sesudah memeriksa orang gang akan

disanderakan itu dan penagih utang yang mendapat izin akan menyuruh menyanderakan itu.

Ayat (6) mengatakan, bahwa dalam segala hal itu boleh dimintakan banding terhadap putusan

pengadilan negeri itu ke pengadilan tinggi, akan tetapi dalam hal ini putusan pengadilan negeri

itu boleh juga dijalankan lebih dahulu.

Ayat (7) mengatakan bahwa peraturan tersebut dalam pasal 188 sampai dengan pasal 194

berlaku dalam hal itu, akan tetapi menurut UU Darurat No. 1/1951 pasal-pasal 188 s/d 194

itu dlhapuskan. Pasal-pasal itu mengatur tentang hal banding.

Apabila orang yang akan disanderakan itu mengajukan perlawanan dengan surat, maka

sementara ia menunggu keputusan pengadilan negeri, ia boleh dijaga jangan sampai melarikan

diri.

Dalam hal-hal tertentu orang yang disanderakan itu harus dikeluarkan dari rumah lembaga

pemasyarakatan (pasal 217), yaitu:

a. apabila diizinkan oleh pihak yang menang, yang menyuruh memasukkannya ke dalam

tahanan,

b. apabila memenuhi keputusan membayar uang yang ditagih, biaya-biaya perkara, biaya

menyandera dan pula biaya-biaya yang telah dikeluarkan lebih dahulu untuk

pemeliharaan orang yang disandera.

Pasal 214

Orang yang berutang yang tidak memajukan perlawanan atau yang ditolak perlawanannya,

dengan segera harus dibawa ke dalam penjara tempat penyanderaan.

Pasal 215 Penjaga penjara harus memberitahukan hal penyanderaan di dalam waktu dua puluh empat

jam pada panitera pengadilan negeri.

Penjelasan:

Pasal-pasal 214 dan 215 ini mengatur tentang memasukkan orang yang disandera ke dalam

rumah lembaga pemasyarakatan (penjara).

Pasal 214 menentukan, bahwa orang yang kalah yang tidak memasukkan bantahan atau yang

bantahannya ditolak oleh pengadilan negeri, dengan segera harus dibawa ke dalam rumah

lembaga pemasyarakatan (penjara) tempat penyanderaan.

Pasal 215 mengharuskan penjaga penjara (pemimpin lembaga pemasyarakatan) tersebut untuk

memberitahukan hal penyanderaan itu dalam waktu dua puluh empat jam pada panitera

pengadilan negeri yang bersangkutan.

Pasal 216

Segala biaya pemeliharaan orang yang disanderakan itu dipertanggungkan pada fihak yang

dapat izin akan menyanderakan itu, dan akan dibayarnya lebih dahulu kepada penjaga

penjara; tiap-tiap kali untuk tiga puluh hari lamanya, menurut aturan yang telah ada

untuk hal itu, atau yang akan diadakan oleh Menteri Kehakiman.

Jika penagih hutang itu tidak memenuhi kewajiban ini sebelum hari yang ketiga puluh satu,

maka atas permintaan barang yang berhutang itu atau atas permintaan penjaga penjara,

ketua pengadilan negeri dengan segera memberi perintah supaya orang yang berhutang

itu dilepaskan dari penyanderaan.

Hal melakukan perintah melepaskan itu, dalam hal ini dan dalam tiap-tiap hal yang lain, harus

diberitahukan oleh penjaga penjara dalam waktu dua puluh empat jam kepada panitera

pengadilan negeri.

Penjelasan:

Pasal ini menentukan, bahwa biaya pemeliharaan orang yang disandera itu harus dibayar di

muka, tiap-tiap kali buat tiga puluh hari lamanya, oleh pihak yang menyanderakan

kepada pemimpin lembaga pemasyarakatan (penjaga penjara), menurut aturan yang telah

ada untuk itu atau yang akan diadakan oleh Menteri Kehakiman.

Apabila pihak yang menyanderakan itu tidak memenuhi kewajibannya di atas sebelum hari

yang ketiga puluh satu, maka atas permintaan orang yang disandera atau penjaga penjara,

ketua pengadilan negeri yang bersangkutan dengan segera memberi perintah supaya

orang yang disandera itu dibebaskan, dan hal pelaksanaan perintah ini tiap-tiap kali oleh

penjaga penjara, dalam waktu dua puluh empat jam harus diberitahukan kepada panitera

pengadilan negeri. Orang berhutang yang penyanderaannya dibatalkan atau dilepaskan

semacam itu, tidak boleh disanderakan lagi karena utang itu juga, jikalau belum lalu

sekurang-kurangnya delapan hari sesudah dilepaskan, sedangkan orang yang

menyanderakan tidak boleh minta penyanderaan lagi, apabila ia belum membayar uang

muka biaya pemeliharaan tersandera untuk tiga bulan lamanya (lihat pasal 219).

Selain apa yang tersebut di atas itu, maka orang yang disanderakan itu mesti dibebaskan dalam

hal-hal yang tersebut dalam pasal 217.

Pasal 217

Orang yang berhutang itu, yang disanderakan menurut hukum, mendapat kelepasan yang tak

dapat diubah: karena izin dari yang menagih uang, yang menyuruh menyanderakan, izin mana selain dari

pada dengan surat yang sah, juga dapat diberikan dengan lisan pada panitera pengadilan

negeri yang wajib mencatat keterangan itu di dalam daftar, yang disebut pada pasal 222;

karena bayaran atau disimpankan dengan syah pada kantor panitera pengadilan negeri uang

yang harus dibayar kepada orang yang menjalankan paksaan badan itu serta dengan

bunganya, biaya perkara yang telah diselesaikan, belanja penyanderaan dan belanja

pemeliharaan yang telah dibayar lebih dahulu.

Penjelasan:

Lihat penjelasan pada pasal-pasal 215 dan 216 di atas.

Pasal 218

(1) Orang berhutang yang tidak memajukan perlawanan menurut cara yang diatur dalam

pasal 213, tidak hilang haknya disebabkan itu untuk meminta kepada pengadilan negeri

supaya dibatalkan pengurungannya, jika ia memberi keterangan bahwa penyanderaan

atas dirinya itu berlawanan dengan aturan-aturan dari pasal 211 atau 212 atau karena

sebab lain penyanderaan itu berlawanan dengan hukum.

(2) la harus memasukkan surat permintaan kepada ketua pengadilan negeri dengan

perantaraan penjaga penjara, untuk mencapai maksud itu.

(3) Jika orang yang berhutang itu tidak pandai menulis, maka kepadanya diberi kesempatan,

untuk memajukan keberatannya dengan lisan kepada ketua, yang membuat catatan atau

menyuruh mencatat perihal itu.

(4) Perkara itu dikemukakan oleh ketua dalam persidangan pengadilan negeri yang pertama

yang akan datang, dan diputuskannya sebagaimana menurut pendapatnya dan menurut

patutnya, jika perlu, sesudah memeriksa orang-orang yang berhutang itu dan penagih

utang, yang mendapat izin menyuruh menyanderakan itu.

(5) Demikian pula dilakukan, jika orang yang berhutang itu menyangka bahwa ia dapat,

memberikan sebab yang syah akan melepaskan dirinya dari penyanderaan, kecuali sebab

yang tersebut pada pasal 216, yang diputuskan oleh ketua sendiri.

(6) Dalam segala hal ini maka keputusan pengadilan negeri dapat dibanding, tetapi dalam

pada itu keputusan itu dapat juga dijalankan lebih dahulu.

(7) Aturan pada pasal 188 sampai dengan pasal 194 berlaku dalam hal meminta banding itu.

Penjelasan:

Menurut ketentuan pasal 213 maka orang yang akan disanderakan itu sebelumnya berhak

untuk memajukan perlawanan dengan alasan-alasan yang disebutkan dalam pasal itu.

Sesudah masuk sandera, walaupun orang yang disandera itu dahulu tidak memajukan

perlawanan, ia masih tetap berhak kapan saja untuk mengajukan perlawanan itu. Adapun caracara memajukan perlawanan itu dan penyelesaiannya oleh pengadilan negeri sama dengan caracara yang ditentukan dalam pasal 213, hanya bedanya sudah tentu bahwa sekarang segala

sesuatunya dilakukan dengan melewati penjaga penjara.

Pasal 219

(1) Orang yang berhutang yang penyanderaannya dibatalkan atau dilepaskan karena uang

muka belanja untuk pemeliharaannya tidak dibayar tidak dapat. disanderakan lagi karena

hutang itu juga, jika belum lewat sekurang-kurangnya delapan hari. sesudah ia

dilepaskan. (2) Jika kelepasannya itu diperintahkan karena uang muka belanja untuk pemeliharaannya

tiada dibayar, maka penagih hutang itu tidak dapat meminta supaya orang yang

berhutang disanderakan lagi jika ia tidak membayar uang muka belanja pemeliharaan

untuk tiga bulan lamanya.

(3) Di dalam segala hal waktu penyanderaan yang sudah dijalani itu selalu dikurangkan dari

pada waktu yang diizinkan untuk penyanderaan orang dalam beberapa hal yang telah

diizinkan.

Pasal 220

Orang yang lari dari penyanderaan, dapat sekali lagi terus disanderakan berdasarkan perintah

yang dahulu, dengan tidak mengurangkan kewajibannya akan mengganti segala kerugian dan

biaya yang ditimbulkannya.

Pasal 221

Walaupun telah dijalankan paksaan badan, maka segala barang-barang orang yang berhutang

itu masih tetap menanggung hutangnya yang menyebabkan ia disanderakan.

Penjelasan:

1. Pasal 219 menentukan, bahwa pihak yang berutang yang dikeluarkan dari penyanderaan

karena uang muka pemeliharaannya tidak dibayar, atas utang yang sama itu juga tidak

dapat disanderakan lagi sebelum lewat sekurang-kurangnya 8 hari sesudah la dilepaskan,

sedangkan pihak yang mengutangkan tidak dapat minta orang yang berutang itu

dimasukkan ke dalam sandera lagi, apabila ia tidak membayar uang muka belanja

pemeliharaan untuk tiga bulan lamanya. Waktu penyanderaan yang telah dijalani

senantiasa mengurangkan lamanya waktu yang diizinkan untuk penyanderaan orang itu.

2. Pasal 220 menentukan, bahwa orang yang melarikan diri dari penyanderaan sekali lagi

terus dapat disanderakan berdasarkan perintah yang sama, dan ia berkewajiban untuk

mengganti segala kerugian dan biaya yang ditimbulkan.

3. Pasal 221 memberi ketentuan, bahwa walaupun orang yang berhutang itu telah

melakukan sandera, maka segala barang-barangnya masih tetap menanggung utang yang

menyebabkan ia disanderakan.

Pasal 222

Panitera pada tiap-tiap pengadilan negeri harus memegang daftar berasing-asing tentang orang

yang disanderakan dalam daftar itu dicatat:

perintah akan menyanderakan, yang diberikan oleh ketua pengadilan negeri, dengan

menyebutkan tanggalnya, nama, pekerjaan dan tempat kediaman orang-orang atas nama

siapa penyanderaan itu diberikan dan lamanya orang itu dapat disanderakan;

tanggalnya orang yang berhutang itu dikurung;

tanggalnya orang itu dilepaskan dari penyanderaan;

Pasal 223

Ketua pengadilan negeri wajib menyuruh supaya daftar itu diperlihatkan kepadanya sekurangkurangnya sekali dalam sebulan dan ia mengawas-awasi dengan cermat, supaya tiap-tiap orang

yang disanderakan, yang waktunya sudah lewat, dengan segera dilepaskan. Pasal 224

Surat asli dari pada surat hipotek dan surat hutang yang diperkuat di hadapan notaris di

Indonesia dan yang kepalanya memakai perkataan "Atas nama Undang-undang" berkekuatan

sama dengan putusan hakim, jika surat yang demikian itu tidak ditepati dengan jalan damai,

maka perihal menjalankannya dilangsungkan dengan perintah dan pimpinan ketua pengadilan

negeri yang dalam daerah hukumnya orang yang berhutang itu diam atau tinggal atau memilih

tempat tinggalnya dengan cara yang dinyatakan pada pasal-pasal di atas dalam bagian ini, akan

tetapi dengan pengertian, bahwa paksaan badan itu hanya dapat dilakukan, jika sudah diizinkan

dengan keputusan hakim. Jika hal menjalankan keputusan itu harus dijalankan sama sekali atau

sebahagian di luar daerah hukum pengadilan negeri, yang ketuanya memerintahkan

menjalankan itu, maka peraturan-peraturan pada pasal 195 ayat kedua dan yang berikutnya

dituruti.

Penjelasan:

1. Pasal 224 ini menerangkan, bahwa surat-surat yang dianggap mempunyai kekuatan yang

pasti untuk dieksekusikan seperti surat keputusan hakim yaitu:

a. surat utang memakai hipotik.

b. surat utang yang dilakukan di hadapan notaris (akte notaris) yang kepalanya

memakai perkataan-perkataan dahulu "Atas nama Raja", kemudian berturut-turut

diubah menjadi "Atas nama Republik Indonesia", "Atas nama Undang-undang"

dan sekarang berdasarkan pasal 4 UU Pokok Kehakiman No. 14/1970 menjadi

"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

2. Apabila surat-surat yang tersebut di atas itu tidak ditepati dengan jalan damai, maka akan

dijalankan seperti keputusan hakim biasa, yaitu dilangsungkan dengan perintah dan

pimpinan ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya orang yang berhutang

itu diam atau tinggal atau memilih sebagai tempat tinggalnya, akan tetapi mengenai

paksaan badan (sanders = gijzeling) hanya dapat dilakukan apabila sudah diizinkan

dengan keputusan pengadilan negeri.

Bagian Keenam

TENTANG BEBERAPA HAL MENGADILI PERKARA YANG ISTIMEWA

Pasal 225

Jika seorang yang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan, tidak melakukannya di dalam

waktu yang ditentukan hakim, maka fihak yang menang dalam keputusan dapat

memohonkan kepada pengadilan negeri dengan perantaraan ketua, baik dengan surat,

maupun dengan lisan, supaya kepentingan yang akan didapatnya, jika putusan itu

dipenuhi, dinilai dengan uang tunai, jumlah mana harus diberitahukan dengan tentu jika

permintaan itu dilakukan dengan lisan, harus dicatat.

Karena mengemukakan perkara dalam persidangan pengadilan negeri yang menolak perkara

itu menurut pendapatnya dan menurut keadaannya, atau menilai permohonan yang telah

diperintahkan tetapi belum dijalankan, atau yang menilai di bawah permohonan yang

dikehendaki pemohon dan dalam hal ini yang berhutang dihukum membayarnya.

Penjelasan:

Kalau pasal-pasal 196 sampai dengan 200 mengatur tentang penjalanan keputusan hakim yang

berisi tentang penghukuman supaya membayar tagihan uang atau mengosongkan barang yang

tetap, maka pasal 225 ini memberikan peraturan tentang eksekusi keputusan hakim yang mengandung penghukuman kepada pihak yang kalah supaya melakukan suatu perbuatan.

Untuk melakukan perbuatan itu terhukum sesungguhnya tidak dapat dipaksa misalnya

membuat lukisan, atau memberikan perhitungan dan tanggung jawab, artinya terhukum harus

melakukan perbuatan yang hanya dapat dilakukan sendiri. Dalam hal yang demikian ini

bagaimanakah eksekusi itu dilakukan?

Apabila pihak yang kalah dalam waktu yang telah ditentukan tidak mau memenuhi melakukan

perbuatan yang diwajibkan kepadanya, maka pihak yang menang dapat mengajukan

permohonan kepada pengadilan negeri dengan perantaraan ketua, baik dengan surat maupun

dengan lisan, agar supaya kepentingan yang akan diperolehnya jika keputusan itu dipenuhi,

dihargai dengan uang yang jumlahnya harus ditetapkan. Hakim mengabulkan permohonan itu

menurut pendapatnya setelah memeriksa atau memanggil terhukum dengan sepatutnya,

ataupun ia sendiri tanpa sidang menghargai perbuatan itu sebesar jumlah tertentu dan

menghukum pihak yang kalah itu untuk membayar jumlah tersebut. Putusan pengganti dalam

pasal 225 di atas adalah dijatuhkan tanpa sidang terbuka, sebab pasal itu tidak mengharuskan

memanggil kedua belah pihak untuk datang pada sidang, hanya pihak yang kalah saja yang

harus dipanggil untuk menerima putusan pengganti, den tidak dikatakan bahwa ia harus di

keterangannya dalam sidang pengadilan.

Pasal 225 itu sebetulnya bukan saja mengenai keputusan hakim yang berisi untuk "berbuat

sesuatu" akan tetapi memberi kemungkinan juga suatu keputusan yang menghukum untuk

"tidak berbuat sesuatu".

Menurut Mr. Tresna dalam bukunya yang berjudul "komentar HIR" maka pasal 225 ini

sesungguhnya sudah tidak mencukupi lagi kebutuhan dalam praktek. Sejak lama di dalam

praktek orang telah menggunakan akal yang lebih memuaskan dan praktis, yaitu dengan apa

yang dinamakan "atreinte" atau "dwangsom", artinya uang paksaan atau uang jaminan. Dengan

jalan uang paksaan ini, maka di dalam keputusan yang menghukum orang yang kalah

perkaranya harus melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu perbuatan, sekalian

ditetapkan bahwa apabila keputusan itu tidak dilaksanakan, maka yang dikenakan hukuman itu

diharuskan membayar sejumlah uang, biasanya suatu jumlah yang tetap buat tiap hari ia

melalaikan keputusan itu. Uang paksaan itu tidak bisa disamakan dengan membayar ganti rugi,

sebab kewajiban untuk melakukan, suatu perbuatan atau tidak melakukan suatu perbuatan itu

pada pokoknya tetap ada. Uang paksaan itu hanya merupakan akal untuk memaksa orang yang

dikenakan itu buat melaksanakan keputusan hakim.

Pasal 226

Orang yang empunya barang yang tidak tetap, dapat meminta dengan surat atau dengan lisan

kepada ketua pengadilan negeri, yang di dalam daerah hukumnya tempat tinggal orang

yang memegang barang itu, supaya barang itu disita.

Barang yang hendak disita itu harus dinyatakan dengan saksama dalam permintaan itu.

Jika permintaan itu dikabulkan, maka penyitaan dijalankannya menurut surat perintah ketua.

Tentang orang yang harus menjalankan penyitaan itu dan tentang syarat-syaratnya yang

harus dituruti, maka pasal 197 berlaku juga.

Tentang penyitaan yang dijalankan itu diberitahukan dengan segera oleh panitera pada yang

memasukkan permintaan, sambil memberitahukan kepadanya, bahwa ia harus

menghadap persidangan pengadilan negeri yang pertama sesudah itu untuk memajukan

dan menguatkan gugatannya.

Atas perintah ketua orang yang memegang barang yang disita itu harus dipanggil untuk

menghadap persidangan itu juga. Pada hari yang ditentukan itu, maka perkara diperiksa dan diputuskan seperti biasa.

Jika gugatan itu diterima, maka penyitaan itu disyahkan dan diperintahkan, supaya barang yang

disita itu diserahkan kepada penggugat, sedang jika gugatan itu ditolak, harus

diperintahkan supaya dicabut penyitaan itu.

Penjelasan:

Pasal ini mengatur tentang. penyitaan barang yang biasa disebut penyitaan "revindicatoir",

yaitu bahwa seorang pemilik sesuatu barang yang tidak tetap (dapat diangkat) dapat

mengajukan permohonan dengan lisan atau dengan surat kepada hakim agar supaya barang itu,

yang berada di tangan orang lain, disita.

Tuntutan pemohon seperti misalnya: untuk menghukum orang yang barangnya disita itu guna

mengembalikan dan menyerahkan barang yang disita itu kepada pemohon, umpamanya oleh

karena ia menguasai barang itu dengan tidak syah atau tidak berhak dan di samping itu untuk

menyatakan bahwa penyitaan itu syah.

Bersamaan dengan penyitaan itu kepada pemohon diberitahukan untuk menghadap di

persidangan pada hari yang telah ditetapkan oleh hakim untuk memajukan tuntutannya di

persidangan.

Pihak yang lain pun dipanggil untuk menghadap di persidangan itu. Perkara itu lalu diperiksa

dan diputus secara biasa oleh hakim. Jika gugatan itu diterima, maka penyitaan itu disyahkan

dan diperintahkan supaya barang yang disita itu diserahkan kepada penggugat, sedangkan jika

gugatan itu ditolak harus diperintahkan supaya penyitaan itu dicabut.

Tentang orang yang harus menjalankan penyitaan dalam hal ini dan tentang syarat-syarat yang

harus dipenuhi dipakailah peraturan yang tersebut dalam pasal 197.

Pasal 227

(1) Jika ada persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang, selagi belum

dijatuhkan keputusan atasnya atau selagi putusan yang mengalahkannya belum dapat

dijalankan, mencari akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak

tetap maupun yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari penagih

hutang, maka atas surat permintaan orang yang berkepentingan ketua pengadilan negeri

dapat memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang

memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta harus diberitahukan akan menghadap

persidangan, pengadilan negeri yang pertama sesudah itu untuk memajukan dan

menguatkan gugatannya.

(2) Orang yang berhutang harus dipanggil atas perintah ketua akan menghadap persidangan

itu.

(3) Tentang orang yang harus menjalankan penyitaan itu dan tentang aturan yang harus

dituruti, serta akibat-akibat yang berhubung dengan itu maka pasal 197, 198, dan 199

berlaku juga.

(4) Pada hari yang ditentukan itu, maka perkara diperiksa seperti biasa. Jika gugatan itu

ditolak, maka diperintahkan, supaya dicabut penyitaan itu.

(5) Pencabutan penyitaan itu di dalam segala hal dapat diminta, jika ditunjuk jaminan atau

tanggungan lain yang cukup.

Pasal 228 (1) Tentang putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri menurut ketiga pasal-pasal di

muka ini, berlaku aturan umum untuk meminta bandingan.

(2) Keputusan yang disebut pada segala pasal itu, dijalankan secara biasa.

Penjelasan:

Pasal 227 itu menentukan suatu tindakan hukum, bahwa apabila ada dugaan yang beralasan

kiranya seorang yang berutang, terhadap siapa belum dijatuhkan keputusan hakim atau ada

suatu keputusan hakim yang belum dapat dijalankan, berusaha untuk menggelapkan atau

mengangkut barang-barangnya yang tidak dapat diangkat atau barang-barangnya yang dapat

diangkat supaya menjauhkan barang-barang itu dari pihak yang mengutangkan, maka hakim

atas permohonan dengan surat untuk itu dari yang berkepentingan dapat memberi perintah

untuk menyita barang-barang demikian itu untuk menjaga hak orang yang memajukan

permohonan.

Pemohon harus memberi keterangan tentang haknya untuk menuntut dan untuk apa penyitaan

itu dipergunakan. Dalam surat permohonan itu pun ia harus menerangkan perbuatanperbuatan atau kejadian-kejadian apa yang dapat menyatakan bahwa orang yang berutang itu

berusaha untuk menjauhkan hartanya dari pihak yang memberi utang.

Penyitaan demikian itu dinamakan penyitaan "conservatoir" dan hakim bebas untuk menerima

permohonan penyitaan "conservatoir" itu atau tidak.

Waktu melakukan penyitaan itu kepada pemohon diberitahukan supaya menghadap di

persidangan pada hari yang telah ditetapkan oleh hakim untuk mengajukan tuntutannya di

muka persidangan.

Dalam tuntutan ini misalnya ia meminta supaya orang yang disita barang-barangnya itu

dihukum membayar suatu jumlah uang yang tertentu karena pinjaman uang.

Di samping itu dituntutnya supaya penyitaan "conservatoir" itu disyahkan. Orang yang

menghutangkan juga dipanggil menghadap di persidangan dan perkara lalu diperiksa dan

diputus secara sang biasa.

Apabila tuntutan itu dikabulkan, maka penyitaan "conservatoir" itu disyahkan, dan apabila

ditolak maka hakim memerintahkan supaya penyitaan itu dicabut.

Apabila penyitaan "conservatoir" itu disyahkan, lalu menjelma menjadi penyitaan karena

eksekusi biasa yang juga disebut penyitaan "executorial".

Tentang orang yang harus melakukan penyitaan "conservatoir", syarat-syarat yang harus

dipenuhi dan akibat yang berhubungan dengan hal itu berlakulah peraturan yang tersebut

dalam pasal-pasal 197, 198 dan 199.

Menurut pasal 228 maka tentang keputusan hakim yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri

menurut pasal 227 itu, berlakulah peraturan umum tentang banding.

Perlu dicatat di sini, bahwa tiap-tiap perbuatan dari pihak orang yang disita barang-barangnya

itu, yang bertentangan dengan atau melanggar tindakan penyitaan ini adalah batal menurut

hukum dan dapat dikenakan pula ancaman pidana yang tersebut dalam pasal-pasal 231 dan

232 KUHP.

Perbedaan antara penyitaan "revindicatoir" dalam pasal 226 dan penyitaan "conservatoir"

dalam pasal 227 ialah, bahwa penyitaan "conservatoir" dapat dikenakan pula atas barangbarang yang tidak bergerak.

Menurut ayat (5) dari pasal 227 ini maka penyitaan "conservatoir" ini senantiasa dapat dicabut,

jika orang yang dikenakan penyitaan itu memberikan tanggungan, baik yang berupa uang

maupun jaminan lainnya. Pasal 229

Jika seorang yang sudah akil balik, tidak bisa memelihara dirinya dan mengurus barangnya,

karena kurang akal, maka tiap-tiap sanak saudaranya, dan jika ini tidak ada jaksa pada

pengadilan negeri berkuasa akan meminta supaya diangkat seorang wali (kurator) untuk

memelihara orang itu dan mengurus barangnya.

Penjelasan:

Pasal ini mengatur tentang tindakan mengurangi kebebasan seseorang untuk pengurusan harta

bendanya, sedangkan apa yang diatur dalam pasal 234 dan 234 a adalah tindakan mengurangi

kemerdekaan seseorang untuk bergerak.

Orang dikatakan "sudah akil balig" yaitu sudah "cukup umur" atau sudah "dewasa". yang

dimaksud "belum dewasa" (bagi orang Indonesia menurut Lembaran Negara No. 54/1931,

bagi orang Eropa dan yang disamakan dengan orang itu, menurut pasal 330 BW), ialah mereka

yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin; jika orang kawin dan bercerai sebelum

berumur 21 tahun, ia tetap dipandang dewasa.

Yang dimaksud "wali" yaitu "kurator" atau "pengampu".

Menurut pasal 229 ini maka bagi orang yang sudah dewasa, akan tetapi karena kurang akalnya

tidak mampu mengurus sendiri harta kekayaannya, salah satu saudaranya atau jaksa pengadilan

negeri berkuasa akan minta ke pengadilan negeri untuk mengangkat seorang wali untuk

memelihara harta bendanya.

Permintaan itu disampaikan kepada ketua pengadilan negeri yang kemudian menyuruh

memanggil pihak yang minta, saksi yang ditunjuk, dan orang yang akan diberi wali untuk

menghadap di persidangan. Perkara lalu diperiksa secara biasa dan jika permintaan itu

dikabulkan, maka pengadilan negeri terus mengangkat seorang wali yang dapat diharap akan

memelihara orang yang diberi wali dan harta bendanya dengan sebaik-baiknya.

Pada umumnya dapat dikira-kirakan yang akan diangkat menjadi wali itu dicari dahulu dari

kalangan sanak keluarga orang yang akan diberi wali, termasuk juga suami atau isterinya. Jika

tidak ada yang cakap dan sanggup dari kalangan itu, maka hakim akan menunjuk orang lain

dengan persetujuan sanak saudara orang yang diberi wali.

Apabila perwalian itu berakhir karena dicabut atau sebab-sebab lain, maka wali wajib memberi

perhitungan dan tanggung jawab pada yang berhak tentang urusan itu (lihat pasal-pasal 230,

231, 232 dan 233 berikut ini).

Pasal 230

Permintaan yang demikian itu dimajukan pada ketua pengadilan negeri, yang akan menyuruh

memanggil orang yang memajukan permintaan itu dan saksi yang ditunjukkannya, lagi pula

orang yang akan diberi wali supaya mereka datang menghadap pengadilan negeri pada hari

persidangan yang ditentukan.

Pasal 231

(1) Pada hari yang ditentukan untuk itu segala orang yang dipanggil itu diperiksa, sedang

pemeriksaan saksi dilakukan sesudah mereka disumpah.

(2) Jika permintaan itu dikabulkan, maka pengadilan negeri terus mengangkat juga seorang

wali yang dapat diharap akan memelihara orang yang diberi berwali dan barangnya

dengan sebaik-baiknya. Pasal 232

(1) Perwalian (kuratele) itu dapat dicabut oleh ketua pengadilan negeri, jika tidak ada lagi

alasan-alasan yang menyebabkan perwalian itu diberikan.

(2) Permintaan untuk itu, pemeriksaan dalam hal itu dan keputusan tentang itu juga

diperbuat menurut acara yang tersebut di muka ini.

Pasal 233

Jika perwalian itu berakhir, karena dicabut atau karena sebab-sebab lain, maka wali itu wajib

memberi perhitungan dan tanggung jawab pada yang berhak tentang urusannya itu.

Pasal 234

(1) Pengadilan Negeri berkuasa menahan seseorang atas permintaan sanak saudaranya atau

juga atas permintaan jaksa pengadilan negeri, untuk memelihara ketertiban umum dan

menghindarkan kecelakaan, jika orang itu biasa berkelakuan jahat dan tidak cakap

mengurus diri sendiri atau berbahaya bagi keamanan orang lain, setelah orang itu

diperiksa dengan patut, di dalam lembaga (gesticht) yang disediakan untuk itu rumah

atau tempat lain yang layak selama orang itu tidak menunjukkan tanda-tanda sudah baik.

(2) Permintaan yang demikian tidak bergantung pada perwalian (kuratele), yang dapat

diminta pada waktu itu juga atau kemudian jika belum diperkenankan dan jika untuk itu

seterusnya ada cukup sebab-sebab menurut aturan di muka ini.

(3) Aturan yang ditentukan pada ayat pertama dari pasal ini berlaku juga bagi orang yang

berpenyakit yang mengerikan, orang minta-minta di hadapan umum atau mengembara

dengan tidak mempunyai pencaharian, atau dengan sesuatu jalan mempergunakan

nasibnya akan menyusahkan orang-orang lain dengan pengertian:

a. bahwa orang-orang yang dimaksud hanya dapat dimasukkan ke dalam lembaga

atau rumah-rumah sakit, yang dinyatakan baik untuk itu, sesudah mufakat dengan

kepala jawatan kesehatan, oleh kepala daerah, yang jika perlu juga sesudah mufakat

dengan kepala jawatan kesehatan dapat menghubungkan beberapa janji pada

keterangan baik itu.

b. bahwa orang-orang yang terhadapnya dikenakan keputusan hakim seperti tersebut

pada ayat pertama dari pasal ini, tidak dapat dimasukkan ke dalam lembaga atau

rumah sakit, yang hanya diuntukkan buat orang yang menderita suatu penyakit

menular yang tertentu, kalau belum diterangkan dengan surat bahwa mereka

menderita penyakit itu atau disangka benar menderitanya, oleh tabib yang sedapatdapatnya ahli dalam pemeriksaan penyakit itu dan yang ditunjuk oleh kepala

daerah sesudah mufakat dengan inspektur yang berhubungan atau wakil Inspektur

Jawatan Kesehatan.

c. bahwa pengadilan negeri melepaskan dari tempat itu, mereka yang ditutup

menurut aturan yang tersebut tadi, setelah penahanannya itu dipandang tidak perlu

lagi berhubung dengan syarat-syarat untuk itu, atas permintaan orang-orang yang

berkepentingan atau sanak saudaranya, atau atas permintaan jaksa pada pengadilan

negeri.

Penjelasan:

Kalau pasal 229 mengatur, tentang tindakan mengurangi kebebasan seseorang untuk mengurus

harta kekayaannya, maka pasal 234 ini mengatur tentang tindakan mengurangi kebebasan

seseorang juga akan tetapi untuk bergerak, yaitu terhadap orang yang: selalu berkelakuan tidak baik dan melewati batas, atau yang sekali-kali tidak boleh dibiarkan

sendirian, atau yang karena itu berbahaya terhadap orang lain seperti orang sakit gila dan

lain-lain.

yang berpenyakit mengerikan, orang minta-minta di hadapan umum atau mengembara dengan

tidak mempunyai pencaharian, atau mempergunakan nasibnya untuk menyusahkan

orang lain, seperti misalnya orang yang berpenyakit lepra, orang tuna karya dan tuna

wisma, dan lain sebagainya.

Mereka itu dapat ditahan di dalam rumah kurungan yang disediakan untuk itu, atau dalam

rumah sakit, atau di dalam tempat lain yang layak untuk itu, selama belum kelihatan betul

tanda-tanda, bahwa mereka itu sudah baik.

Penahanan atau harus diputuskan oleh pengadilan negeri atas permintaan sanak saudaranya

atau jaksa pengadilan negeri, serta maksudnya untuk memelihara ketertiban umum dan

menjaga jangan sampai timbul kecelakaan.

"Reglement op de rechterlijke organisasi" (Staatsblad 1847 No. 23) pasal 134 berisi ketentuan

yang sama dengan pasal 234 HIR ini, akan tetapi hanya terhadap orang-orang yang tersebut

pada sub a, dan lamanya penahanan maksimum satu tahun dan dapat diperpanjang satu kali

dengan satu tahun (pasal 135 RO), dalam HIR tidak ada ketentuan batas waktunya, hanya

dikatakan "sampai mereka sudah baik".

Sehubungan dengan pasal 234 HIR ini patut dikemukakan pula adanya Peraturan Perawatan

Penyakit Jiwa di Indonesia (staatsblad 1931 No. 168) yang menerangkan bahwa Pengadilan

Negeri dapat menempatkan pasien sakit jiwa di Rumah Sakit Jiwa selamanya maksimum satu

tahun dan dapat diperpanjang sampai pasien itu sembuh (pasal 26 Peraturan itu).

Pasal 234a.

(1) Pengadilan negeri berhak juga, atas tuntutan jaksa pada pengadilan negeri, dengan

keputusan bersahaja memerintahkan memasukkan orang-orang dewasa ke dalam suatu

tempat bekerja, yang diuntukkan buat itu jika menurut keterangan menteri kehakiman,

mereka itu masuk penganggur yang takut bekerja yang tidak cukup mempunyai nafkah

hidup, serta kalau mereka mengganggu ketertiban karena minta-minta, karena merisau

atau karena kelakuan yang berlawanan dengan keadaan masyarakat.

(2) Tuntutan yang dimaksud dalam ayat pertama itu tidak diputuskan, sebelum didengar

keterangan dari orang yang dituntut itu atau setidak-tidaknya dipanggil dengan patut.

Pengadilan negeri memutuskan berdasarkan rencana dan laporan-laporan yang

dikemukakan, tetapi berhak mendengar saksi-saksi yang dapat memberi keterangan yang

lebih lanjut tentang perbuatan-perbuatan yang dimajukan.

(3) Keputusan yang disebutkan dalam kedua ayat yang di atas ini berkekuatan selama satu

tahun, dan waktu itu tiap-tiap kali dapat diperpanjang dengan satu tahun, atas tuntutan

yang demikian itu dalam semuanya itu menteri kehakiman berhak untuk melepaskan

orang yang bersangkutan setiap waktu dari tempat itu, bilamana sebab memasukkannya

itu tidak ada lagi atau keadaan badannya atau pikirannya sudah sedemikian sehingga ia

tidak dikehendaki lebih lama tinggal di sana.

(4) Barang siapa yang dituntut supaya diperpanjang waktunya tinggal di sana, maka ia tetap

tinggal di lembaga itu selama pemeriksaan pengadilan negeri. Jika pengadilan menolak

memperpanjang waktu itu, dan jika jaksa pada pengadilan negeri menyatakan akan

membanding keputusan itu, orang yang bersangkutan tetap tinggal di tempat itu selama

pemeriksaan pengadilan tinggi. (5) Keputusan yang dijatuhkan pengadilan negeri menurut pasal ini dapat dijalankan pada

ketika itu.

(6) Surat-surat yang diperlukan untuk masukkan ke tempat bekerja dan keputusankeputusan hakim dibebaskan dari meterai.

(7) Penunjukan tempat bekerja yang dimaksud dalam ayat pertama itu dan segala sesuatu

yang perlu akan menjalankan pasal ini diatur dengan peraturan pemerintah.

Penjelasan:

1. Maksud tindakan yang tersebut dalam pasal 234 a ini adalah sama dengan apa yang

tersebut dalam pasal 234, yaitu dikenakan terhadap kebebasan perseorangan, untuk

kebaikan dan keselamatan mereka sendiri serta ketertiban umum.

Kalau pasal 234 mengatur apa yang harus dilakukan terhadap orang-orang yang

berkelakuan jelek, sehingga berbahaya untuk keselamatan orang lain dan orang-orang

yang berpenyakit mengerikan sehingga menyusahkan orang lain, maka pasal 234 a

mengatur apa yang harus dilakukan terhadap orang-orang penganggur yang tidak mau

bekerja dengan tidak mempunyai nafkah untuk penghidupannya, menjalankan mintaminta sehingga mengganggu ketertiban umum, membuat risau tetangganya dan

berkelakuan yang bertentangan dengan keadaan dalam masyarakat.

2. Yang dimaksud dengan "putusan bersahaja" di sini ialah bahwa keputusan itu bukan

hasil dari sidang pengadilan negeri yang bertindak "mengadili" sesuatu perkara, akan

tetapi bertindak sebagai pejabat negara melakukan tindakan "tata usaha" untuk mengatur

sesuatu keadaan dalam masyarakat.

3. Lain dari apa yang tersebut dalam pasal 234, maka dalam pasal 234 a pihak yang

berwenang mengajukan tuntutan itu bukan sanak saudaranya atau jaksa pengadilan

negeri, akan tetapi hanya jaksa pengadilan negeri saja.

4. Lamanya penahanan itu satu tahun dan tiap-tiap kali dengan tuntutan baru, dapat

diperpanjang dengan satu tahun, akan tetapi menteri kehakiman tiap-tiap waktu berhak

untuk membebaskan orang yang bersangkutan, apabila sebab memasukkannya itu tidak

ada lagi, atau keadaan badan dan pikirannya sedemikian rupa sehingga ia tidak perlu

lebih lama tinggal dalam tempat penahanan.

5. Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam ayat (7) pasal ini dimuat dalam Staatsblad

1936 No. 160.

Pasal 235

(1) Jika ada orang hilang, atau yang meninggalkan tempat diamnya dengan tidak mengurus

hal pemeliharaan harta bendanya, maka tiap-tiap pegawai polisi wajib dan tiap-tiap orang

yang berkepentingan berkuasa dengan segera memberitahukan hal itu kepada ketua

pengadilan negeri, yang wajib pergi dengan segera bersama-sama dengan orang yang

memberitahukan itu ke rumah orang yang hilang atau tak ada itu, dan menjaga dengan

memeteraikan atau dengan daya upaya lain yang patut, supaya harta benda yang

ditinggalkan dan tidak terpelihara itu jangan suatupun dapat diambil orang lain.

(2) Pemberitaan tentang perbuatan itu akan dikemukakan oleh ketua pada persidangan

pengadilan negeri yang pertama sesudah itu, dan jika nyata perlu pengadilan negeri

menyerahkan pemeliharaan barang itu untuk sementara waktu kepada penjaga harta

benda (boedelmeester) atau badan lain yang sebagai itu, yang telah dinyatakan atau akan

dinyatakan berkuasa melakukan pekerjaan itu. (3) Jika harta benda itu, yang menurut peraturan yang berlaku tentang itu, tidak dapat diurus

oleh badan-badan yang dimaksud tadi, maka haruslah diikhtiarkan pengurusannya

dengan cara lain yang dapat dipandang akan menguntungkan sebanyak-banyaknya

kepada yang berkepentingan.

(4) Dengan alasan, bahwa harta benda itu sedikit, pengadilan negeri berhak juga akan

menyerahkan pemeliharaan harta benda itu kepada keluarga sedarah atau keluarga

semenda atau laki (isteri) orang yang hilang atau yang tak ada itu, yang ditunjukkannya,

dengan satu kewajiban saja akan mengembalikan barang itu atau harganya kepada orang

yang hilang atau yang tak ada, kalau ia kembali, dengan tidak memberi sesuatu hasil atau

pendapatan sesudah dipotong segala hutang yang sudah dibayar sementara itu.

(5) Jika ketua berhalangan, maka segala pekerjaan yang tersebut pada ayat pertama pasal ini,

dapat dilakukan oleh panitera pengadilan negeri atau oleh pegawai lain, yang sesudah

dua puluh empat jam menyampaikan surat pemberitaan kepada ke tua yang memberi

kuasa itu.

Penjelasan:

1. Menurut pasal ini maka ketua pengadilan negeri atau apabila ia berhalangan, panitera

pengadilan negeri, jikalau karena pemberitahuan polisi yang berwajib, atau orang-orang

yang berkepentingan yang berkuasa untuk itu, mengetahui ada orang yang menghilang

meninggalkan tempat kediamannya tanpa mengadakan pemeliharaan terhadap harta

bendanya, wajib pergi dengan segera bersama-sama orang yang memberitahukan itu ke

rumah orang yang hilang itu dan melakukan segala daya upaya agar harta benda itu tetap

terpelihara dan tidak diambil orang.

2. Apabila harta bendanya itu tergolong besar, akan diserahkan pemeliharaannya kepada

Pengurus Harta Benda (budelmester) atau badan-badan lain yang semacam itu, akan

tetapi apabila harta bendanya itu tergolong sedikit dapat diserahkan pemeliharaannya

kepada salah seorang keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan, atau kepada laki

(isteri) orang yang hilang itu dengan kewajiban akan mengembalikan barang itu atau

harganya kalau ia kembali, setelah di potong segala hutang yang harus dibayar.

Pasal 236

(1) Keputusan yang diambil oleh pengadilan negeri menurut pasal-pasal 231, 232, 234, 234a,

dan 235 dapat dibandingkan kepada pengadilan tinggi. Pembandingan ini dapat

dilakukan dalam waktu tiga puluh hari sesudah tanggal keputusan itu, dan

pembandingan itu dimajukan secara yang ditentukan untuk keputusan pengadilan negeri.

Pengadilan tinggi memutuskan dengan tidak beracara.

(2) Keputusan yang diambil menurut pasal-pasal 234 dan 234a, dijalankan oleh atau atas

perintah pegawai yang dimaksud dalam pasal 325 ayat 1.

Pasal 236a

Atas permintaan bersama dari ahli waris atau bekas isteri orang yang meninggal, maka

pengadilan negeri memberi bantuan juga mengadakan pemisahan harta benda antara orangorang Indonesia yang beragama manapun juga, serta membuat surat (akte) dari itu di luar

perselisihan.

Bagian Ketujuh

TENTANG IZIN UNTUK BERPERKARA DENGAN TAK BERBIAYA Pasal 237

Orang-orang yang demikian, yang sebagai penggugat, atau sebagai tergugat hendak berperkara

akan tetapi tidak mampu membayar biaya perkara dapat diberikan izin untuk berperkara

dengan tak berbiaya.

Penjelasan:

Pasal 237 sampai dengan pasal 245 mengatur tentang kemungkinan untuk berperkara dengan

tidak membayar biaya bagi orang yang tidak mampu, syarat-syarat dan cara-caranya berperkara

itu.

Adapun mereka yang tidak mampu diberi izin untuk berperkara dengan tidak membayar biaya

itu sebabnya yaitu oleh karena dalam suatu negara yang beradab harus juga diberikan

kesempatan kepada mereka itu untuk dapat mencari keadilan pada hakim.

Sebagai akibat dari izin berperkara dengan cuma-cuma itu ialah tidak diminta biaya

administrasi kepaniteraan dan juga tidak akan ditarik pembayaran upah juru sita.

Apabila yang meminta izin itu penggugat, maka permohonan itu harus diajukan pada waktu ia

memasukkan surat gugatannya atau pada waktu ia mengajukan gugatannya dengan lisan,

sedangkan apabila yang memohon untuk diperkenankan berperkara dengan cuma-cuma itu

orang yang digugat, maka permintaan itu harus diajukan pada waktu ia menjawab gugatan itu.

Dalam ke dua hal permohonan itu harus disertai surat keterangan tidak mampu yang diberikan

oleh kepala polisi tempat tinggal pemohon itu yang harus berisi suatu keterangan bahwa kepala

polisi setelah menyelidiki mengetahui bahwa pemohon itu sama sekali tidak mampu (pasal

238).

Pada hari persidangan yang pertama pemeriksaan dan keputusan tentang berperkara dengan

tidak membayar biaya itu diselenggarakan terlebih dahulu sebelum pokok perkara itu diperiksa.

Pada sidang pemeriksaan itu pihak lawan orang yang meminta berperkara dengan Cuma-cuma

itu dapat menentang permohonan izin itu, baik dengan menyatakan bahwa tuntutannya itu

atau pembelaan pemohon tidak beralasan ataupun dengan membuktikan bahwa ia mampu

untuk membayar ongkos perkara. Selain dari itu hakim sendiri karena jabatannya, atas sesuatu

alasan, juga dapat menolak permohonan itu (pasal 239).

Keputusan tentang izin berperkara tanpa biaya itu tidak dapat dibanding atau dimintakan

kasasi (pasal 241). Izin berperkara dengan cuma-cuma hanya berlaku untuk pemeriksaan

tingkat pertama, dan izin berperkara tanpa bayaran pada tingkat banding harus diperoleh

dengan baru dari hakim tingkat banding (pasal 242,244,245 dan pasal 12 U.U No. 20/1947).

Apabila pihak yang mendapat izin berperkara tanpa bayaran itu menang perkaranya, maka

pihak lawan dihukum membayar ongkos perkara itu seolah-olah pihak yang lain tidak

berperkara dengan percuma.

Pasal 238

Apabila penggugat menghendaki izin itu, maka ia memajukan permintaan untuk itu pada

waktu memasukkan surat gugatan, atau pada waktu ia memajukan gugatannya dengan

lisan, sebagaimana diatur pada pasal 118 dan 120.

Apabila izin dikehendaki oleh tergugat, maka izin itu diminta pada waktu itu memasukkan

jawabnya yang dimaksudkan pada pasal 121.

Permintaan dalam kedua hal itu harus disertai surat keterangan tidak mampu, yang diberikan

oleh kepala polisi pada tempat diam peminta, yang berisi keterangan dari pegawai tadi,

bahwa padanya nyata benar sesudah diadakan pemeriksaan, bahwa orang itu tidak

mampu membayar. Pasal 239

Pada hari menghadap ke muka pengadilan negeri, maka pertama sekali diputuskan oleh

pengadilan negeri apakah permintaan akan berperkara dengan tak berbiaya dapat

dikabulkan atau tidak.

Lawan orang yang memajukan permintaan itu dapat memajukan perlawanan atas permintaan

itu, baik dengan mula-mula menyatakan, bahwa gugatan atau perlawanan peminta itu

tidak beralasan sama sekali, maupun dengan menyatakan bahwa ia mampu juga akan

membayar biaya perkara itu.

Pengadilan Negeri juga dapat menolak permintaan yang beralasan salah satu alasan itu karena

jabatannya.

Pasal 240

Balai harta peninggalan dapat diizinkan juga dengan cara serupa di atas untuk berperkara

dengan tak berbiaya, baik sebagai penggugat, maupun sebagai tergugat, dengan tidak

usah menunjukkan surat tidak mampu, jika harta benda yang dipertahankannya itu atau

harta benda orang yang di wakilinya itu pada waktu berperkara tidak mencukupi akan

membayar biaya perkara, yang ditaksir dan akan dibayar itu.

Pasal 241

Keputusan pengadilan negeri tentang izin akan berperkara dengan tak berbiaya, tidak dapat

dibanding, dan tidak dapat ditundukkan dengan aturan yang lain.

Pasal 242

(1) Permintaan supaya berperkara dengan tak berbiaya di dalam bandingan, harus

dimajukan dengan memberikan keterangan tidak mampu dengan lisan atau tulisan,

sebagai dimaksud di dalam ayat tiga dari pasal 238, kepada panitera pengadilan negeri

yang memutuskan perkara itu pada tingkat pertama oleh orang yang hendak

membanding dalam tempo 14 hari sesudah tanggal keputusan atau sesudah

diberitahukan, menurut pasal 179; oleh fihak yang lain dalam tempo 14 hari sesudah

diberitahukan tentang bandingan ataupun sesudah pemberitahuan pada ayat terakhir

yang dimaksud dalam pasal ini.

(2) Permintaan itu dicatat oleh panitera dalam daftar yang tersebut pada pasal 191.

(3) Ketua menyuruh memberitahukan permintaan itu, dalam tempo empat belas hari

sesudah dituliskan, pada fihak lawan dan menyuruh memanggil kedua belah fihak supaya

datang menghadapnya.

Pasal 243

(1) Jika orang yang meminta itu tidak menghadap, maka permintaan itu dipandang gugur.

(2) Pada hari yang ditentukan itu, maka orang yang memajukan permintaan itu dan

lawannya, diperiksa oleh ketua jika ia datang.

Pasal 244 Pemberitaan pemeriksaan serta segala surat-surat tentang perkara itu, pemberitaan

persidangan, salinan yang syah dari keputusan dan petikan dari catatan yang diperbuat dalam

daftar tentang permintaan akan berperkara dengan tak berbiaya dikirim oleh panitera

pengadilan negeri pada pengadilan tinggi.

Pasal 245

(1) Pengadilan tinggi memberikan keputusan dengan tidak beracara atau dengan jalan

hukum, dan hanya atas surat itu saja. Dengan salah situ alasan-alasan yang tersebut pada

ayat kedua pasal 239, maka pengadilan tinggi karena jabatannya menolak permintaan itu.

(2) Panitera pengadilan tinggi dengan segera mengirim salinan yang syah dari keputusan

pengadilan itu bersama-sama dengari segala surat yang tersebut pada pasal di atas pada

ketua pengadilan negeri, yang menyuruh memberitahukan keputusan itu pada kedua

belah fihak menurut cara yang tersebut pada pasal 194.

BAB KESEPULUH

TENTANG MENGADILI PERKARA PIDANA DI MUKA PENGADILAN

NEGERI

Bagian Pertama

TENTANG MENYERAHKAN PERKARA KEPADA PERSIDANGAN

Pasal 246

Penyerahan perkara kepada persidangan dilakukan oleh ketua.

la dengan segera sesudah diterimanya menimbang dengan seksama, isi surat-surat yang dikirim

padanya menurut pasal 83i.

Penjelasan:

Menurut pasal 83 i H.I.R. maka jika menurut pendapat jaksa perkara sudah diperiksa dengan

cukup dan termasuk dalam kekuasaan pengadilan negeri, maka surat pemeriksaan pendahuluan

yang biasa disebut "berkas perkara" itu diserahkan kepada ketua pengadilan negeri yang

dianggapnya berkuasa untuk mengadili perkara itu dan menuntut bersama itu supaya perkara

itu dilanjutkan ke persidangan, dengan keterangan sejelas-jelasnya dan penjelasan tentang halhal untuk apa penuntutan itu diajukan.

Ayat (2) pasal ini mewajibkan kepada ketua pengadilan negeri untuk mempelajari dan

mempertimbangkan isi tuntutan jaksa itu segera setelah ia menerima berkas perkara yang

diajukan oleh jaksa itu.

Pasal 247

Jika ketua berpendapat, bahwa perkara itu masuk pemeriksaan hakim yang lain, maka dengan

satu surat ketetapan yang beralasan diserahkan perkara itu kepada hakim yang berhak

menurut timbangannya.

Bila yang tersangka berada dalam tahanan, maka ketua dapat memerintahkan supaya ia terus

ditahan, asal saja perbuatan yang menyebabkan tersangka dituntut, masuk perbuatan

yang diterangkan pada pasal 62 ayat dua reglemen ini. Jika dalam tempo tiga puluh hari, pegawai yang berhak memberikan perintah yang baru, untuk

menahan tersangka itu dalam penjara maka yang tersangka dimerdekakan, kecuali kalau

ia harus ditahan alasan-alasan lain.

Ketua mengirim salinan ketetapan yang diambilnya menurut ayat pertama pasal ini kepada

jaksa pengadilan negeri di dalam tempo dua kali 24 jam sesudah tanggal ketetapan, juga

surat-surat perkara dikirimkannya.

Penjelasan:

Apabila ketua pengadilan negeri, setelah mempelajari dan mempertimbangkan isi berkas

perkara berpendapat, bahwa perkara itu termasuk pada kekuasaan pengadilan yang lain,

misalnya pengadilan negeri yang lain, mahkamah agung atau pengadilan militer, maka ia

dengan keputusan yang beralasan akan menyerahkan perkara itu kepada pengadian yang

dianggapnya berkuasa.

Apabila ia berpendapat bahwa perkara itu masuk kompetensi pengadilan negeri yang

dipimpinnya, maka mungkin ia memandang perlu untuk mengadakan pemeriksaan tambahan,

misalnya membutuhkan didengar keterangan saksi-saksi baru, atau orang-orang ahli, ataupun

menyuruh mengadakan pemeriksaan setempat dan lain sebagainya.

Untuk itu diminta pertolongan jaksa untuk menyelesaikannya. Jaksa harus melakukan atau

menyuruh lakukan pemeriksaan tambahan itu (pasal 249).

Apabila menurut pertimbangannya telah lengkap pemeriksaannya, maka pada mengambil

keputusan ia teristimewa harus mengingat akan tuntutan jaksa tersebut; akan tetapi kalau dari

surat-surat pemeriksaan pendahuluan itu ternyata, bahwa tersangka bersalah berbuat

pelanggaran pidana yang lain atau yang lebih banyak dari yang dituntut oleh jaksa, maka ia

harus juga memperhatikan pelanggaran-pelanggaran pidana yang lain atau yang lebih banyak

itu, kecuali jika jaksa dalam tuntutannya tegas memberitahukan, bahwa ia tidak menghendaki

menuntut pelanggaran-pelanggaran pidana yang lain atau yang lebih itu berdasarkan prinsip

oportunitas (pasal 250).

Kalau hakim berpendapat, bahwa apa yang dituntut jaksa itu tidak merupakan suatu kejahatan

maupun pelanggaran, atau juga bahwa hak penuntutan perkara telah gugur, ataupun

pengaduan yang diperlukan untuk menuntut tidak ada, atau pun tidak cukup bukti tentang

kesalahan tersangka, maka dengan surat keputusan yang beralasan hakim menyatakan bahwa

tuntutan jaksa itu tidak diterima dengan perintah untuk segera membebaskan tersangka itu,

kalau ia berada dalam tahanan dan tidak usah tinggal lebih lama disitu karena sebab-sebab yang

lain (ayat (3) pasal 250).

Akhirnya jikalau hakim berpendapat bahwa ada cukup alasan-alasan akan menuntut tersangka

tentang kejahatan atau pelanggaran, menyerahkan perkara itu kepada persidangan. Ini

dilakukan dengan surat penetapan, dimana harus disebutkan hal-hal yang dituduhkan dengan

menjelaskan waktu dan tempat hal-hal itu dilakukan, semuanya itu dengan ancaman, bahwa

surat penyerahan itu batal jika tidak memenuhi syarat-syaratnya (ayat (4) pasal 250).

Penetapan itu dinamakan "surat penyerahan" dan harus pula berisi keterangan tentang

keadaan, dalam mana hal-hal yang dituduhkan itu terjadi, khususnya yang dapat meringankan

dan memberatkan kesalahan tersangka.

Surat penyerahan itu dalam pemeriksaan perkara pidana dipersidangan merupakan surat yang

amat penting, adalah dasar dari seluruh acara pidana. Terdakwa harus dapat mengetahui isi

surat itu untuk apa ia diperiksa di muka pengadilan, supaya ia dapat mempersiapkan

pembelaannya. Perlu sekali surat itu berisi pemberitahuan yang cukup dan jelas dari hal-hal

yang dituduhkan. Apabila ia tidak memenuhi syarat-syarat itu batal. la harus berisi pula semua

unsur-unsur dari peristiwa pidana yang dituduhkan. Pasal 248

(Ditiadakan oleh undang-undang darurat No. 1/1951).

Pasal 249

Jika ketua berpendapat, bahwa perbuatan itu masuk pemeriksaan pengadilan yang

diketahuinya, maka ia menimbang, apa ada lagi perbuatan-perbuatan dan keadaankeadaan yang harus lebih lanjut diperiksa sebelum diserahkan kepada pengadilan.

Jika ia berpendapat, bahwa perlu diadakan lagi pemeriksaan saksi-saksi atau pemeriksaan

tempat oleh hakim atau perbuatan-perbuatan yang lain yang masuk pemeriksaan

sementara, maka untuk keperluan itu ia meminta dengan surat bantuan jaksa pengadilan

negeri, dengan memberitahukan hal-hal yang dikehendakinya supaya diperiksa lagi.

Jaksa wajib dengan selekas-lekasnya melakukan atau menyuruh melakukan pemeriksaan itu

dan mengirim dengan segera pemberitaan acara pemeriksaan-pemeriksaan yang

diperbuat tentang itu kepada ketua. Jika untuk pemeriksa itu perlu pengirim surat-surat

syah atau daftar-daftar asli oleh penyimpan umum, maka pekerjaan dilakukan setuju

dengan pasal 83 h.

(Ditiadakan oleh undang-undang darurat No. 1/1951).

Pasal 250

Demi ketua menimbang, bahwa tidak diperlukan pemeriksaan yang lebih lanjut, atau bahwa

pemeriksaan yang dimaksud dalam pasal di muka ini dapat dianggap sudah selesai maka

ia mengambil ketetapan dengan surat ketetapan yang menyatakan sebab-sebabnya,

dengan mengingat aturan-aturan yang berikut.

Ketetapan ketua itu terutama sekali ditujukan kepada tuntutan, yang dimaksud dalam pasal 83i,

tetapi bila dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan kenyataan padanya, bahwa

tersangka bersalah melakukan perbuatan pidana yang lain atau melakukan perbuatanperbuatan pidana yang lebih banyak yang masuk pemeriksaan pengadilan negeri, yang

diterangkan atau ditujukan dalam pasal di atas, maka perbuatan pidana yang lain yang

lebih banyak itu, hendaklah dimasukkannya dalam ketetapannya, kecuali kalau jaksa

dalam tuntutan tersebut dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak berkehendak

melakukan tuntutan tentang perbuatan yang lain atau yang lebih itu.

Bila ia menimbang, bahwa perbuatan itu tidak dapat dipandang sebagai kejahatan atau

pelanggaran, atau tidak ada cukup alasan untuk menuntut tersangka, maka ia

menerangkannya dalam ketetapannya dan ia menolak permintaan tuntutan supaya

perkara itu diserahkan kepada persidangan serta supaya tersangka ditangkap atau ditahan

lebih lanjut, jika ini dituntut. Ia memerintahkan supaya tersangka dengan segera

dikeluarkan dari tahanan, jika tersangka dalam tahanan dan tidak harus ditahan karena

alasan lain.

Apabila ditimbangnya, bahwa ada cukup alasan-alasan akan menuntut tersangka tentang

kejahatan atau pelanggaran maka perkara itu diserahkan kepada persidangan pengadilan

negeri dengan menyatakan dalam surat ketetapan itu perbuatan-perbuatan yang

dituduhkan serta menerangkan kira-kira pada waktu mana dan kira-kira di tempat mana

perbuatan itu dilakukan kalau tidak disebut itu semuanya surat ketetapan batal, kecuali

bila ada perubahan menurut pasal 282. Dalam surat ketetapan itu diterangkan juga

keadaan-keadaan waktu melakukan perbuatan itu, terutama benar hal-hal yang dapat meringankan atau memberatkan kesalahan yang tersangka. la memerintahkan juga

supaya surat-surat syah dan daftar-daftar asli yang tersebut dalam pasal 83h diserahkan

kepadanya dan untuk penerimaan ini diberikan surat tanda penerimaan.

Bila si tertuduh diperintahkan menghadap hakim karena suatu kejahatan yang dapat dijatuhkan

hukuman mati, dan si tertuduh, baik dalam pemeriksaan oleh jaksa yang ditetapkan

dalam ayat enam pasal 83h, baik kemudian hari menyatakan kehendaknya supaya ia pada

waktu persidangan dibantu oleh seorang sarjana hukum atau seorang ahli hukum maka

untuk memberi bantuan itu ketua dalam surat ketetapannya menunjuk seorang anggota

pengadilan negeri ahli hukum, atau seorang pegawai sarjana hukum atau orang ahli

hukum yang lain yang menyatakan bersedia melakukan pekerjaan itu. Penunjukan itu

masih dapat juga dilakukan dengan surat keputusan yang terasing selama pemeriksaan

pada sidang belum selesai, jika tersangka menyatakan kehendak yang sedemikian itu

juga. Akan tetapi penunjukan tidak terjadi bila pada pengadilan negeri itu tidak ada

pegawai sarjana hukum atau ahli hukum yang diperbantukan pada ketua atau tidak ada

sarjana hukum atau ahli hukum yang lain yang bersedia.

Sarjana hukum atau ahli hukum yang ditunjukkan menurut ayat tadi wajib dengan percuma

memberi bantuannya itu.

Dalam surat ketetapan yang ditentukan dalam ayat keempat, ketua selanjutnya menetapkan

hari persidangan dan diperintahkannya supaya saksi-saksi disuruh panggil pada hari itu

dan supaya kepada tersangka diberitahukan isi surat ketetapan itu yang harus

menyatakan nama, pekerjaan, tempat diam atau tempat tinggal dari yang tersangka atau

jika salah satu ini tidak diketahui, ditunjukkan sesama-samanya sambil memberitahukan

juga supaya datang ke persidangan pada hari yang ditentukan itu. Kepada Jaksa

pengadilan negeri diberikan oleh panitera pengadilan negeri salinan surat keputusan

untuk keperluan itu, sedapat mungkin dalam bahasa negeri dari yang tersangka.

Panggilan dan pemberitahuan yang dimaksud pada ayat tadi, terhadap saksi-saksi dan yang

tersangka yang tidak dalam tahanan, jika mereka bangsa Indonesia dengan perantaraan

kepala distrik dan jika mereka masuk bangsa Asing, maka selama mereka di bawah

kepala sendiri, dengan perantaraan kepala Bangsa Asing yang bersangkutan.

Bila pada waktu menyerahkan perkara itu, hari persidangan tidak dapat ditentukan dengan

segera, maka sebab-sebabnya disebutkan dalam surat penyerahan perkara dan hari

persidangan itu ditentukan kemudian hari dengan surat ketetapan lain.

Pada waktu menentukan hari persidangan, ketua memperhatikan lamanya waktu yang perlu

bagi saksi-saksi dan bagi tersangka, jika tersangka tidak ditahan untuk menghadap

persidangan dan ditentukan pula waktu yang harus lalu antara waktu memberitahukan isi

surat ketetapan itu kepada tersangka dan hari persidangan.

Demi sudah dilakukan panggilan saksi-saksi dan pemberitahuan yang ditentukan itu pada

tersangka, maka kepada ketua pengadilan negeri dikirim surat keterangan tentang itu.

Jika pesakitan berada dalam tahanan dan penyerahan perkara adalah disebabkan sesuatu

perbuatan yang menurut pasal 62 ayat dua, tidak dapat menyebabkan ia ditahan

sementara, maka ketua memerintahkan sewaktu menyerahkan perkara itu supaya orang

itu dikeluarkan dari tahanan, kecuali jika ia harus ditahan karena alasan lain.

Jika pesakitan diserahkan kepada persidangan karena suatu perbuatan yang dimaksud dalam

ayat dua pasal 62, maka ketua menetapkan juga, apa ia terus ditahan untuk sementara

atau akan dikeluarkan dari tahanan; ketetapan mana dapat diubahnya sampai pada

pemeriksaan perkara pada tingkat pertama dan kemudian daripada itu dapat pula diubah

dengan keputusan pengadilan, kalau ada alasan untuk mengubahnya. Jika beberapa surat yang berhubungan dengan pemeriksaan sementara dikirim pada ketua

hampir dengan serempak, baik yang mengenai perbuatan orang itu juga, asal saja

kepentingan pemeriksaan tidak bertentangan dengan penambahan ini, mau pun

perbuatan yang bersangkut-paut, atau yang tidak bersangkut-paut, yang sebenarnya

berhubungan satu sama lain, dan penambahan itu adalah untuk kepentingan

pemeriksaan, maka untuk semua ini penyerahannya dibuat dalam satu surat ketetapan.

Perbuatan pidana dapat dianggap bersangkut-paut, bila perbuatan itu dilakukan:

oleh lebih dari seorang bersama-sama dan serempak;

oleh lebih dari seorang pada waktu atau tempat yang berlainan, tetapi menurut suatu

permufakatan, yang mereka adakan lebih dahulu;

dengan maksud akan mendapat upaya untuk melakukan perbuatan pidana yang lain, atau

untuk memudahkan melakukannya atau mengerjakannya; atau untuk melindungi

dirinya dari hukuman tentang perbuatan pidana yang lain.

Jika surat-surat tentang pemeriksaan sementara yang satu itu juga mengenai perbuatanperbuatan pidana, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, tetapi tidak masuk dalam

aturan yang keempat belas dari pasal ini, maka ketua memerintahkan orang-orang yang

dituduh itu menghadap hakim dengan beberapa surat ketetapan yang berasing-asing,

menurut perlunya.

Jika surat-surat pemeriksaan sementara yang satu itu juga berhubungan dengan dua orang atau

lebih yang tertuduhi dan ketua memerintahkan beberapa orang menghadap sidang

pengadilan negeri dan yang selainnya tidak, maka jika karena aturan dalam pasal 251,

jaksa memajukan perlawanan terhadap ketetapan yang bersangkutan hal menentukan

hari persidangan diundurkan menurut ayat sembilan pasal ini, sampai diterima keputusan

pengadilan tinggi yang dimaksud dalam pasal 251, ayat delapan, sembilan dan dua belas.

Dari keputusan yang diambil oleh ketua menurut ayat ketiga dari pasal ini, ia mengirim salinan

dalam tempo dua kali dua puluh empat jam sesudah tanggal penandatanganan, kepada

jaksa pengadilan negeri dan kepadanya dikirim juga surat-surat perkara itu.

Penjelasan:

Ayat (1) menentukan, bahwa apabila pemeriksaan jaksa dianggap telah selesai dan tidak ada

yang perlu ditambah lagi, maka hakim atas perkara itu lalu mengambil keputusan dengan

memakai surat penetapan serta menyatakan alasan-alasannya.

Isi keputusan itu rupa-rupa tergantung kepada duduk perkara dan keadaan perkara itu seperti

yang tersebut dibawah ini.

Ayat (2) menentukan bahwa ketetapan ketua harus dipusatkan kepada hal-hal yang dituntut

oleh jaksa, kecuali kalau dalam penuntutan jaksa itu ada peristiwa pidana yang lain yang belum

dimasukkan, maka peristiwa pidana itu harus dimasukkan dalam surat ketetapan itu juga,

kecuali apabila jaksa dalam surat tuntutannya menerangkan dengan tegas bahwa ia memang

tidak mau menuntut peristiwa yang lebih itu.

Wewenang jaksa untuk tidak menuntut ini adalah akibat dari pada azas oportunitas yang dianut

oleh peradilan kita.

Menurut ayat (3) maka apabila yang dituntut oleh jaksa itu tidak merupakan suatu peristiwa

pidana atau tidak cukup bukti yang dapat dipakai alasan untuk menuntut tersangka, maka

ketua dalam surat ketetapan itu menolak tuntutan jaksa dan memerintahkan supaya

tersangkanya dibebaskan. Ayat (4) mengatakan, bahwa apabila ada cukup alasan-alasan untuk menuntut tersangka, maka

perkara itu lalu diserahkan oleh ketua kepengadilan negeri. Dalam ketetapan penyerahan

perkara itu harus dimuat:

a. penyebutan peristiwa-peristiwa pidana yang dipersalahkan kepada tertuduh.

b. penyebutan kira-kira waktu dan tempat di mana peristiwa pidana itu dilakukan.

c. keterangan tentang keadaan yang meliputi peristiwa pidana itu khususnya hal-hal yang

meringankan dan memberatkan tersangka.

Apa yang tersebut pada sub a dan b merupakan syarat mutlak untuk syahnya penetapan

penyerahan. Kelalaian tentang hal ini diancam dengan pembatalan oleh Pengadilan Tinggi.

Ayat (5) menentukan bahwa apabila tertuduh dihadapkan kepengadilan karena tuduhan suatu

peristiwa pidana yang ada ancaman pidana mati, dan tertuduh menghendakinya, maka untuk

membela tertuduh dengan percuma di depan pengadilan, ketua menunjuk seorang anggota

pengadilan negeri atau seorang pegawai pada pengadilan negeri itu, atau orang lain yang ahli

hukum yang bersedia dengan percuma melakukan pembelaan itu (ayat (6) pasal 250).

Dalam hubungan ini perlu disebutkan bahwa menurut pasal 35 U.U. Pokok Kehakiman No.

14/1970 setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.

Pelaksanaan hak ini lebih lanjut dapat dibaca dalam Instruksi Pangkopkamtib No:

Ins.03/Kopkam/XI/1978.

Ayat (7) menentukan, bahwa pada surat penyerahan perkara itu hakim selanjutnya menetapkan

hari persidangan dan memerintahkan untuk menyuruh panggil saksi-saksi pada hari itu, yang

dipandangnya perlu bagi pemeriksaan pengadilan. Sudah barang tentu yang dipanggil itu

hanyalah saksi-saksi yang sungguh-sungguh penting bagi pembuktian kesalahan tersangka.

Tersangka diberitahu isi surat penyerahan itu dengan perintah untuk menghadap pada hari

yang telah ditetapkan itu di persidangan pengadilan.

Untuk kepentingan pembelaan oleh tersangka, pada penetapan hari persidangan itu harus

ditentukan jangka yang patut yang berlaku antara hari persidangan dan saat pemberitahuan isi

surat penyerahan itu kepada tersangka.

Kepada jaksa dikirimkan salinan surat penyerahan perkara itu oleh panitera.

Ayat (12) menentukan, bahwa apabila dalam penyerahan perkara itu berhubung dengan

ketentuan dalam pasal 62 ayat (2), tersangka tidak dapat ditahan lebih lama, maka hakim

memerintahkan agar supaya tahanan itu dibebaskan, kecuali kalau ia harus terus ditahan karena

alasan lain.

Ayat (14) mengatur tentang apa yang biasa disebut "penggabungan perkara". Syarat utama

untuk menggabungkan beberapa perkara ke dalam satu surat penyerahan perkara, ialah bahwa

hal itu tidak akan menimbulkan keberatan-keberatan dalam pemeriksaan di muka persidangan

pengadilan. Selain syarat tersebut masih harus dipenuhi pula syarat-syarat lain yang tersebut

dalam ayat (15).

Dasar pikiran dari penggabungan perkara ini ialah terutama meringkaskan serta

mempermudah pemeriksaan di dalam satu sidang pengadilan, supaya pemeriksaan beberapa

perkara dapat dilaksanakan dengan lancar dan cepat, oleh karena hubungan-hubungan yang

ada di dalam beberapa perkara itu menjadi lebih mudah diketahui. Selain itu penggabungan

perkara penting juga untuk kepentingan orang yang didakwa berkenaan dengan ketentuanketentuan pidana karena melakukan kejahatan secara tergabung (samenloop), sehingga

pidananya menjadi lebih ringan dari pada apabila perkara-perkara itu diadili secara sendirisendiri satu demi satu. Pasal 251

∗∗∗

(1) Jaksa dapat membantah keputusan yang diambil menurut pasal 247 ayat pertama, atau

pasal 250 ayat ketiga, dalam tempo 14 hari dari tanggalnya, atau dengan tegas

menerimanya dengan jalan memberi keterangan pada kepaniteraan pengadilan negeri.

(2) Pencatatan dari keterangan ini dilakukan dalam daftar yang disediakan untuk itu yang

harus ditandatangani oleh jaksa serta panitera.

(3) Segera sesudah jaksa pada pengadilan negeri menerima keputusan itu atau sesudah lewat

waktu 14 hari yang ditentukan dalam ayat pertama, maka ia harus berlaku dengan suratsurat itu menurut yang ditetapkan dalam pasal 248, jika perkara itu diserahkan pada

hakim lain.

(4) Surat bantahan dan surat-surat perkara, jikalau perlu. disertai sebuah surat keterangan,

yang berisi alasan-alasan yang tidak disebutkan dalam surat, harus dikirim oleh jaksa

pengadilan negeri dalam tempo seminggu kepada jaksa agung pada mahkamah agung,

yang berkuasa atas pengadilan negeri itu jaksa agung harus menyerahkan segala suratsurat itu dengan pendapatnya dan dengan tuntutannya dalam tiga hari.

(5) Bila pengadilan tinggi berpendapat bahwa sebelum mengambil keputusan atas itu, perlu

didengar lagi saksi-saksi pemeriksaan tempat atau pekerjaan yang lain yang masuk

pemeriksaan sementara, maka buat keperluan itu dimintanya dengan surat bantuan jaksa

agung pada mahkamah agung dengan menerangkan hal-hal yang dikehendakinya supaya

diperiksa.

(6) Pegawai ini wajib melakukan atau menyuruh melakukan pemeriksaan itu dengan selekaslekasnya dan mengirimkan pemberitaan pemeriksaan yang dibuat tentang itu kepada

pengadilan tinggi dengan segera.

(7) Jika pengadilan tinggi menimbang, bahwa tidak perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan

atau bahwa pemeriksaan yang dimaksud dalam ayat yang di muka sudah dapat dianggap

selesai, maka hal itu ditetapkannya dengan selekas-lekasnya dengan surat ketetapan yang

menyatakan sebab-sebabnya.

(8) Jika pengadilan tinggi menguatkan ketetapan ketua pengadilan negeri maka hal itu

diberitahukan dengan surat pada ketua dan pada jaksa agung pada mahkamah agung.

Kalau perkara itu diserahkan pada hakim lain, maka surat harus dikirim pada hakim itu,

atau pada jaksa pada pengadilan yang bersangkutan. Jika ketetapan itu satu ketetapan

seperti yang dimaksud dalam pasal 250 ayat ketiga, maka surat-surat dikirimkan kembali

pada ketua.

(9) Jika pengadilan tinggi membatalkan ketetapan itu dan menetapkan, bahwa perkara itu

masuk pemeriksaan satu pengadilan negeri yang ada dalam pegangannya, maka

pengadilan tinggi memerintahkan supaya tertuduh dituntut di hadapan pengadilan negeri

itu, dengan menyebutkan dalam surat ketetapannya perbuatan-perbuatan yang

dituduhkan menurut pasal 250 ayat keempat, dengan tidak menyertakan surat perintah

untuk menangkap atau dengan menyertakan surat perintah untuk menangkap atau

menahan yang tertuduh dalam penjara dalam hal diizinkan penahanan untuk sementara;

surat-surat dikirimkan kepada ketua pengadilan negeri dan salinan ketetapannya itu

diserahkannya pula pada ketua itu, kepada jaksa pada pengadilan negeri itu dan pada

jaksa agung pada mahkamah agung.

Berhubungan dengan susunan kejaksaan sekarang maka di dalam prakteknya dilakukan tidak setepat

peraturan ini.(10) Jika pengadilan tinggi membatalkan ketetapan itu dan menetapkan, bahwa perkara itu

masuk pemeriksaan pengadilan negeri di luar daerah hukumnya, maka surat-surat dan

salinan ketetapannya dikirimkan oleh pengadilan tinggi pada pengadilan negeri itu dan

pada jaksa agung pada mahkamah agung.

(11) Sesudah diterima surat-surat yang dimaksud dalam ayat kesembilan, maka ketua

pengadilan negeri menentukan hari persidangan dengan menyebutkan- perbuatanperbuatan yang menyebabkan penuntutan sesuai dengan ketetapan majelis serta dengan

mengingat aturan dalam ayat ketujuh, ayat kedelapan dan ayat kesepuluh pasal 250. Ayat

kesebelas dari pasal itu untuk hal ini berlaku juga. Jika perlu maka .dalam surat ketetapan

ini ditunjukkanlah sarjana hukum atau ahli hukum menurut aturan pada ayat kelima dari

pasal 250.

(12) Jika dalam hal ayat kesembilan dari pasal ini, perkara itu diserahkan pengadilan negeri

yang ketuanya mula-mula memutuskan perkara itu, demikian juga di dalam hal yang

dinyatakan pada ayat kesepuluh dari pasal ini, maka pengadilan tinggi memberitahukan

ketetapannya pada ketua yang tersebut di atas itu dan pada jaksa agung pada mahkamah

agung.

(13) Ditiadakan oleh Undang-Undang Darurat No. 1/1951.

(14) Ditiadakan oleh Undang-Undang Darurat No. 1/1951.

Penjelasan:

Pasal ini menentukan reaksi jaksa atas bermacam-macam keputusan hakim pengadilan negeri

mengenai tuntutannya. Jaksa mungkin menerima suatu penetapan dari ketua pengadilan negeri

yang kurang menguntungkan bagi tuntutannya, akan tetapi bukan. pula tidak mungkin, bahwa

jaksa memajukan protes terhadap penetapan-penetapan itu, karena ia tidak dapat

menyetujuinya, karena beranggapan bahwa pengadilan negeri benar-benar berkuasa untuk

memeriksa perkara itu, atau bahwa peristiwa yang telah dilakukan itu benar-benar merupakan

suatu peristiwa pidana, atau bahwa hak untuk melakukan penuntutan tidak hilang atau bahwa

dalam perkara itu bukti-bukti cukup akan kesalahan tersangka. Ini semua diajukan jaksa kepada

Pengadilan Tinggi untuk membantah penetapan ketua pengadilan negeri yang harus

diselenggarakannya dalam waktu 14 hari sesudah keputusan itu ditanggali.

Sesudah menerima surat bantahan jaksa beserta surat-surat perkara, pengadilan tinggi lalu

memeriksa bantahan itu. Kalau penetapan pengadilan tinggi membenarkan keputusan ketua

pengadilan negeri, maka surat-surat itu dikirimkan kepada pengadilan yang berkuasa untuk

mengadilinya atau kepada kejaksaan pada pengadilan itu.

Dalam hal ini jaksa yang dikalahkan itu dapat mohon kasasi kepada Mahkamah Agung.

Sebaliknya kalau penetapan pengadilan negeri itu dibatalkan, maka pengadilan tinggi

memerintahkan kepada pengadilan negeri untuk mengadili terdakwa di persidangan dengan

menyebutkan dalam surat penetapannya hal-hal yang dituduhkan, serta mengirimkan kembali

surat-surat perkara itu kepada hakim pengadilan negeri yang bersangkutan.

Setelah menerima surat-surat ini hakim pengadilan negeri ini menetapkan hari persidangan

dengan menerangkan dalam surat penetapannya sesuai dengan keputusan pengadilan tinggi itu.

Bagian Kedua

TENTANG PEMERIKSAAN DALAM PERSIDANGAN

Pasal 252 Tiap-tiap pengadilan negeri terutama berhak untuk memeriksa segala kejahatan-kejahatan dan

pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam lingkaran daerah hukumnya.

Pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya diam, tinggal atau ditangkap orang. yang

tersangka, hanya dapat mengambil pemeriksaan perkara kepadanya, jika tempat

kediaman kebanyakan saksi, yang akan dipanggil, lebih dekat letaknya pada tempat

kedudukan pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya dilakukan kejahatan itu.

Jika seorang yang tersangka, melakukan beberapa kejahatan dalam daerah hukum beberapa

pengadilan negeri maka tiap-tiap pengadilan negeri sama haknya memeriksa pelbagai

kejahatan-kejahatan itu, akan tetapi kalau beberapa pengadilan negeri serempak

mencampurinya, maka yang tetap diserahi pekerjaan memeriksa itu, ialah pengadilan

negeri yang dalam daerah hukumnya ditahan orang yang tersangka itu, atau dalam

daerah hukumnya diam atau tinggal orang yang tersangka itu, jika ia tidak ditangkap.

Penjelasan:

Pasal ini menentukan tentang apa yang biasa disebut "kompetensi relatip" pengadilan negeri,

yaitu kekuasaan mengadili yang berhubungan dengan daerah hukum, merupakan lawan dari

pada "kompetensi absolut" yaitu kekuasaan mengadili berdasarkan atas rupa dan sifat peristiwa

pidana yang diadili.

Adapun kompetensi relatip pengadilan negeri, menurut pasal ini adalah:

1. Sebagai prinsip pokok ialah mengadili peristiwa pidana yang dilakukan dalam daerah

hukumnya, atau

2. disamping itu juga berkuasa mengadili perkara yang terdakwanya berdiam, berada atau

tertangkap dalam daerah hukumnya, dengan syarat, bahwa kebanyakan dari saksisaksinya yang akan didengar berdiam lebih dekat pada tempat kedudukan pengadilan

negeri itu dari pada tempat kedudukan pengadilan negeri dalam daerah hukumnya

peristiwa pidana itu dilakukan,

3. Apabila terdakwa dituduh melakukan beberapa kejahatan dan pelanggaran di daerahdaerah hukum lebih dari satu pengadilan negeri, maka dalam hal ini tiap-tiap pengadilan

negeri ini berkuasa mengadili. Oleh karena suatu sebab perkara-perkara itu diajukan

kepada beberapa pengadilan negeri bersama-sama (serempak), maka yang harus

melanjutkan pemeriksaan perkara ialah pengadilan negeri yang di dalam daerah

hukumnya terdakwa berdiam atau berada.

Dalam pasal 252 ini tidak terdapat ketentuan bagaimana kalau peristiwa pidana itu dilakukan di

luar negeri, sepanjang dapat dituntut oleh pengadilan negeri di Indonesia, sebagaimana yang

dimaksud dalam pasal-pasal 3,4,5 dan 8 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Dalam hal ini kami rasa tidak ada keberatan apabila dipakai ketentuan yang tersebut dalam

"Reglement op de Strafvordering" bagi Raad van Justitie" dahulu yang dalam pasal 13

mengatakan, bahwa mengenai perkara-perkara kejahatan yang dilakukan di luar negeri,

sepanjang dapat dituntut di dalam negeri yang berkuasa menuntut adalah jaksa pada

pengadilan di dalam wilayah hukumnya yang bersalah bertempat tinggal, atau tertangkap, atau

yang bersalah paling akhir berdiam. (lihat pula pasal 48 H.I.R.).

Tidak mudah untuk menetapkan tempat dilakukannya peristiwa pidana sebagaimana yang

tersebut dalam pasal 252 ini. Tentang penetapan mengenai tempat terjadinya atau

dilakukannya kejahatan itu yang biasa disebut "Locus delicti", dalam bidang hukum pidana

dianut beberapa teori, ialah:

Teori pembuatan material (leer van de lichamelijke daad). Menurut teori ini yang menjadi locus

delicti ialah tempat dimana pembuat melakukan segala yang kemudian dapat

mengakibatkan delik yang bersangkutan. Pendapat ini dianut oleh Hoge Raad Neger Belanda dalam keputusannya 16 Oktober 1899 No. 7347, akan tetapi kemudian ternyata,

bahwa teori ini tidak dapat membawa penyelesaian dalam hal sebagai berikut: Pada

waktu perang dunia I (1914-1918) oleh Negeri Belanda dilarang untuk memasukkan

kuda ke dalam wilayah Negeri Jerman. Akan tetapi seorang penyelundup tahu akal. la

menyeberangi perbatasan antara Negeri Belanda dan Jerman, sedangkan kuda yang

hendak dimasukkannya ditinggalkan di Negeri Belanda sangat dekat di perbatasan

tersebut. Dengan suatu tali ia menarik kuda itu ke dalam wilayah Negeri Jerman. Di

muka hakim dikatakan oleh penyelundup, bahwa ia tidak dapat dipidana karena ketika ia

menarik kuda itu ia berada di Negeri Jerman. Hoge Raad tidak dapat membenarkan

pendapat itu dan mengatakan, bahwa dapat pula terjadi dengan memakai alat-alat orang

dapat berbuat sesuatu di tempat lain dari pada di tempat ia berada. Dengan demikian

maka penyelundup itu dengan surat keputusan Hoge Raad 16 April 1915 diputuskan

bersalah. Ini berarti bahwa Hoge Raad menambah pendapatnya yang terdahulu dengan

teori yang baru yang dinamakan.

Teori alat yang dipergunakan (leer van het instrument) yang mengatakan, bahwa delik

dilakukan di tempat di mana alat yang dipergunakan itu menyelesaikannya, dengan

perkataan lain yang menjadi locus delicti ialah tempat di mana ada "uitwerking" alat yang

dipergunakan.

Teori akibat (leer van het gevolg). Kadang-kadang juga teori alat yang dipergunakannya tidak

dapat memberi penyelesaian yang dikehendaki, karena tidak semua peristiwa pidana

dilakukan dengan mempergunakan alat. Maka dari itu oleh ilmu hukum pidana dibuat

lagi satu tambahan. Tambahan ini adalah teori akibat. Menurut teori ini yang menjadi

lotus delicti ialah tempat akibat dari perbuatan itu terjadi, Teori akibat ini membawa

keuntungan, misalnya dalam hal penipuan. Seorang asing di luar negeri yang

mempergunakan suatu nama palsu berhasil bahwa seorang Indonesia yang berada di

Indonesia melepaskan suatu benda tertentu. Perkara ini hanya dapat diselesaikan dengan

memakai teori akibat.

Sekarang timbul pertanyaan teori manakah diantara 3 macam teori itu yang paling

cocok? Oleh banyak ahli hukum dikemukakan bahwa ke tiga teori ini sama pentingnya.

Kita dapat memilih mana yang paling cocok untuk menyelesaikan suatu perkara yang

tertentu. Ini disebut "meervoudige locus delicti" (Hoge Raad 2-1-1923 No. 11028).

Pasal 253

(1) Apabila pengadilan negeri telah bersidang pada hari yang ditentukan ketua menurut

pasal 250, maka yang tersangka dipanggil masuk, atau jika ia ada di dalam tahanan,

dibawa masuk ke sidang dengan penjagaan baik, akan tetapi tidak terbelenggu.

(2) Jika pesakitan tidak ditahan dan atas panggilan yang dilakukan tidak datang menghadap

persidangan, maka ketua dapat memerintahkan menahan orang itu dan menunda

pemeriksaan perkara itu sampai pada hari persidangan yang akan ditentukannya

kemudian.

(3) Jika di dalam suatu perkara lebih dari satu pesakitan dan tidak semua pesakitan hadir

pada persidangan, maka meskipun seorang atau lebih dari mereka itu tidak hadir maka

pemeriksaan dan pengadilan tentang orang yang hadir itu diteruskan juga, sedang ketua

dapat memberi perintah untuk menahan orang yang tak hadir itu, agar mereka itu pada

hari yang akan ditentukan kemudian dapat dihadapkan pada persidangan.

(4) Jika pesakitan yang tak hadir itu, dapat menyatakan karena sebab yang syah ia tidak

datang menghadap pada hari persidangan yang telah ditentukan setelah ia ditahan, maka memerintahkan, supaya orang itu dikeluarkan pula. Ketua kemudian menentukan pula

hari persidangan yang akan datang, seraya memberi perintah supaya hal itu

diberitahukan kepada orang yang dituduh, menurut pasal 250 ayat ke 6 dan 7.

(5) Jika tidak menghadap pada hari persidangan yang kemudian itu, maka dilakukan

menurut aturan pada ayat ke 2 dan ke 3 pasal ini, dan pesakitan yang ditahan itu tinggal

dalam tahanan sementara.

Penjelasan:

Apabila tertuduh berada dalam tahanan sementara, pada waktu masuk ke ruangan persidangan

ia harus betul-betul dijaga, akan tetapi lepas dari segala ikatan, artinya kalau ia memakai

belenggu tangan, lalu dilepaskan, Jika ada pembelanya, biasanya ia dipersilahkan masuk pula

bersama-sama tertuduh. Apabila tertuduh berada di luar tahanan, dan tidak datang hadir,

sidang ditunda pada hari dan tanggal yang ditentukan. Para saksi yang telah terlanjur datang,

diberitahu untuk datang hadir lagi, pemberitahuan ini dianggap sebagai panggilan.

Dalam perkara dengan lebih dari seorang tertuduh, sedangkan ada tertuduh yang tidak hadir,

maka sidang diteruskan untuk memeriksa yang hadir, sedangkan terhadap tertuduh yang tidak

hadir diperintahkan supaya ditahan dan dihadapkan di persidangan kemudian.

Kalau tertuduh ini dapat menyatakan, bahwa ia tidak menghadap itu ada sebab yang dapat

diterima, maka ia dibebaskan dari tahanan.

Dalam pasal ini ayat (1) ada kata-kata "telah bersidang", maksudnya persidangan pengadilan

sudah dibuka oleh ketua dengan pernyataan, bahwa sidang itu terbuka untuk umum.

Untuk menjamin objektivitas pemeriksaan perkara di muka pengadilan, maka dalam pasal 17

U.U. Pokok Kehakiman No. 14/1970 diletakkan ketentuan dasar, bahwa pemeriksaan dalam

sidang pengadilan harus terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang menentukan

lain.

Pasal 254

Tiap-tiap orang yang tersangka berhak mempertahankan dirinya pada sidang dengan bantuan

seorang pembela.

Pembela bebas masuk mengunjungi orang yang tersangka kalau ia dalam tahanan pada waktu

atau mulai dari waktu yang ditetapkan oleh ketua dan dapat berbicara dengan yang

tersangka seorang diri dengan pengawasan sepatutnya.

Atas pertanyaan yang dimajukan untuk itu, ketua akan menentukan suatu ketika untuk

tersangka dan pembelanya untuk melihat surat-surat pemeriksaan sementara di

kepaniteraan pengadilan negeri.

Penjelasan:

Pasal ini mengatur tentang pembela atau penasihat hukum bagi terdakwa. Apakah perlunya

seorang terdakwa harus dibela. Dalam perkara terdakwa harus berhadapan dengan Jaksa dan

Polisi di depan Hakim, hal ini tidak seimbang. Terdakwa merasa amat kecil terhadap tuduhantuduhan yang telah disusun rapih oleh Jaksa, ditambah lagi pikirannya gelisah, dan kacau

menghadapi perkara. Oleh karena itu untuk kepentingan terdakwa dan sebenarnya juga untuk

kepentingan keseimbangan dalam pemeriksaan perkara, dirasakan amat perlu adanya seorang

penasihat hukum untuk membela kepentingan terdakwa.

Hak setiap orang yang kena perkara untuk memperoleh bantuan dari penasihat hukum

(pembela) diakui dalam pasal 35 U.U. Pokok Kehakiman No. 14/1970.

Sejak kapankah terdakwa boleh menghubungi penasihat hukumnya? pasal 36 U.U. Pokok

Kehakiman menentukan "terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan", akan tetapi pasal 38 undang-undang itu menentukan, bahwa hal itu masih akan diatur lebih

lanjut dalam undang-undang, sehingga sebelum undang-undang baru itu berwujud, ketentuan

tentang penasihat hukum sebagaimana tersebut diatas itu belum dapat direalisasikan, dan

sambil menunggu keluarnya undang-undang baru itu, dalam, prakteknya yang dipakai masih

ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam H.I.R.

Sebagaimana ditentukan dalam pasal 254 H.I.R inilah, diterangkan bahwa baru dalam sidang

pengadilan seorang terdakwa itu dapat dibela oleh seorang penasihat hukum.

Pasal ini biasanya diartikan, bahwa penasihat hukum itu barulah dapat mengadakan hubungan

dengan terdakwa yang berada dalam tahanan sementara, apabila surat tuduhan sudah tersusun,

dan setelah itulah hakim menentukan saat kapan pembela mulai dapat menjumpai terdakwa

dalam tahanan dan juga dapat membaca surat-surat pemeriksaan perkara yang berada di kantor

panitera pengadilan.

Terang bahwa menurut hukum yang berlaku sekarang ini, selama pemeriksaan pendahuluan

yang dilakukan oleh polisi dan jaksa, tahanan yang berada tahanan sementara tidak

diperbolehkan memakai seorang penasehat hukum.

Akan tetapi menurut Instruksi Pangkopkamtib No. Ins.03/Kopkam/XI/1978 seorang

tersangka sejak ditangkap/ditahan memperoleh bantuan hukum.

Hubungan dengan pembela dan keluarganya boleh dilakukan sejak hari pertama dan kedua

setelah mereka itu mengetahui tentang penangkapan ini. Hubungan hanya boleh dilakukan

sebelum dan sesudah dilakukan pemeriksaan; selama sedang dilakukan pemeriksaan oleh

Polisi/Jaksa/Oditur tidak diperkenankan didampingi pembela secara pisik.

Dalam hal terdakwa diperkenankan memakai pembela maka ia sendirilah yang harus berusaha

mencarinya, kecuali dalam ketentuan yang tersebut dalam pasal 250 ayat (5) H.I.R. yang

menyebutkan penunjukkan penasihat hukum atau pembela oleh hakim untuk secara Cumacuma memberikan bantuan hukum kepada terdakwa, akan tetapi hal ini hanya mungkin apabila

terdakwa dituduh melakukan tindak pidana yang ada ancaman pidana mati.

Pasal 255

Ketua harus menanya kepada pesakitan namanya, umurnya, tempat kelahirannya, tempat

kediamannya dan pekerjaannya, lagi pula memperingatkan supaya memperhatikan apa-apa

yang akan didengarnya.

Penjelasan:

Yang dimaksudkan "pesakitan" yaitu terdakwa atau tertuduh. Kepada tertuduh ditanyakan

tentang identitasnya, seperti nama, umur, tempat kelahiran dan lain-lain.

Tentang nama harus dengan selengkap-lengkapnya dengan menyebutkan pula orang tuanya

(bin) atau nama lain (alias). Perlunya disebutkan juga tempat kelahiran, untuk mudah mencari

apabila terdakwa melarikan diri. Kebiasaan orang kalau melarikan diri, bersembunyi di tempat

kelahiran atau asalnya.

Pasal 256

Kemudian ketua memerintahkan supaya jaksa pada pengadilan negeri membacanya terjemahan

surat tuduhan, segala surat pemberitaan pemeriksaan, pertelaan dan segala surat-surat lain yang

berhubungan dengan perkara itu, kecuali surat keterangan saksi.

Penjelasan: Perkataan "terjemahan" di depan "surat tuduhan" harus dipandang tidak tertulis, oleh karena

surat-surat resmi sekarang sudah tertulis dalam bahasa nasional.

"Surat keterangan saksi" yang dimaksud dalam pasal ini ialah pernyataan saksi-saksi dalam

berita acara pemeriksaan pendahuluan.

Menurut bunyi pasal 256 ini maka yang harus dibacakan oleh jaksa itu selain surat tuduhan,

juga semua surat-surat dari laporan-laporan dari bekas perkara, akan tetapi dalam prakteknya

hal ini sama sekali tidak dilakukan, karena mungkin memang tidak berguna, sebab yang perlu

diketahui oleh terdakwa dan khalayak ramai itu adalah isi surat tuduhannya saja, dan memang

yang biasa dibacakan itu hanya surat tuduhannya saja.

Pasal 257

Ketua harus menerangkan isi surat tuduhan dengan jelas kepada pesakitan dan menanyakan

kepadanya, apakah ia mengerti betul akan isinya dan jawaban apakah diberikan atas hal itu.

Pasal 258

Ketua melakukan pemeriksaan, apakah semua saksi-saksi yang dipanggil itu hadir dan memberi

perintah yang perlu akan mencegah, supaya sebelum memberi kesaksiannya, mereka tidak

dapat membicarakan seorang kepada seorang tentang perkara orang yang tersangka.

Pasal 259

Jika seorang saksi atau lebih meninggal dunia, sesudah memberi keterangan dalam

pemeriksaan sementara, atau oleh karena ada halangan yang syah tidak dapat menghadap

persidangan, atau oleh karena jauhnya tempat diamnya atau tempat tinggalnya tidak

dipanggil, maka keterangan yang telah diberikannya itu harus dibacakan.

Jika keterangan itu diberi atas sumpah, maka keterangan itu dihargai sama dengan keterangan

yang diberikan dengan lisan serta dengan sumpah; dalam hal yang lain maka pengadilan

negeri dapat mengindahkan keterangan itu sedemikian patut, menurut timbangannya

dengan memperhatikan peraturan pasal 303.

Penjelasan:

Menurut pasal, 82 maka dalam pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh polisi dan jaksa,

pada waktu diperiksa keterangannya seorang saksi itu tidak disumpah, kecuali kalau diduga ia

tidak akan dapat menghadap persidangan kemudian seperti misalnya sakit keras, luka parah,

tidak punya tempat tinggal tetap, pergi ke luar negeri dan lain sebagainya.

Keterangan saksi dalam pemeriksaan pendahuluan seperti itu yang sudah disumpah terlebih

dahulu, menurut ayat (2) pasal 269, kalau saksi tidak hadir dan dibacakan dalam persidangan

harganya sama dengan bukti "kesaksian" yang syah.

Pasal 260

Jika saksi yang dipanggil itu tidak semuanya hadir maka ketua dapat menunda perkara itu

sampai sidang yang akan datang, yang terdekat, jika pengadilan negeri menimbang bahwa

untuk lengkapnya pemeriksaan hadirnya seorang saksi. yang tidak datang diperlukan; dalam hal

Yang sedemikian ia memberi perintah, supaya saksi yang tak hadir itu dipanggil sekali lagi

untuk menghadap pada persidangan.

Pasal 261 Jika saksi yang tak hadir itu telah dipanggil dengan patut maka ketua dapat memerintahkan,

jika ia mendapat alasan yang cukup untuk menyangka, bahwa tidak datangnya sekali itu dapat

disesalkan kepada ketidakmauannya, maka saksi yang tidak datang itu, dibawa ke muka

pengadilan negeri pada hari persidangan yang ditentukan untuk memeriksa perkara itu.

Pasal 262

Jika seorang saksi dengan tidak ada sebab yang syah enggan mengangkat sumpah, atau enggan

memberitakan yang benar, maka ketua dapat menunda perkara pada persidangan

kemudian, tetapi tidak boleh lebih lama dari empat belas hari.

Dalam hal itu maka saksi itu pada saat itu juga disanderakan atas perintah ketua, dan dibawa

menghadap pengadilan negeri sekali lagi pada persidangan yang akan datang.

Penjelasan:

Perintah ketua pengadilan untuk menyanderakan saksi yang dimaksud dalam pasal ini biasanya

tidak memakai tata-cara atau formalitas. Sudah cukup dengan perintah ketua pengadilan negeri

saja kepada Pemimpin. Lembaga Pemasyarakatan, supaya saksi itu disanderakan sampai pada

hari persidangan yang akan datang.

Pasal 263

Ditiadakan oleh Undang Undang Darurat No. 1/1951.

Pasal 264

Jika seorang yang dipanggil sebagai saksi bersalah melakukan kejahatan pada pasal 224 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana, maka ketua pengadilan negeri menyuruh panitera mencatat

kejadian itu dalam pemberitaan persidangan dam mengirimkan petikan pemberitaan ini kepada

pegawai yang berhak menuntut.

Penjelasan:

Pasal ini menyebutkan pasal 224 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang bunyinya

"Barang siapa yang dipanggil menurut undang-undang akan menjadi saksi, ahli atau juru

bahasa, dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang sepanjang undang-undang harus

dipenuhi dalam jabatan tersebut, dipidana:

1) dalam perkara pidana, dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan,

2) dalam perkara lain, dengan pidana penjara selama-lamanya enam bulan.

Mengenai saksi, kewajiban-kewajiban yang tersebut dalam pasal 224 K.U.H.P. itu ialah untuk

memenuhi panggilan menghadap pada persidangan, memberikan sumpah, dan memberikan

keterangan yang sesungguhnya dari apa yang ia ketahui, sehingga apabila saksi misalnya setelah

disumpah dengan tidak ada alasan yang syah, tidak mau memberikan keterangan, maka di

samping tindakan penyanderaan dalam ayat (2) pasal 262 itu, terhadapnya dapat diadakan

penuntutan pidana melanggar pasal 224 K.U.H.P.

Pasal 265

Saksi itu dipanggil ke dalam seorang demi seorang menurut tertib yang dipandang oleh ketua

sebaik-baiknya.

Ketua menanya pada mereka namanya, umurnya, pekerjaannya, dan tempat diamnya; apakah

mereka mengenal pesakitan, sebelum ia melakukan perbuatan yang menyebabkan

menghadap hakim; apakah mereka itu berkeluarga sedarah, atau berkeluarga semenda dengan orang yang dituduh itu dan dalam berapa pupu kemudian apakah mereka bekerja

pada pesakitan.

Kemudian daripada itu saksi hendaklah disumpah, masing-masing menurut agamanya, akan

menerangkan kebenaran sesungguh-sungguhnya dan tidak lain daripada yang benar dan

setelah itu mereka memberi keterangannya.

Saksi-saksi itu tidak dapat memadaikan dengan bertahan saja pada keterangan yang

diberikannya dahulu.

Penjelasan:

Saksi ditanya tentang "apakah kenal dan apakah bekerja pada terdakwa" itu perlu untuk

menimbang apakah keterangan saksi itu tidak memihak kepada terdakwa.

Saksi ditanya "apakah ada hubungan keluarga dengan terdakwa" adalah perlu untuk

mengetahui apakah saksi mempunyai hak undur diri dari kesaksian atau tidak seperti yang

tersebut dalam pasal 274.

Penyumpahan saksi dilakukan menurut cara agamanya masing-masing. Bagi orang yang tidak

beragama, boleh diganti dengan mengucapkan janji yang harkat dan akibat hukumnya

dianggap sama dengan "'sumpah" (Staatsblad 1920 No.69).

Disini saksi sebelum memberikan keterangannya disumpah terlebih dahulu. Cara pemeriksaan

semacam ini dinamakan penyumpahan secara "promissoris". Ada cara lain, yaitu saksi .baru

disumpah sesudah ia mengucapkan keterangannya. Cara ini disebut penyumpahan secara

"assertoris" yang dulu dipakai dalam pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan

"Landgerecht" yang sekarang menjelma menjadi pengadilan Negeri sidang kecil.

Pada azasnya tiap-tiap saksi dalam sidang pengadilan harus "bersumpah" atau "berjanji", sebab

jikalau tidak demikian, maka bahaya untuk memberikan keterangan yang tidak benar

diperbesar.

Bagaimanakah kalau saksi menolak untuk bersumpah atau berjanji? Kalau hakim berpendapat

bahwa penolakan bersumpah atau berjanji itu tidak berdasar atas alasan-alasan yang syah -

alasan yang syah untuk menolak yaitu misalnya hak untuk mengundurkan diri dari kesaksian,

maka hakim dapat mengundurkan perkara itu sampai hari persidangan yang akan ditentukan

kemudian, tetapi tidak boleh lebih lama dari 14 hari. Dalam hal demikian atas perintah hakim

segera disandera (gijzeling) dan pada sidang yang akan ditetapkan kemudian akan dibawa ke

muka pengadilan negeri sekali lagi. Di samping itu saksi itu, bersalah telah melakukan peristiwa

pidana yang diancam pidana dalam pasal 224 K.U.H.P.

Pasal 266

Pemeriksaan itu dilakukan terus menerus, kecuali dalam hal-hal penundaan diizinkan oleh

aturan undang-undang atau jika ketua menganggap, perlu, karena sebab-sebab yang akan

disebutnya di situ.

Pasal 267

(1) Jika keterangan yang diberikan seorang saksi dalam persidangan berbeda dengan

keterangan yang diberikannya dahulu, maka ketua harus memperingatkan padanya hal

itu, serta ia meminta penjelasan tentang hal itu kepadanya.

(2) Hal ini akan dicatat dalam surat pemberitaan acara.

Pasal 268 Sesudah tiap-tiap kesaksian yang diberikan, maka ketua harus menanyakan pada pesakitan

apakah ia ada keberatan atas kesaksian itu.

Saksi tidak boleh diganggu, sewaktu ia memberi keterangannya.

Akan tetapi pesakitan berhak memajukan pertanyaan dengan perantaraan ketua sesudah

kesaksian itu diberikan dan akan menyebut keberatannya yang dipandangnya baik untuk,

mempertahankan dirinya, baik tentang saksi itu maupun tentang kesaksiannya.

Jika pesakitan dibantu oleh seorang pembela, maka pembela mempunyai hak sedemikian juga.

Ketua dapat minta kepada saksi dan kepada pesakitan segala penjelasan yang dipandangnya

perlu untuk mendapat kebenaran.

Penjelasan:

Setelah memberikan kesaksian, kepada tertuduh ditanya, adakah hal sesuatu mengenai

kesaksian itu yang ia akan kemukakan. Tertuduh, demikian pula pembelanya berhak

mengajukan pertanyaan kepada saksi, akan tetapi harus melalui hakim. Adapun jaksa berhak

mengajukan langsung kepada tertuduh dan saksi, akan tetapi harus minta izin terlebih dahulu

kepada hakim (pasal 272).

Pasal 269

(1) Pertanyaan menjerat tidak dapat ditanyakan dalam persidangan pada pesakitan, atau

pada saksi, dan hakim tidak dapat mengacuhkan atas jawaban yang boleh jadi diberikan

atas pertanyaan menjerat yang sedemikian.

(2) Pertanyaan tentang perkara yang berbukti, yang tidak diakui, atau yang tidak

diberitahukan, oleh orang yang tersangka, atau oleh saksi tetapi dianggap atau disangka

sebagai telah diakui oleh mereka itu, maka pertanyaan itu dipandang seperti pertanyaan

menjerat juga.

Penjelasan:

Menurut pasal ini maka dalam sidang pengadilan, baik kepada tertuduh maupun kepada saksisaksi tidak diperkenankan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menjerat, misalnya

apabila seorang saksi menerangkan, bahwa ia mendengar ada pencuri di dalam rumahnya dan

ketika itu lampu di dalam rumahnya terang menyala, maka apabila ditanyakan kepadanya:

"Apakah yang kamu lihat ketika itu dilakukan oleh tertuduh? pertanyaan ini sifatnya menjerat,

sebab saksi tidak mengatakan, bahwa pencuri itu adalah tertuduh.

Pasal 270

Jika pesakitan tidak menjawab pertanyaan yang dimajukan padanya atau enggan menjawab,

maka ketua harus memperingatkan kepadanya kewajibannya akan menjawab dan sesudahnya

meneruskan pemeriksaan perkara itu.

Penjelasan:

Ketentuan, bahwa ketua harus mengingatkan kepada terdakwa akan "kewajibannya akan

menjawab" menimbulkan kesan seakan-akan seorang terdakwa itu diharuskan menjawab,

sedangkan sesungguhnya kewajiban itu tidak ada sama sekali. Hukum acara pidana Negeri

Belanda pernah menentukan, bahwa hakim dan pegawai penyidik dilarang berusaha

memperoleh suatu keterangan dari terdakwa yang tidak diberikan dengan sukarela. Ditentukan,

bahwa seorang terdakwa diberi "hak bungkam" artinya ia tidak wajib menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan kepadanya. Malahan ditentukan juga bahwa seorang pemberita acara

sebelum memeriksa keterangan seorang terdakwa, terlebih dahulu harus memberitahukan adanya hak bungkam itu kepadanya, pemberitahuan mana harus dicatat dalam berita acaranya,

akan tetapi ketentuan ini telah dihapuskan.

Adapun H.I.R. tidak dengan tegas memberikan "hak bungkam" kepada terdakwa, malahan

dalam pasal 270 ini menyebutkan, bahwa apabila terdakwa dalam sidang pengadilan tidak

menjawab suatu pertanyaan, maka hakim harus memperingatkan kepadanya akan kewajiban

terdakwa untuk menjawab, akan tetapi sanksi atas hal ini tidak ada. Hanya apabila terdakwa

mengeruhkan jalannya persidangan dengan tindakan-tindakan yang tidak pantas, hakim dapat

mengusir terdakwa keluar dari persidangan, dan pemeriksaan perkara dilanjutkan tanpa

hadirnya terdakwa (pasal 271).

Pasal 271

Jika pesakitan, karena kelakuannya yang tidak senonoh mengganggu ketertiban persidangan,

maka ketua memperingati supaya mesti tenteram dan jika peringatan itu tidak berhasil, maka ia

disuruh bawa keluar tempat persidangan dan pemeriksaan perkara diteruskan dan diputuskan,

seperti pesakitan itu masih turut hadir segala hal itu tidak mengurangi penuntutan kejahatan

yang diperbuat oleh pesakitan dalam persidangan.

Pasal 272

Anggota-anggota pengadilan negeri

), jaksa pada pengadilan negeri dan penasehat berhak juga

mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang dipandangnya perlu untuk memperoleh

kebenaran kepada saksi-saksi dan kepada orang pesakitan, asal saja dimintanya izin lebih

dahulu kepada ketua.

Biarpun begitu ketua masih berkuasa akan mencegah jawaban segala pertanyaan yang

demikian, jika menurut pendapatnya pertanyaan itu tidak dapat dimajukan atau tidak

senonoh.

Ketua dapat juga menolak permintaan yang dikemukakan oleh pesakitan, untuk

menyampaikan pertanyaan kepada saksi.

Pasal 273

(1) Tiap-tiap saksi tinggal menghadiri persidangan sesudah memberi kesaksiannya, kecuali

jika ketua mengizinkan kepadanya mengundurkan diri.

(2) Izin itu tidak akan diberikan, jika jaksa pada pengadilan negeri atau pesakitan

menghendaki, supaya saksi itu tetap tinggal menghadiri persidangan.

(3) Saksi-saksi tidak dapat bercakap-cakap seorang kepada seorang di dalam persidangan.

Pasal 274

Dengan memperhatikan apa yang ditentukan dalam pasal yang berikut di bawah ini, maka

tidak dapat didengar sebagai saksi dan dapat meminta mengundurkan diri sebagai saksi:

Keluarga sedarah atau keluarga semenda dalam turunan ke atas atau ke bawah dari pesakitan

atau dari salah seorang yang turut serta menjadi pesakitan;

Suami atau isteri dari pesakitan atau dari salah seorang atau perempuan dari pesakitan atau dari

salah seorang yang turut serta menjadi pesakitan; lagi pula saudara ibu atau saudara bapa

Pada waktu sekarang hakim pengadilan negeri tidak lagi ber-anggauta. baik laki-laki, maupun perempuan, juga yang karena perkawinan, dan anak saudara lakilaki dan anak saudara perempuan.

Suami atau isteri dari pesakitan atau dari salah seorang yang turut serta menjadi pesakitan,

biarpun telah bercerai;

Budak yang telah dibebaskan oleh pesakitan atau oleh salah seorang yang serta menjadi

tertuduh

.(

Penjelasan:

Sebagaimana antara lain ternyata dalam pasal 80, maka menjadi saksi dalam suatu perkara

pidana itu merupakan suatu kewajiban dan apabila dilalaikan ada sanksinya, akan tetapi tidak

semua orang wajib menjadi saksi. Dalam pasal 274 ini disebutkan beberapa golongan orangorang yang dikecualikan untuk itu. Mereka itu yang biasa disebut "relatief onbevoegde

getuigen" (saksi yang mempunyai hak undur diri relatif dari memberikan kesaksian), umumnya

tidak diperiksa menjadi saksi dan berhak meminta dibebaskan dirinya dari memberikan

kesaksian. "Relatief" maksudnya, bahwa tidak selamanya. mereka itu dibebaskan, sebab apabila

jaksa, terdakwa dan ia sendiri, ketiga-tiganya, tidak menaruh keberatan untuk memberikan

kesaksian, mereka itu dapat pula didengar keterangannya sebagai saksi (pasal 275).

Golongan-golongan orang itu ialah yang disebutkan pada sub. 1, 2, 3 dan 4 dari pasal ini, akan

tetapi sub.4 harus dianggap tidak berlaku lagi, oleh karena perbudakan di Indonesia sudah

sejak tahun 1860 tidak ada lagi (pasal 169 Indische Staatsregeling, lihat pula pasal 10 Undangundang Dasar Sementara).

Pasal 275

Jika jaksa pada pengadilan negeri dan pesakitan bersama-sama dengan tegas mengizinkan,

maka orang-orang yang tersebut pada pasal di atas ini, dapat juga dikabulkan memberi

kesaksian asal mereka turut meluluskan.

Orang itu dapat diluluskan oleh pengadilan negeri untuk memberi keterangan dengan tidak

bersumpah, biarpun tidak ada izin itu.

Pasal 276

(1) Budak

) dari pesakitan, yang dipanggil menjadi saksi untuk memberatkan atau

membebaskan tuannya, tidak dapat diperiksa, jika jaksa pada pengadilan negeri dan

pesakitan dengan tegas tidak mengizinkan, atau dalam hal perlawanan, jika pengadilan

negeri sesudah mufakat, memberi perintah akan memeriksa budak itu.

(2) Aturan ayat penghabisan dari pasal 275, berlaku dalam hal ini.

Penjelasan:

Pasal ini harus dianggap tidak ada gunanya lagi, oleh karena semenjak tahun 1860 perbudakan

sudah tidak ada lagi (pasal 169 Indische Staatsregeling, lihat pula pasal 10 U.U. Dasar

Sementara).

Pasal 277

Semenjak tahun 1860 perbudakan sudah tidak ada lagi (ps. 169 I.S.)

Semenjak tahun 1860 perbudakan sudah tidak ada lagi (ps. 169 I.S.) Orang-orang, yang diwajibkan menyimpan rahasia karena kedudukannya, pekerjaannya, atau

jabatannya yang sah dapat meminta mengundurkan diri dari memberikan kesaksian;

akan tetapi hanya mengenai hal yang diketahui dan dipercayakan kepadanya itu saja.

Pertimbangan apakah permintaan mengundurkan diri itu beralasan atau tidak terserah pada

ketua pengadilan negeri.

Penjelasan:

Dalam pasal ini disebutkan golongan orang-orang yang dapat minta dibebaskan dari

memberikan kesaksian. Mereka ini ialah orang-orang yang karena martabat, pekerjaan dan

jabatannya yang syah diwajibkan menyimpan rahasia, akan tetapi pembebasan ini hanyalah

mengenai hal-hal yang diberitahukan kepadanya karena martabat, pekerjaan dan jabatannya itu,

seperti misalnya pendeta atau pastur harus menyimpan rahasia umat katolik yang disampaikan

kepadanya sebagai pengakuan dosa, seorang notaris yang harus menyimpan rahasia

langganannya yang sengaja diberitahukan kepadanya. Seorang dokter yang wajib menyimpan

rahasia penyakit pasiennya dan lain sebagainya. Diberikan atau tidaknya pembebasan itu sama

sekali terletak pada kekuasaan hakim.

Berhubung dengan pasal 277 ini lihatlah pasal 322 K.U.H.P. dimana diancam dengan pidana

penjara paling tinggi 9 bulan atau denda paling tinggi Rp. 9.000,- barang siapa yang dengan

sengaja memberitahukan sesuatu rahasia yang ia diwajibkan menyimpan, baik dalam hubungan

jabatannya atau pekerjaannya yang sekarang atau yang dahulu.

Pasal 278

Hanya dapat diperiksa untuk memberi keterangan dengan tidak mengangkat sumpah;

1o. anak-anak, yang belum diketahui dengan pasti apakah umurnya sudah sampai lima belas

tahun;

2o. orang gila, meskipun kadang-kadang ia dapat memakai ingatannya dengan terang.

Penjelasan:

Jikalau pasal 274 menyebutkan golongan saksi "relatief onbevoegde getuigen" (orang-orang

yang mempunyai hak undur diri relatif diri memberikan kesaksian), maka pasal 278 ini

menyebutkan golongan saksi "absolut onbevoegde getuigen" (orang-orang yang senantiasa

dibebaskan dari memberikan kesaksian). Golongan orang-orang ini adalah:

1) Anak-anak yang belum diketahui dengan pasti umurnya sudah sampai lima belas tahun

(mereka ini dibebaskan, karena masih mudah dipengaruhi oleh orang lain, sehingga

keterangannya tidak tetap),

2) orang gila, walaupun kadangkala ingatannya terang (mereka ini dibebaskan karena

ingatan dan keterangannya tidak tetap, tidak boleh dipercaya).

Mereka itu hanya dapat diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah, artinya

keterangannya tidak bernilai sebagai bukti "kesaksian" tetapi hanya sebagai penjelasan saja.

Pasal 279

Pesakitan berhak meminta, sesudah saksi-saksi memberi kesaksiannya, supaya saksi yang

ditunjukkannya dikeluarkan dari persidangan, dan supaya seorang saksi atau lebih

disuruh masuk kembali dan diperiksa lagi, baik sendiri-sendiri, maupun dihadapan

seorang kepada seorang.

Jaksa pada pengadilan negeri mempunyai hak sedemikian juga.

Ketua, oleh karena jabatannya, juga dapat memberi perintah serupa itu. Pasal 280

Ketua dapat menyuruh seorang pesakitan atau pesakitan yang lebih ke luar dari persidangan,

sewaktu diperiksa seorang saksi atau sesudah itu, dan menanyai pada saksi itu sendiri-sendiri

tentang beberapa hal dalam perkara itu, akan tetapi sesudah itu pemeriksaan perkara tidak

dapat diteruskan sebelum diberitahukan kepada tiap-tiap pesakitan segala yang kejadian pada

waktu ia tidak hadir itu.

Pasal 281

(1) Pada waktu saksi memberi kesaksian atau sesudah itu, maka ketua memperlihatkan

kepada pesakitan segala barang-barang yang dapat membuktikan dan menanyakan

kepadanya, apakah ia mengenal barang itu.

(2) Ketua akan memperlihatkan juga barang-barang itu kepada saksi, jika ada alasan untuk

itu.

Pasal 282

Jika pada pemeriksaan itu dapat diketahui beberapa hal yang tidak disebut dalam surat

tuduhan, tetapi yang menurut undang-undang dapat menjadi alasan akan memberatkan

hukuman maka ketua berkuasa lagi menambah tuduhan mengenai hal itu.

Jika di luar hal yang tersebut pada ayat di muka ini ketua menimbang, bahwa tuduhan harus

diubah, maka ia berkuasalah mengubahnya, meskipun karena perubahan tuduhan itu

perbuatan yang tidak dapat dihukum, menjadi perbuatan pidana; akan tetapi perubahan,

yang menyebabkan isi tuduhan itu menjadi perbuatan lain, menurut arti pasal 76 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana tidak diperbolehkan.

Ketua memberitahukan perubahan surat tuduhan yang tersebut pada segala ayat di atas ini

kepada pesakitan serta memberi kesempatan pula kepadanya akan mengeluarkan

keterangannya tentang itu, jika yang demikian tidak diperbuatnya, maka pengadilan

negeri tidak akan memperhatikannya.

Jika pesakitan memberi keterangan yang dapat diterima, bahwa karena perubahan itu perlu

diberi tempo kepadanya guna pertahanannya maka pengadilan negeri menunda

pemeriksaan buat waktu yang ditentukan lamanya.

Perubahan lain pada tuduhan itu daripada yang diizinkan menurut pasal ini, dianggap seperti

tidak diperbuat.

Penjelasan:

Perubahan dalam surat penyerahan perkara oleh hakim yang menurut undang-undang dapat

menyebabkan pidana lebih berat yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini misalnya apabila

ternyata bahwa penganiayaan biasa yang tersebut dalam pasal 251 (1) K.U.H.P. tidak dilakukan

dengan sengaja saja, akan tetapi juga dengan "direncanakan lebih dahulu" (pasal 253 ayat 1),

atau umpamanya lagi jika ternyata bahwa pencurian yang dilakukan itu, bukan dilakukan pada

siang hari, akan tetapi pada malam hari di dalam rumah dengan jalan membongkar

(bandingkan pasal 362 pencurian biasa dan pasal 362 jo 363 sub 3 dan sub.4 K.U.H.P.

pencurian dengan pemberatan).

Perubahan surat penyerahan perkara oleh hakim yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini ialah

dari "bukan peristiwa pidana" menjadi "peristiwa pidana", misalnya jika ternyata, bahwa orang

dewasa melakukan perbuatan cabul dengan orang yang sudah dewasa dari jenis kelamin yang

sama (bukan peristiwa pidana), orang yang terakhir ini umurnya kurang dari 21 tahun dan belum pernah kawin (belum dewasa), sehingga peristiwanya menjadi peristiwa pidana yang

diancam pidana dalam pasal 292 K.U.H.P.; akan tetapi jika perubahan-perubahan itu

mengakibatkan, bahwa, tuduhan itu tidak lagi mengandung perubahan (felt) itu juga dalam arti

menurut pasal 76 KU.H.P., maka perubahan-perubahan itu tidak dapat diizinkan.

Perubahan menurut bunyi ayat (5) dari pasal 282 yang tidak boleh dilakukan misalnya tuduhan

"mencuri" diganti dengan "menggelapkan". Menurut ayat (3) pasal ini maka hakim

memberitahukan perubahan-perubahan tuduhan yang dimaksud dalam ayat-ayat di atas kepada

terdakwa, yang kemudian diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya tentang hal itu,

dan jika hal itu tidak diberitahukan kepada terdakwa maka hakim tidak boleh memperhatikan

perubahan-perubahan itu.

Menurut ayat (4) maka jika dapat dijelaskan bahwa ia karena perubahan-perubahan itu untuk

kepentingan pembelaannya membutuhkan penundaan pemeriksaan, maka hakim

mempertangguhkan pemeriksaan perkara itu untuk waktu yang tertentu.

Pasal 283

(1) Jika keterangan seorang saksi disangka palsu dihadapan persidangan, maka ketua harus

memperhatikan dengan sungguh-sungguh untuk menerangkan kebenaran dan

mengingatkan kepadanya hukuman, yang dapat dijatuhkan padanya, jika ia tetap

memberikan keterangan yang tidak benar.

(2) Jika saksi biarpun demikian tetap juga pada keterangannya yang disangka palsu itu, maka

pengadilan negeri baik karena jabatannya maupun atas permintaan pada pengadilan

negeri atau atas permintaan pesakitan, dapat memberi perintah supaya saksi yang

demikian itu dimasukkan dalam tahanan sementara; kemudian perkara itu diperiksa,

menurut peraturan undang-undang.

(3) Dalam hal yang demikian, maka dengan segera diperbuat oleh panitera pemberitaan

acara yang berisi keterangan saksi itu, dengan menyatakan dasar-dasar yang menurut

sangkaan palsu itu.

(4) Jika kepentingan perkara itu menghendaki, maka ketua dapat, menunda pelanjutan itu

sampai pemeriksaan pada saksi itu berkesudahan.

(5) Jika jaksa pada pengadilan negeri menimbang bahwa tidak cukup alasan untuk menuntut

saksi itu, sesudah dilakukan pemeriksaan sementara, maka dengan segera

diberitahukannya hal itu pada ketua pengadilan negeri.

(6) Dihapuskan menurut Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951. (Lembaran Negara

No. 9/1951).

Penjelasan:

Apa yang tersebut dalam pasal ini ialah merupakan suatu kejadian yang kadang-kadang terjadi

dalam praktek pengadilan, bahwa suatu perkara pidana dapat menghambat jalannya

pemeriksaan perkara pidana yang lain, sebab menurut pasal ini, jikalau seorang saksi disangka

memberikan keterangan dengan sengaja yang bertentangan dengan hal yang sebenarnya dan

Ketua Pengadilan negeri memerintahkan supaya saksi itu dituntut karena melakukan sumpah

palsu, maka persidangan perkara yang semula boleh ditangguhkan terlebih dahulu sampai pada

selesainya pemeriksaan perkara saksi melakukan sumpah palsu itu.

Pasal 284

Jika pesakitan atau seorang saksi tidak paham akan bahasa yang dipakai dalam pemeriksaan

pengadilan itu, maka ketua harus mengangkat seorang juru bahasa dan menyuruh orang itu bersumpah jika ia bukan juru bahasa pengadilan negeri yang memang sudah

bersumpah, bahwa ia akan menterjemahkannya dengan tulus dari satu bahasa ke bahasa

yang lain.

Barang siapa yang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara, maka ia tidak juga boleh

menjadi juru bahasa dalam perkara itu.

Penjelasan:

Pasal ini mengatur tentang penggunaan juru bahasa atau penterjemah dalam sidang

pemeriksaan perkara. Kalau seorang terdakwa atau saksi tidak mengerti bahasa Indonesia yang

dipakai dalam pemeriksaan itu dapat digunakan juru bahasa yang mengerti bahasa mereka itu.

Juru bahasa ini harus bersumpah terlebih dahulu di muka persidangan, kecuali kalau ia seorang

penterjemah pada pengadilan negeri itu sendiri yang sudah mengangkat sumpah jabatan.

Menurut ayat (2) orang yang tidak boleh menjadi saksi, juga tidak diperbolehkan untuk

menjadi juru bahasa, walaupun ia cakap dalam bahasa yang dibutuhkan.

Pasal 285

(1) Jika pesakitan itu bisu tuli dan tidak pandai menulis maka ketua mengangkat sebagai juru

bahasa orang yang pandai betul bergaul dengan orang yang dituduh itu asal saja orang

itu sudah cukup umurnya untuk memberikan kesaksian.

(2) Demikian pula harus diperbuat, jika seorang saksi bisu dan tidak pandai menulis.

(3) Jika orang yang bisu tuli itu pandai menulis maka ketua harus menyuruh menuliskan

segala pertanyaan atau teguran padanya, dan menyuruh menyampaikan tulisan kepada

pesakitan atau saksi yang bisu tuli itu dengan perintah akan menuliskan jawabannya atas

itu, kemudian semuanya itu harus dibacakan.

(4) Aturan dari pasal ini berlaku juga buat orang-orang yang untuk sementara tidak dapat

mendengar atau bertutur.

Penjelasan:

Pasal ini mengatur tentang "juru-bahasa" bagi terdakwa atau saksi yang bisu dan tuli yang tidak

pandai menuliskan kehendaknya, sehingga biasanya menyatakan kehendaknya dengan "bahasa

isyarat".

Dalam hal ini yang diangkat oleh ketua pengadilan negeri sebagai "juru bahasa" yaitu orang

yang pandai bergaul (bicara dengan bahasa isyarat) dengan tersangka atau saksi yang bisu dan

tuli itu dengan syarat bahwa orang itu sudah cukup umurnya akan menjadi saksi (cukup 15

tahun, lihat pasal 278).

Pasal 286

Segala aturan yang ada dalam hal ini mengenai saksi-saksi berlaku juga mengenai orang-orang

ahli, tetapi orang-orang ahli itu hendaklah disumpah menurut pasal 83b.

Tiap-tiap orang yang dipanggil sebagai ahli, wajib memberikan tenaganya bagi pengadilan.

Orang itu juga, dapat didengar sebagai saksi dan sebagai ahli, asal saja sebelum sumpah

dijalankan, diperingatkan kepadanya bahwa ia disumpah untuk kedua hal itu.

Ketua dapat memerintahkan kepada kepala daerah dari daerah tempat diam atau tempat

tinggal dari ahli itu untuk mengambil sumpahnya dan mendengarnya menurut

pertanyaan-pertanyaan yang diberikan.

Kepala Daerah mengirim pemberitaan penyumpahan itu dengan tertutup dan bermeterai

kepada pengadilan negeri. Pemberitaan acara itu harus dibacakan.

Penjelasan:

Pasal ini menentukan, bahwa semua peraturan mengenai saksi berlaku juga bagi orang ahli,

akan tetapi orang ahli harus bersumpah menurut pasal 83 b, berarti bahwa orang ahli selain

bersumpah sebagai saksi di depan sidang pengadilan, juga harus bersumpah sebagai orang ahli

di muka jaksa atau jaksa pembantu yang bersangkutan.

Ayat (2) menentukan, bahwa orang yang dipanggil sebagai orang ahli berwajib menyediakan

tenaganya yang berarti bahwa tiap-tiap orang yang dipanggil untuk memberi bantuan kepada

justisi sebagai orang ahli atau dokter, wajib memberikan bantuan itu. Kalau ia dengan sengaja

tidak memenuhi kewajiban itu, dapat dituntut di muka pengadilan atas dasar pasal 216

K.U.H.P.

Pasal 287

(1) Ketua dapat menyuruh memanggil orang lain daripada saksi dan orang ahli yang sudah

dipanggil, selagi pemeriksaan dijalankan, pun juga dengan perintah akan menghadap

persidangan dengan segera, dan dapatlah ia memeriksa orang-orang itu dengan

mengangkat sumpah.

(2) la dapat juga meminta pertelaan yang dikehendaki dari orang-orang ahli dan menyuruh

mengadakan surat keterangan baru, disebabkan keterangan yang diberikan oleh

pesakitan atau saksi dalam persidangan, supaya perkara itu lebih terang.

(3) Tentang meminta pertelaan dari orang yang ahli maka berlaku ketentuan pada pasal 83a.

Pasal 288

Dalam perkara pidana tentang memalsukan surat, maka orang ahli yang tersebut pada pasal

83b dapat didengar sekali lagi dalam persidangan atas sumpahnya yang dahulu.

Pasal 289

Sesudah semua saksi diperiksa, maka hakim memeriksa pesakitan dengan menyatakan padanya

segala hal-hal yang memberatkan padanya, sebagai hasil pemeriksaan dalam persidangan.

Jika pesakitan-pesakitan lebih dari seorang di dalam perkara itu juga, maka mereka

diperiksanya menurut tertib yang terlebih baik dipandangnya.

Hakim dapat juga memeriksa pesakitan itu sewaktu menjalankan pemeriksaan pada saksi, jika

ditimbangnya perlu.

Lagi pula jika pesakitan lebih dari seorang, maka hakim dapat menyuruh ke luar pesakitan itu,

baik seorang atau lebih, untuk memeriksa yang lain pada waktu yang disuruh ke luar itu

tidak hadir.

Penjelasan:

Pasal ini menentukan, bahwa sesudah semua saksi diperiksa, kemudian beralih kepada

memeriksa terdakwa. Kalau terdakwanya terdiri lebih dari seorang, maka pemeriksaan

dilakukan berturut-turut menurut tertib yang ditentukan oleh hakim.

Kalau dalam pemeriksaan terdakwa minta supaya diperiksa saksi-saksi yang meringankan

kepadanya (saksi a decharge), haruslah semuanya itu didengarnya.

Pasal 290 Sesudah pemeriksaan itu, jaksa berbicara dan dibacakannya surat tuntutan, yang diserahkannya

kepada Pengadilan negeri. Atas surat tuntutan itu pesakitan dan pembelanya dapat

menjawabnya. Jaksa dapat berbicara buat kedua kalinya, tetapi pesakitan, dan

pembelanya selalu dapat berbicara terakhir sekali.

Pembela dalam hal itu wajib memperhatikan kehormatan pengadilan. Jika lupa akan itu maka

hakim harus memperingatkannya, dan juga mengulang-ulangnya lagi, maka ia disuruh

diam, hal itu tidak mengurangi hak hakim akan menjatuhkan hukuman kepadanya, jika

ada alasannya.

Penjelasan:

Pasal ini menentukan, bahwa setelah selesai pemeriksaan saksi-saksi dan terdakwa, jaksa

membacakan surat tuntutannya (rekuisitornya) dan sesudahnya menyerahkan surat ini kepada

ketua. Kemudian terdakwa atau/dan pembelanya mengucapkan pembelaannya.

Atas pembelaan itu jaksa mengajukan jawabannya, Akhirnya terdakwa/pembela diberi

kesempatan untuk menjawab lagi, demikian juga jaksa, ganti berganti seterusnya, tetapi

terdakwa/pembela mengucapkan kata yang terakhir.

Ayat (2) menentukan, bahwa pembela wajib menghormati pengadilan, jika terjadi berulangulang kurang hormat ia disuruh diam dan kalau perlu diambil tindakan menurut hukum oleh

hakim.

Pasal 291

(1) Jika hal ini semua telah selesai, maka hakim menyatakan bahwa pemeriksaan itu ditutup.

(2) Pesakitan-pesakitan, saksi-saksi dan peninjau disuruh ke luar dan setelah jaksa juga

meninggalkan tempat itu, maka pengadilan negeri bermusyawarat.

(3) Jika hakim menimbang, bahwa perkara itu tidak dapat diputuskan pada waktu itu juga,

maka dapatlah ia menunda pemberian keputusan sampai pada hari persidangan yang

pertama sesudah itu.

(4) Penundaan itu pada saat itu juga diucapkan dalam persidangan umum.

Penjelasan:

Apabila pemeriksaan semua telah selesai, maka jaksa, terdakwa, pembela, saksi-saksi dan

penonton meninggalkan persidangan, kemudian dalam sidang tertutup majelis hakim

bermusyawarah (dalam hal hakim tunggal, musyawarah ini tidak perlu), untuk mengambil

keputusan.

Akhirnya sidang dibuka kembali untuk diucapkan bunyi keputusan. Biasanya bunyi keputusan

ini ditunda untuk diucapkan dalam sidang tersendiri yang ditentukan di kemudian dan terbuka

untuk umum.

Bagian Ketiga

TENTANG PERMUSYAWARATAN, BUKTI DAN KEPUTUSAN

Pasal 292

Pengadilan negeri harus meminta pendapat penasehat

yang dimaksud pada pasal 7 Reglemen

tentang aturan hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan justisi di Indonesia berhubung

Di dalam praktek penasehat-penasehat tersebut tidak hadir pada persidangan pengadilan negeri dan oleh

karenanya tidak dilakukan setepat peraturan ini.dengan surat tuduhan dan yang kenyataan dari pemeriksaan pada persidangan, perihal

kesalahan pesakitan tentang perbuatan-perbuatan yang dituduhkan tentang patut

tidaknya dihukum, dan berat ringannya hukuman itu menurut hukum agamanya, adat

dan istiadat dan kemudian bermusyawarat tentang hal-hal yang berikut:

Perbuatan mana yang sudah terbukti karena pemeriksaan pengadilan;

telah terbuktilah, bahwa pesakitan itu salah tentang perbuatan itu;

kejahatan apakah yang dilakukan oleh karena itu;

hukuman manakah yang mesti dijatuhkan pada pesakitan;

Dicabut menurut Staatsblad 1941 No. 32.

Penjelasan:

Dalam praktek sekarang ini "penasehat" yang dimaksud itu tidak hadir ada persidangan

pengadilan negeri dan oleh karenanya ketentuan tersebut tidak dilakukan setepat itu.

Permusyawaratan itu dilakukan, apabila pengadilan negeri bersidang dalam majelis. Apabila

pengadilan negeri itu terdiri atas hakim tunggal, maka permusyawaratan itu tidak dilakukan.

Pasal 293

Tentang bukti, pengadilan negeri harus memperhatikan peraturan-peraturan pada sembilan

belas pasal yang berikut.

Pasal 294

(1) Tidak akan dijatuhkan hukuman kepada seorangpun jika hakim tidak mendapat

keyakinan dengan upaya bukti menurut undang-undang bahwa benar telah terjadi

perbuatan pidana dan bahwa pesakitan salah melakukan perbuatan itu.

(2) Atas persangkaan saja atau bukti-bukti yang tidak cukup, tidak seorangpun yang dapat

dihukum.

Penjelasan:

Untuk memutuskan perkara telah diadakan peraturan-peraturan tentang pembuktian dalam

bagian ini peraturan-peraturan itu meliputi:

macamnya alat-alat bukti yang manakah yang boleh dipakai oleh hakim.

cara memakai alat-alat bukti, artinya dengan cara bagaimanakah hakim boleh mempergunakan

alat-alat bukti itu, dan

kekuatan alat-alat bukti, ialah ketentuan-ketentuan banyaknya alat-alat bukti yang harus ada

untuk menetapkan kesalahan terdakwa.

Dalam ilmu pengetahuan kita jumpai 4 macam teori atau sistem pembuktian, yaitu:

1) Sistem pembuktian menurut undang-undang yang positif. Sistem ini berkembangnya di

abad pertengahan, sekarang sudah ditinggalkan. Menurut sistem ini salah atau tidak

salahnya terdakwa sepenuhnya bergantung pada ada atau tidak adanya sejumlah alat

bukti yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Keyakinan hakim tidak turut ambil bagian

sama sekali.

2) Sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif.

Menurut sistem ini hakim hanya dapat menjatuhkan pidana, apabila sedikit-dikitnya

jumlah alat-alat bukti yang telah ditetapkan dalam undang-undang ada, ditambah dengan

keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya. Walaupun alat-alat bukti cukup dan lengkap, jikalau hakim tidak yakin atas

kesalahan terdakwa, maka perkara diputus bebas.

3) Sistem pembuktian bebas, Menurut sistem ini undang-undang tidak menetapkan

peraturan tentang pembuktian yang harus ditaati oleh hakim. Sudah barang tentu sistem

ini juga menganggap adanya alat-alat bukti tertentu, akan tetapi alat-alat bukti itu tidak

ditetapkan dalam undang-undang seperti sistem ke 1 dan ke 2 di atas. Dalam

menentukan macam dan banyaknya alat-alat bukti yang dipandang cukup untuk

menetapkan kesalahan terdakwa, hakim mempunyai keleluasaan yang penuh. Ia bebas

untuk menetapkan itu, satu-satunya peraturan yang mengikat kepadanya ialah bahwa

dalam keputusannya ia harus menyebutkan pula alasan-alasannya.

4) Sistem pembuktian atas keyakinan belaka. Menurut sistem ini hakim tidak terikat kepada

alat-alat bukti yang tertentu, ia memutus tentang kesalahan terdakwa belaka berdasarkan

atas keyakinannya. Kalau sistem ke 3 hakim masih diikat dengan: "menyebutkan alasanalasan" keputusannya, maka menurut sistem yang terakhir ini hakim bebas dari

keharusan itu.

Sistem yang manakah yang sekarang ini dianut di Indonesia? Jika kita membaca isi pasal

294 ini maka akan kita ketahui, bahwa hukum acara pidana di negara kita memakai

sistem "menurut undang-undang yang negatif" (lihat pula pasal 298).

Tidak sebuah alat pun akan mewajibkan mempidana terdakwa, kalau hakim tidak

sesungguhnya berkeyakinan akan kesalahan terdakwa. Sebaliknya keyakinan hakim saja

dengan tidak adanya alat-alat bukti yang syah menurut hukum tidak cukup untuk

menetapkan kesalahan terdakwa.

Pasal 295

Sebagai upaya bukti menurut undang-undang hanya diakui:

1o. kesaksian-kesaksian

2o. surat-surat

3o. pengakuan

4o. isyarat-isyarat.

Penjelasan:

Yang dianggap sebagai bukti yang syah hanyalah empat macam alat bukti yang disebutkan

dalam pasal ini. Selain dari empat macam ini tidak dianggap syah, umpamanya: sangkaan

belaka, hasil nujum perdukunan yang lazim dipraktekkan di kampung-kampung seperti

misalnya melihat tanda-tanda dalam sebuah primbon, melihat gambar di kuku yang telah dicat

hitam oleh anak-anak kecil dan lain sebagainya.

Kesaksian-kesaksian sebagai bukti.

Yang dimaksud kesaksian yaitu keterangan lisan seorang, di muka sidang pengadilan, dengan

disumpah lebih dahulu, tentang peristiwa tertentu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri.

Kesaksian yang tidak dilihat sendiri, akan tetapi mengenai hal-hal yang dikatakan oleh orang

lain bukanlah merupakan kesaksian yang syah. Kesaksian seperti ini biasa disebut saksi "de

auditu".

Tiap-tiap orang yang tidak dikecualikan dalam undang-undang wajib memberikan kesaksian

(pasal-pasal 80 dan 262 H.I.R. dan 224 K.U.H.P.). Siapa yang dikecualikan itu ditentukan

dalam pasal-pasal 274, 275, 277 dan 278 H.I.R. Keterangan saksi itu harus diberikan di muka sidang pengadilan, jadi bukan di muka polisi atau

jaksa, kecuali dalam hal tersebut dalam pasal 259 H.I.R. yang menentukan, bahwa keterangan

orang yang diberikan dengan sumpah dalam pemeriksaan pendahuluan oleh polisi dan jaksa

pun dapat dianggap sebagai kesaksian, apabila itu tidak dapat menghadap sidang pengadilan,

karena meninggal dunia atau tidak dipanggil sebab jauh tempat tinggalnya, dan keterangan itu

dibacakan di muka persidangan.

Keterangan orang tidak atas sumpah tidak dianggap sebagai alat bukti yang syah (pasal 303).

Surat-surat sebagai bukti.

Surat-surat sebagai bukti ditentukan dalam pasal-pasal 304, 305 dan 306 H.I.R. Pasal 304

menentukan, bahwa peraturan tentang kekuatan bukti surat-surat umum dan surat-surat

khusus dalam perkara perdata harus diperhatikan pula terhadap bukti dalam perkara pidana.

Bukti surat-surat dalam perkara perdata terdiri atas surat-surat otentik dan surat-surat bawah

tangan (pasal 187 Burgelijk Wetboek).

Surat-surat otentik yaitu surat-surat yang dibuat dalam bentuk menurut undang-undang oleh

atau dengan disaksikan oleh pejabat umum (notaris, jaksa, polisi, wedana, camat, juru-sita dan

lain sebagainya), yang di tempat surat itu dibuat, berkuasa untuk itu (pasal 1868 Burgerlijk

Wetboek dan 165 H.I.R.).

"Dibuat oleh" artinya, bahwa pegawai itu sendirilah yang melakukan sesuatu perbuatan,

umpamanya pegawai polisi membuat berita acara pendapatan.

"Dibuat dengan disaksikan oleh" artinya bahwa pegawai itu hanya menyebutkan (menuliskan)

saja dalam surat itu hal-hal yang diberitahukan kepadanya oleh orang lain, misalnya pegawai

polisi membuat berita-acara pemberitahuan atau pengaduan, atau seorang notaris membuat

surat wasiat atau surat perjanjian untuk orang-orang yang menghadap kepadanya.

Surat-surat bawah tangan yaitu surat-surat yang dibuat dengan sengaja untuk membuktikan

suatu pernyataan maksud, perbuatan hukum atau perjanjian yang tertentu, tidak dengan

perantaraan pegawai umum, ditandatangani oleh orang atau orang-orang yang menyatakan

maksud, perbuatan hukum atau perjanjian tersebut, misalnya surat perjanjian jual-beli tanah,

sewa-menyewa dan lain sebagainya yang dibuat dan ditandatangani tidak di muka pegawai

umum.

Kekuatan surat-surat otentik dan surat-surat bawah tangan itu pada umumnya dapat dikatakan

sama, hanya apabila ada sangkaan dari pihak lain, bahwa tanda tangan yang ada di situ palsu,

maka bagi surat otentik pihak yang menyatakan palsu itu harus membuktikan kepalsuannya itu,

sedangkan bagi surat bawah tangan pihak yang mengatakan palsu itu tidak usah membuktikan,

tetapi sebaliknya pihak yang mendasarkan atas surat itu harus membuktikan, bahwa tanda

tangan itu betul tidak palsu.

Surat-surat sebagai bukti, baik yang berupa surat otentik, maupun yang berwujud surat bawah

tangan, adalah misalnya: surat kelahiran, surat nikah, surat ijazah, surat wasiat, surat perjanjian

hutang, surat perjanjian beli-sewa, surat muatan, surat neraca, surat kapal, obligasi, visum et

repertum, surat keterangan Lembaga Kriminologi pada Universitas Indonesia, surat dari

Laboratorium dari Markas Besar Kepolisian di Kebayoran Baru Jakarta dan lain sebagainya.

Pengakuan sebagai bukti.

Pengakuan yaitu keterangan terdakwa, bahwa ia mengaku telah melakukan suatu peristiwa

pidana yang dituduhkan kepadanya. Supaya pengakuan itu merupakan alat bukti yang cukup

(pasal 307) haruslah memenuhi syarat-syarat:

diberikan atas kehendak sendiri (bebas dari paksaan);

di berikan di muka sidang pengadilan; dan disertai dengan pemberitahuan yang tentu dan seksama, tentang sesuatu yang diketahui, baik

dari keterangan orang yang menderita peristiwa pidana, maupun dari alat-alat bukti

lainnya yang cocok dengan pengakuan itu.

Pegawai yang memeras pengakuan dalam perkara pidana diancam pidana dalam pasal 422

K.U.H.P.

Apabila tidak ada sesuatu hal sama sekali diketahui dalam sidang pengadilan yang dapat

meneguhkan, maka menurut pasal 308, pengakuan belaka itu sekali-kali tidak dapat dianggap

cukup sebagai alat bukti yang syah.

Isyarat-isyarat sebagai alat bukti.

Isyarat-isyarat adalah terjemahan dari kata bahasa Belanda "aanwijzingen". Ada yang

menterjemahkan dengan "tanda-tanda" atau "penunjukkan-penunjukkan".

Menurut pasal 310 H.I.R. yang dimaksud penunjukkan yaitu perbuatan-perbuatan, kejadiankejadian atau keadaan-keadaan yang adanya dan persetujuannya, baik yang satu dengan yang

lain, maupun dengan kejahatan itu sendiri dengan nyata menunjukkan, bahwa ada suatu

kejadian telah dilakukan dan siapakah pembuatnya.

Menurut pasal 311 H.I.R. adanya penunjukkan-penunjukkan itu hanya dapat dibuktikan

dengan:

1) saksi-saksi,

2) surat-surat,

3) penglihatan hakim sendiri, dan

4) pengakuan (erkentenis), biarpun di luar sidang pengadilan.

Pasal 296

Upaya bukti itu, baik terdiri sendiri berasing-asing, baik bersama-sama dapat meyakinkan

hakim, jika upaya bukti itu selaras dengan peraturan yang tersebut di bawah ini.

Pasal 297

Segala rupa upaya bukti dapat dilemahkan dengan bukti penyangkal.

Penjelasan:

Penyusunan bukti terhadap terdakwa dalam perkara pidana seluruhnya dikerjakan oleh hakim

sendiri, baik mengenai bukti-bukti yang memberatkan (a charge), maupun bukti-bukti yang

meringankan (de charge) terdakwa. Dalam perkara perdata adalah lain halnya; disini

pembuktian dilakukan sendiri-sendiri oleh masing-masing pihak yang beperkara. Oleh karena

itu apabila dalam pasal ini yang mengatur pembuktian dalam perkara pidana, disebutkan "bukti

penyangkal", janganlah sekali-kali diartikan bahwa ada dua belah pihak yang masing-masing

mengajukan bukti seperti di dalam perkara perdata.

Memang melemahkan alat-alat bukti dengan bukti penyangkal itu ialah tugas terdakwa

atau/dan pembelanya, untuk mana memang harus disediakan segala kesempatan baginya.

Dengan itu dicobanya untuk menggoncangkan keyakinan hakim yang mungkin telah diperoleh

dan alat-alat bukti yang syah yang ada.

Adapun maksud pasal 297 ini tidak lain hanyalah suatu pernyataan, bahwa di dalam perkara

pidana tidak ada satu alat bukti pun yang berkekuatan memaksa kepada hakim demikian rupa

sehingga hakim terpaksa menerima saja bukti itu sebagai tidak bisa disangkal lagi. Pasal 298

Upaya bukti sebuahpun tidak mewajibkan akan menghukum pesakitan, jika hakim tidak yakin

benar-benar bahwa perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum ini, yang dituduhkan kepada

pesakitan betul-betul dilakukannya, atau bahwa ia membantu melakukan perbuatan itu.

Penjelasan:

Pasal ini menegaskan lagi prinsip pembuktian menurut undang-undang yang negatif

sebagaimana tercantum dalam pasal 294 H. I. R.

Pasal 294 ini mengatakan, bahwa tak seorang pun dapat dipidana, kecuali kalau hakim karena

alat-alat bukti yang syah telah berkeyakinan, bahwa sesuatu perbuatan pidana sebenarnya telah

terjadi dan bahwa terdakwa bersalah akan perbuatan itu, sedangkan pasal 298 mengatakan,

bahwa tak sebuah alat bukti pun akan mewajibkan untuk terpidananya terdakwa, kalau hakim

tidak sesungguhnya berkeyakinan, bahwa tindak pidana yang dituduhkan kepadanya, dilakukan

oleh terdakwa.

Kebalikan daripada itu adalah bahwa keyakinan hakim dengan tidak adanya alat-alat bukti yang

syah dan cukup menurut hukum tidak cukup untuk menetapkan bahwa terdakwa bersalah.

Pasal 299

Yang hanya berhak untuk memberikan kesaksian dalam perkara pidana, ialah orang-orang

yang tidak dikecualikan menurut pasal 274, 276 dan 278.

Tiap-tiap kesaksian harus dikuatkan dengan sumpah, dan diberikan menurut acara yang diatur

dalam reglemen ini.

Penjelasan:

Pasal 274 menyebutkan golongan orang-orang yang mempunyai hak undur diri relatif dari

kesaksian (relatief onbevoegde getuigen), pasal 276 menyebutkan seorang budak dari

tersangka, yang pada zaman sekarang ini sudah tidak ada lagi di Indonesia, sedangkan pasal

278 menyebutkan golongan orang-orang yang absolut dibebaskan dari memberikan kesaksian

(absolut onbevoegde getuigen).

Pasal 300

(1) Kesaksian yang terdiri sendiri dari seorang saksi saja dan tidak dikuatkan dengan bukti

lain, dan tidak berlaku sebagai bukti menurut undang-undang.

(2) Akan tetapi kesaksian yang berasing-asing dan satu-satunya terdiri sendiri tentang

beberapa perbuatan, dapat berlaku sebagai bukti menurut undang-undang, jika kesaksian

itu karena bersetujuan dan perhubungannya dapat menguatkan satu perbuatan yang

tertentu.

(3) Pertimbangan atas hal itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim.

Penjelasan:

Prinsip yang dianut oleh perundang-undangan sampai pada waktu ini ialah, bahwa "seorang

saksi bukanlah saksi", itu didasarkan atas sifat tidak dapat dipercayanya manusia yang sengaja

atau tidak sengaja suka mengatakan hal-hal yang tidak benar. Demikian pula ayat (1) pasal ini

menetapkan bahwa kesaksian dari seseorang yang sama sekali berdiri sendiri dan tidak

dikuatkan dengan alat bukti yang lain yang syah, bahwa seorang telah berbuat peristiwa pidana

itu tidak cukup untuk membuktikan kesalahan orang tersebut. Baru dapat dipandang cukup,

apabila satu kesaksian ini ditambah dengan salah satu dari alat bukti yang lain, misalnya satu

kesaksian lagi, pengakuan tersangka, surat-surat atau penunjukkan. Ayat (2) pasal ini menentukan, bahwa kesaksian-kesaksian yang masing-masing berdiri sendiri

tentang beberapa kejadian itu dipandang sebagai bukti yang syah, jikalau kesaksian-kesaksian

itu karena persesuaian dan hubungannya satu sama lain dapat menetapkan sesuatu peristiwa

yang tertentu. Hal ini diserahkan kepada kebijaksanaan hakim untuk menilainya, misalnya:

A pada pukul 8:00 membawa sapi di jalan ke jurusan kampung X, ini dilihat oleh saksi B. Pada

pukul 8.20 C melihat A membawa sapi itu di jalan hampir masuk ke kampung X

tersebut (jarak jalan ke kampung X lebih kurang 20 menit berjalan kaki). Dengan dua

orang saksi ini yang masing-masing berdiri sendiri dapat dibuktikan hal pembawaan sapi

A ke kampung X.

Apabila ada beberapa orang yang masing-masing berdiri sendiri menerangkan, bahwa pada

berbagai-bagai saat yang tidak sama mereka itu pernah ikut bermain judi "Hazard" di

rumah A yang tidak berhak untuk itu, maka hakim dapat menganggap ada cukup bukti,

bahwa A telah mengadakan permainan judi hazard di rumah tersebut.

Pasal 301

(1) Tiap-tiap kesaksian yang diberikan harus mengenai perbuatan yang didengar, dilihat,

atau dialami oleh saksi itu sendiri dan lagi pula harus dengan tegas diberitahukan sebabsebabnya hal itu diketahuinya.

(2) Persangkaan atau agak-agakan yang istimewa, yang dijadikan karena kata akal, bukanlah

kesaksian.

Penjelasan:

Isi pasal ini adalah sama saja dengan isi pasal 171, akan tetapi disusun dalam bentuk kalimat

yang lebih luas. Maksudnya ialah bahwa pada umumnya yang menjadi saksi itu harus

memberikan keterangan dari hal-hal yang ia dapat melihat, mendengar atau mengalami sendiri.

Apa yang ia ketahui dari orang lain, yaitu yang biasa disebut penyaksian "de auditu", tidaklah

diperkenankan.

Menurut ayat (2) pengira-iraan atau sangkaan saja yang disusun secara akal pemikiran pun

tidak masuk kesaksian.

Pasal 302

Dalam hal menimbang harga kesaksian, maka hakim harus menumpahkan perhatian

sepenuhnya, atas persamaan dari keterangan masing-masing saksi bersama; hal kesaksian yang

bersamaan dengan diketahui dari tempat lain tentang perkara itu dan acara segala sebab-sebab

yang boleh jadi telah ada pada saksi untuk memberi keterangan tentang perkara itu dengan

cara begini atau. begitu; kelakukan, adat, istiadat dan kedudukan saksi-saksi dan pada

umumnya, segala hal yang dapat mempengaruhi bertambah atau berkurangnya kepercayaan

pada saksi.

Pasal 303

Keterangan, yang diberikan dengan tidak mengangkat sumpah biarpun dengan persamaan

bersama, tidak menjadi bukti.

Akan tetapi keterangan yang diberikan dengan tidak bersumpah dapat dipergunakan untuk

menambah keterangan yang lain yang syah, yang bersesuaian dan yang bersamaan

dengan itu.

Penjelasan: Pasal ini menentukan, bahwa keterangan seseorang yang diberikan dengan tidak atas sumpah,

walaupun satu sama lain bersetujuan, tidak dianggap sebagai bukti yang syah, misalnya

keterangan yang diberikan di muka hakim oleh dua orang anak-anak yang umurnya belum

diketahui dengan pasti sudah lima belas tahun dan oleh karenanya tidak boleh disumpah,

bahwa seseorang telah melakukan peristiwa pidana, walaupun di sini ada dua orang, akan tetapi

tidak merupakan bukti yang syah untuk membuktikan dilakukannya peristiwa pidana itu.

Menurut ayat (2) keterangan tanpa sumpah itu gunanya hanya untuk menambah bukti yang

lain, artinya hanya boleh dipergunakan sebagai penguat atau Penjelasan saja.

Pasal 304

Peraturan-peraturan tentang kekuatan bukti dari surat-surat yang umum dan surat-surat yang

istimewa dalam perkara perdata, harus diperhatikan juga berkenaan dengan bukti dalam

pidana.

Penjelasan:

"Surat-surat umum dan surat-surat istimewa" yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah sama

dengan "akte otentik dan akte bawah tangan", surat-surat mana baik dalam perkara perdata

maupun dalam perkara pidana harus senantiasa diperhatikan sebagai bukti.

Pasal 305

Keterangan, laporan dan pemberitaan yang diperbuat oleh orang-orang yang memangku

jabatan, pangkat atau pekerjaan yang umum, harus berisi pernyataan bahwa mereka

memberikannya atau memperbuatnya atas sumpah ketika menerima jabatan atau kemudian

dapat diperkuat dengan sumpah supaya berlaku sebagai surat keterangan.

Penjelasan:

Yang dimaksud dalam pasal ini misalnya sebuah berita-acara para pegawai polisi itu supaya

dapat berguna sebagai alat bukti yang syah, harus dibuat atas sumpah jabatan.

Sehubungan dengan hal ini maka lazimnya berita-acara pejabat polisi itu pada penutupannya

dituliskan seperti misalnya: "Demikianlah berita-acara ini saya buat dengan mengingat sumpah

waktu menerima jabatan yang sekarang ini, saya tutup dan tanda tangani di Semarang pada

tanggal 5 Desember 1900 tujuh puluh delapan"

Pasal 306

(1) Pemberitaan dari orang ahli yang diangkat karena jabatan untuk menyatakan timbangan

dan pendapatnya atau segala hal ihwal atau keadaan sesuatu perkara, hanya dapat

berguna sebagai keterangan kepada hakim.

(2) Hakim sekali-kali tidak diwajibkan untuk menuruti pendapat orang ahli yang diberikan

itu, jika pendapat itu bertentangan dengan keyakinannya.

Penjelasan:

Menurut pasal ini maka keterangan, laporan atau pendapat yang diberikan oleh orang ahli

seperti dokter, ahli kimia, ahli elektronik, ahli daktiloskopi dan lain sebagainya itu oleh hakim

hanya dipakai sebagai keterangan atau penjelasan saja, artinya tidak dinilai sebagai alat bukti

syah yang penuh. Hakimpun tidak terikat oleh pendapat yang diberikan oleh orang ahli itu, jika

bertentangan dengan keyakinannya, akan ditolak juga.

Pasal 307 Satu pengakuan yang diberikan oleh pesakitan di muka hakim bahwa ia melakukan suatu

perbuatan pidana yang dituduhkan padanya disertai dengan keterangan dari keadaan yang

tertentu dan yang saksama maupun juga dari keterangan orang yang mengalami perbuatan itu,

atau yang diketahui dari upaya bukti yang lain, yang sesuai dengan itu, dapat menjadi upaya

yang lengkap tentang kesalahannya.

Penjelasan:

Hubungan isi pasal ini dengan isi pasal 308. Pasal ini menekankan, bahwa suatu pengakuan

thok dari terdakwa tanpa embel-embel yang berupa apapun, tidak akan cukup untuk menjadi

bukti kesalahan terdakwa. Supaya menjadi cukup harus ditambah dengan:

Keterangan dari keadaan yang tertentu dan seksama, atau

Keterangan orang yang mengalami tindak pidana itu, atau

Keterangan yang diketahui dari alat bukti yang lain, atau

Keadaan-keadaan yang diketahui dalam persidangan.

Sehubungan dengan ketentuan ini, maka dalam teknik pemeriksaan perkara pidana, pegawai

penyidik membiasakan diri apabila menghadapi tersangka yang mengaku terus terang tentang

kesalahannya, mencatat dalam berita-acara pengakuannya itu dengan selengkap-lengkapnya

dan seseksama mungkin, ditambah dengan peniruan kembali (rekonstruksi) tersangka pada

waktu ia melakukan kesalahan itu. Maksudnya agar dapat diperoleh keterangan-keterangan

lainnya dan sebanyak mungkin titik-titik kecocokan, sehingga pengakuannya itu tidak mudah

ditarik kembali dan pengakuan ini tidak akan merupakan pengakuan yang "telanjang bulat"

(pengakuan belaka).

Pasal 308

Pengakuan saja dari suatu kesalahan, yang sekali-kali tidak dikuatkan keadaan yang diketahui

dalam persidangan, sekali-kali tidak cukup untuk menjadi bukti.

Penjelasan:

Lihat penjelasan pada pasal 307.

Pasal 309

Pencabutan dari suatu pengakuan tentang kesalahan di muka pengadilan tidak

membatalkannya, kecuali jika pencabutan itu berdasarkan sebab-sebab yang dapat diterima.

Penjelasan:

Kadang-kadang terjadi seorang terdakwa dalam sidang pengadilan mencabut kembali

pengakuannya yang diberikan dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam sidang pengadilan

yang terdahulu, sebagai alasan dikatakan, bahwa pada waktu itu ia dianiaya oleh pemeriksa,

pikirannya tidak tenang, gelisah dan lain sebagainya. Apabila alasan-alasan itu tidak nyata dan

tidak dapat dianggap oleh hakim, maka pencabutan itu tidak membatalkan pengakuannya.

Pasal 310

Perkataan isyarat diartikan perbuatan yang terbukti, kejadian-kejadian atau hal ihwal, yang

keadaannya dan persetujuannya, baik satu sama lain berhubungan dengan kejahatan itu sendiri,

yang menunjukkan dengan nyata, bahwa ada terjadi suatu kejahatan dan siapa yang

melakukannya.

Penjelasan: Kata "isyarat" adalah terjemahan dari kata bahasa Belanda "aanwijzingen"; ada yang

menterjemahkan dengan kata-kata: "tanda-tanda" atau "penunjukkan-penunjukkan". Adapun

menurut pasal ini artinya adalah perbuatan-perbuatan, kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan

yang adanya dan persetujuannya, baik yang satu dengan yang lain, maupun dengan

kejahatannya itu sendiri dengan nyata menunjukkan bahwa ada suatu kejadian telah dilakukan

dan siapakah pembuatnya.

"Menurut pasal 311, maka adanya "isyarat-isyarat atau tanda-tanda" atau "penunjukkanpenunjukkan" itu hanya boleh dibuktikan dengan: saksi-saksi, surat-surat, penglihatan hakim

sendiri dan pengakuan terdakwa.

Pasal 311

Adanya isyarat itu hanya dapat dibuktikan:

1o. oleh saksi-saksi;

2o. oleh surat-surat;

3o. oleh pemeriksaan sendiri atau pengadilan sendiri dari hakim;

4o. oleh pengakuan pesakitan sendiri, biarpun di luar pengadilan.

Penjelasan:

Lihat penjelasan pasal 310.

Pasal 312

Hal menimbang kekuatan bukti, yang isyaratnya ada pada tiap-tiap hal istimewa, diserahkan

kepada kebijaksanaan hakim; ia harus insyaf dengan sungguh-sungguh dan harus disertai

perhatian yang secermat-cermatnya dan seteliti-telitinya di dalam pemeriksaan itu.

Penjelasan:

Oleh karena dalam tiap-tiap hal, kekuasaan menimbang kekuatan bukti syarat atau

penunjukkan itu diletakkan kepada kebijaksanaan hakim, maka sudah sepantasnyalah, bahwa

dalam hal ini hakim harus bertindak secermat dan seseksama mungkin, artinya tidak boleh

bertindak sembrono dan gegabah.

Pasal 313

Jika pengadilan negeri berpendapat, bahwa kesalahan pesakitan tidak terbukti, maka ia

dibebaskan dengan perintah, jika ia ditahan, supaya segera dikeluarkan dari tahanan kecuali

kalau ia harus ditahan, karena alasan lain.

Penjelasan:

Pasal 292 menetapkan, bahwa hakim berhubung dengan surat penyerahan perkara pada

persidangan dan dengan apa yang telah ternyata dari pemeriksaan persidangan pengadilan akan

mempertimbangkan hal-hal berikut:

1) perbuatan-perbuatan manakah yang telah terbukti dari pemeriksaan persidangan?

2) telah terbuktikah bahwa terdakwa itu bersalah tentang perbuatan-perbuatan itu?

3) kejahatan atau pelanggaran yang manakah telah diperbuat oleh karena itu?

4) pidana yang manakah harus diberikan kepada terdakwa itu?

Dalam hal itu ia harus memperhatikan benar-benar, bahwa ia tidak boleh melampaui batasbatas yang ditetapkan dalam surat penyerahan perkara, yang menjadi dasar dari pemeriksaan

perkara pidana di persidangan. Jikalau surat penyerahan itu selama pemeriksaan dalam persidangan mengalami perubahan,

maka surat penyerahan yang telah diubah itu menjadi dasar pemeriksaan itu.

Hasil dari pemeriksaan persidangan selanjutnya itu mungkin:

pembebasan seluruhnya (vrijspraak), apabila yang dituduhkan kepadanya dan kesalahan

terdakwa tentang itu tidak terbukti dengan syah dan meyakinkan (pasal 313 ini), atau.

pembebasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging), apabila yang

dituduhkan itu betul terbukti dengan syah dan meyakinkan, akan tetapi tidak dapat

dipidana, karena tidak melakukan tindak yang dapat dipidana atau meskipun melakukan

tindak yang dapat dipidana, tetapi untuknya berlaku salah satu dari alasan-alasan yang

menghindarkan dari pemidanaan, seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 44, 48, 49, 50

dan 51 K.U.H.P. (pasal 314 H.I.R.).

Pasal 314

(1) Jika pengadilan negeri menimbang, bahwa perbuatan, yang menyebabkan pesakitan

menghadap hakim betul terbukti, akan tetapi tidak menjadikan kejahatan atau

pelanggaran, maka pengadilan negeri melepaskan pesakitan dari segala tuntutan tentang

perkara itu.

(2) Dalam hal yang demikian, maka pengadilan Negeri memutuskan jika pesakitan itu

ditahan sementara, apakah ia dilepaskan atau tidak sampai perkara itu diputuskan dalam

tingkatan kedua atau sampai pihak yang meminta perbandingan itu menarik kembali

permintaannya, atau sampai waktu untuk meminta perbandingan sudah lalu dengan

tidak dipergunakan, atau sebelum itu jaksa pengadilan negeri menerangkan dengan

nyata, bahwa ia menerima keputusan itu. Perintah untuk melepaskan dijalankan dengan

segera, sesudah keputusan dijatuhkan.

Penjelasan:

Lihat penjelasan pada pasal 313.

Pasal 315

Jika pengadilan negeri menimbang, bahwa pesakitan itu salah, maka padanya harus dijatuhkan

hukuman yang ditetapkan untuk perbuatan itu, biarpun ternyata dari pemeriksaan pada

persidangan, bahwa kejadian itu hanya pelanggaran, kecuali yang ditentukan pada pasal

45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Jika pesakitan itu dipersalahkan karena suatu perbuatan pidana, seperti dimaksud ayat 2 pasal

62, maka pengadilan negeri dapat memerintahkan untuk menahan dengan segera

pesakitan itu, jika ia di luar tahanan. Perintah untuk menahan atau mengeluarkan dari

tahanan dijalankan dengan segera, sesudah keputusan diucapkan.

Penjelasan:

Walaupun ternyata oleh pemeriksaan dalam persidangan, bahwa peristiwa yang dituntut itu

hanya merupakan pelanggaran, namun hakim harus juga menjatuhkan pidana.

Hal ini memang sudah sewajarnya, oleh karena pengadilan negeri merupakan hakim sehari-hari

di Indonesia dan selain kejahatan juga berwenang memutuskan perkara pelanggaran.

Dalam menjatuhkan pidana hakim diperingatkan akan bunyi pasal 45 K.U.H.P. yang

menentukan bahwa apabila terjadi:

a. terdakwa waktu dituntut belum dewasa dan b. tuntutan itu mengenai peristiwa pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa tersebut pada

waktu sebelum ia berumur 16 tahun, maka hakim dapat memutuskan salah satu dari tiga

kemungkinan yang berikut:

anak itu dikembalikan pada orang tua atau walinya, dengan tidak dijatuhi pidana suatu

apa;

anak itu dijadikan anak negara, maksudnya tidak dijatuhi pidana, akan tetapi diserahkan

kepada Rumah Pendidikan Anak Nakal;

kepada anak itu dijatuhkan pidana seperti biasa, akan tetapi dalam hal ini ancaman

pidananya dikurangkan dengan sepertiganya.

Pasal 316

(1) Dalam surat keputusan, yang menyatakan hukuman, kebebasan atau kebebasan dari

segala tuduhan, pengadilan negeri memerintahkan, supaya barang-barang yang tersebut

pada pasal 381, dikembalikan kepada orang, yang namanya disebutkan dalam keputusan

yang menurut timbangan hakim lebih berhak atas barang itu, kecuali jika menurut

undang-undang barang itu dirampas atau jika diperintahkan supaya barang itu

dibinasakan atau dirusakkan sehingga tidak dapat dipakai lagi.

(2) Jika ditimbangnya perlu, maka pengadilan negeri dapat memerintahkan, pengembalian

barang itu sebentar itu juga sesudah persidangan.

(3) Hal membinasakan atau merusakkan perkakas atau barang-barang lain yang diperkuat

atau diperbaiki atau dipakai untuk melakukan perbuatan pidana dapat diperintahkan

dalam keputusan.

Penjelasan:

Menurut kebiasaannya, barang-barang bukti dalam perkara pidana itu dikembalikan kepada

orang yang tadinya menyerahkan barang-barang itu untuk dipakai sebagai barang bukti, akan

tetapi menurut pasal ini pengadilan negeri secara praktis diberi wewenang untuk menyerahkan

barang-barang itu kepada orang lain, apabila dalam pemeriksaan perkaranya diperoleh kesan

bahwa orang lain itu terlebih berhak untuk menerimanya.

Adalah merupakan suatu persoalan bagi pengadilan negeri yang mengadili perkara pidana,

apakah wewenang yang diberikan kepadanya tersebut di atas itu mempunyai kekuatan

sedemikian rupa, sehingga dapat digunakan untuk menolak gugatan dari pihak lain terhadap

barang-barang itu di muka pengadilan perdata. Yang terang adalah bahwa jikalau orang tidak

dapat menerima keputusan hakim pidana tentang penyerahan barang-barang bukti itu, maka ia

leluasa untuk mengajukan gugatan tentang hak atas barang-barang itu kepada pengadilan

perdata. Apakah pengadilan perdata ini akan menerima putusan pengadilan pidana tentang

penyerahan barang-barang bukti itu sebagai bukti di dalam perkara perdata yang ia periksa itu,

itu adalah soal lain.

Selain penyerahan barang-barang bukti kepada yang dianggap berhak, hakim dapat pula

mengambil keputusan:

1) merampas barang-barang bukti itu sebagai pidana tambahan yang dimaksudkan dalam

pasal 10 sub b No. 2, pasal-pasal 39 dan 42 K.U.H.P.

2) membinasakan atau merusak barang-barang bukti seperti tersebut dalam ayat (3) pasal

316 ini.

Tindakan ini tidak termasuk pidana, melainkan tindakan kepolisian untuk menjaga

supaya barang-barang itu tidak dapat dipergunakan lagi untuk melakukan kejahatan atau pelanggaran. Bukankah pengrusakan barang-barang itu diperintahkan pula oleh hakim,

walaupun terdakwa dibebaskan dari pidana.

Pasal 317

Keputusan itu harus diucapkan oleh ketua di muka umum dan dihadiri oleh jaksa pada

pengadilan negeri.

Penjelasan:

Bahwasanya keputusan itu harus diucapkan di muka umum, atau di persidangan yang terbuka

untuk umum itu guna memenuhi pasal 18 U.U. Pokok Kehakiman No. 14/1970.

Pasal 318

Pesakitan, yang ada dalam tahanan, harus menghadap persidangan dengan dijaga, supaya hadir

pada waktu pengumuman keputusan itu; jika ia tidak dapat hadir, maka keputusan itu

harus diberitahukan kepadanya oleh panitera di penjara hal ini harus dicatat di sebelah

bawah dalam surat keputusan.

Kecuali jika pesakitan dibebaskan dari segala tuduhan, maka sesudah ketua mengucapkan

keputusan, memperingatkan padanya akan haknya meminta perbandingan, untuk

menarik kembali permintaan itu, atau untuk meminta hal menjalankan keputusan itu

ditunda empat belas hari lamanya, supaya dalam tempo itu dapat ia memasukkan

permohonan ampun. Panitera harus berlaku demikian juga, di dalam hal yang tersebut

pada bahagian penghabisan ayat pertama pasal ini.

Jika pesakitan hadir pada waktu keputusan itu diumumkan maka hal ini dicatat dalam

pemberitaan persidangan.

Jika keputusan itu diberitahukan kepada pesakitan buat memenuhi aturan yang tersebut pada

ayat di atas ini dalam penjara maka hal ini dicatat oleh panitera pada surat keputusan itu.

Penjelasan:

Ayat 2, 3 dan 4 dari pasal ini harus dipandang tidak berlaku lagi berhubung dengan ketentuan

dalam pasal 6 ayat 2 s/d 6 dari U.U. Darurat No. 1/1951 yang disajikan di bawah ini.

Pasal 6

(1)

(2) Pada saat peraturan ini berlaku, terhadap putusan pengadilan negeri tentang perkara

pidana selainnya daripada yang dimaksudkan dalam ayat (1) bab. a tadi, oleh terdakwa

untuk dirinya sendiri atau oleh jaksa yang bersangkutan untuk satu atau beberapa

terdakwa dapat memohon bandingan oleh pengadilan tinggi yang daerah, hukumnya

meliputi daerah hukum pengadilan negeri itu jika putusan itu tidak mengandung

pembebasan dari tuntutan seluruhnya. Bandingan itu tidak mengubah putusan yang

telah dijatuhkan kepada terdakwa lain.

(3) Kecuali jika terdakwa dibebaskan, maka sesudah putusan yang dimaksudkan dalam ayat

(2) tadi diucapkan. Hakim mengingatkan terdakwa akan haknya untuk memohon

bandingan dalam tenggang yang ditetapkan, atau untuk minta supaya menjalankan

putusan dipertangguhkan 14 hari lamanya, dalam tempo mana ia akan memasukkan

permohonan grasi.

(4) Peringatan ini dijalankan oleh Panitera, jika putusan diberitahukannya kepada terdakwa

dalam penjara. (5) Perbuatan yang dilakukan menurut ayat (3) tadi harus dicatat dalam surat catatan

pemeriksaan sidang.

(6) Perbuatan yang dilakukan menurut ayat (4) tadi harus dicatat di bawah surat putusan.

Pasal 319

Keputusan itu harus berisi:

1o. nama-nama, umur sebenar, mungkin, tempat lahir, tempat diam atau tempat

tinggal dan pekerjaan pesakitan;

2o. keputusan tentang kesalahan pesakitan, serta dengan ringkas menyebutkan dasar

keputusan itu, tetapi tidak perlu memuat isi upaya bukti;

3o. surat tuntutan jaksa dan hal yang disebutkan pada pasal 7 dalam reglemen tentang

susunan hakim dan mahkamah dan kebijaksanaan justisi di Indonesia (R.O);

4o. hukuman, yang dijatuhkan kepada orang yang dinyatakan salah dengan

menyebutkan aturan undang-undang yang pasti yang dikenakan jika keputusan itu

beralasan demikian;

5o. keputusan tentang biaya perkara dan tentang pengembalian barang yang dipakai

sebagai tanda bukti, dan jika didapati pemalsuan dalam surat itu sama sekali palsu

atau penunjukkan, di dalam hal mana ada pemalsuan;

6o. penyebutan tanggal menjatuhkan keputusan dan nama hakim, yang memutuskan,

dengan menyebutkan sebab-sebab yang menjadikan hakim tidak dapat

menandatangani surat keputusan itu;

7o. perintah untuk menahan sementara atau akan mengeluarkan dari tahanan di dalam

hal yang lain daripada hal kebebasan, dengan menerangkan alasan-alasan yang

menyebabkan perintah itu.

Keputusan tentang semua pesakitan yang tersangkut dalam satu perkara itu juga, dan karena

itu diadili serempak, dimuat di dalam surat keputusan yang satu itu juga.

Pasal 320

(1) Surat keputusan itu harus ditulis dalam bahasa Indonesia.

(2) Jika dikehendaki oleh pesakitan, maka diberikan kepadanya dengan tiada bayaran

terjemahan yang cukup dalam bahasa daerahnya baik dari keputusan bandingan, jika

pesakitan tidak mengerti bahasa Indonesia selain dari itu dalam bahasa Indonesia.

(3) Penandatanganan keputusan itu harus dilakukan selambat-lambatnya dalam delapan hari

sesudah keputusan itu diucapkan.

Pasal 321

Panitera melekatkan satu petikan keputusan yang ditandatanganinya, yang berisi keterangan

yang sudah diberikan, yang dimaksud dalam pasal 319, kelima, pada surat palsu atau yang

dipalsukan yang dimaksudkan itu di dalamnya diperbuat catatan yang menunjuk petikan yang

dilekatkan. Tidak diberikan asli atau turunan dari surat yang palsu atau dipalsukan itu jika tidak

ditambah padanya peringatan itu serta suatu salinan dari petikan itu.

Pasal 322 (1) Panitera membuat pemberitaan acara persidangan, yang di dalamnya ditulis segala acara

yang dipakai dan semua kejadian dalam persidangan yang berhubungan dengan perkara

itu.

(2) Pemberitaan ini berisi juga yang mengenai pokok yang perlu dari, keterangan saksi dan

ahli dan keterangan pesakitan, kecuali jika ketua menimbang cukup mengenai hal itu, jika

ditunjukkan saja kepada pemberitaan yang berisi keterangan yang dahulu yang telah

diberikan oleh mereka itu; dengan menyebut dengan saksama dalam hal itu perbedaan

antara keterangan yang dahulu dengan keterangan yang diberikan dalam persidangan.

(3) Ketua dapat memerintahkan, supaya sengaja diperbuat catatan tentang suatu keadaan,

keterangan atau pemberitahuan dan ia wajib melakukan itu, jika ini diminta oleh jaksa

pada pengadilan negeri, oleh pesakitan, atau oleh pembelanya.

(4) Pemberitaan acara harus ditandatangani oleh ketua dan Panitera.

(5) Aturan dari pasal 187 berlaku atas hal ini.

Pasal 323

Dicabut dengan Stbl. 1941 No. 32.

Bagian Keempat

TENTANG MENJALANKAN KEPUTUSAN-KEPUTUSAN

Pasal 324

Suatu keputusan yang dapat diminta bandingan, berkekuatan sebagai keputusan yang sudah

pasti sebentar itu juga setelah pesakitan serta jaksa menyatakan menerima keputusan itu,

lagi pula jika yang demikian tidak dinyatakan oleh kedua pihak, jika tempo untuk

meminta bandingan tidak dipergunakan atau permintaan bandingan itu dicabut.

Jika keputusan sudah pasti oleh karena tempo untuk meminta bandingan telah lewat dengan

tidak dipergunakan maka panitera menambahkan pada surat perkara itu satu surat

keterangan yang ditandatangani, yang menyatakan sedemikian.

Dari keputusan-keputusan yang diambil oleh pengadilan negeri dalam perkara pidana, yang

terhadapnya tidak dapat diminta bandingan, panitera mengirim dalam tempo satu bulan

sesudah surat permintaan untuk itu diterima, salinan surat-surat perkara kepada

pengadilan tinggi yang dalam daerah hukumnya pengadilan negeri itu berkedudukan.

Penjelasan:

Dengan mengucapkan keputusannya dalam persidangan yang terbuka untuk umum, maka

hakim telah mengakhiri tugasnya sebagai hakim. Sekarang keputusan itu harus dilaksanakan,

dijalankan atau dieksekusi. Hakim tidak dapat melaksanakan sendiri. Hal ini diserahkan kepada

jaksa sebagai pegawai penuntut umum (pasal 325).

Kalau dalam perkara perdata eksekusi keputusannya tergantung daripada kehendak yang

memenangkan perkara. Ia dapat memohon pelaksanaan keputusan itu kepada hakim, akan

tetapi juga dapat membiarkan keputusan itu tidak dijalankan, sebaliknya keputusan pidana

mesti dijalankan dengan selekas mungkin, dan yang diserahi dengan pekerjaan itu adalah jaksa.

Syarat pertama-tama untuk menjalankan keputusan hakim itu ialah, bahwa keputusan itu telah

menjadi tetap, artinya segera setelah terhadap keputusan itu tidak lagi terbuka suatu jalan

hukum pada hakim lain atau hakim itu juga untuk mengubah keputusan itu, seperti

perlawanan, naik banding atau kasasi. Selama perkara itu masih dapat dilawan, dibanding atau dimintakan kasasi, maka selama itu keputusan tidak dapat dijalankan belum menjadi tetap.

Dalam hal-hal manakah keputusan itu menjadi tetap?

Menurut pasal 324 ini maka suatu keputusan hakim itu menjadi tetap:

1. Setelah baik terpidana maupun jaksa menerangkan, bahwa mereka itu masing-masing

menerima keputusan itu, atau

2. Jika keterangan untuk menerima itu tidak ada, akan tetapi waktu untuk meminta banding

telah lewat dan tidak dipergunakan, atau

3. Jikalau permintaan banding ditarik kembali.

Suatu keputusan yang tidak dapat dimintakan handing (suatu keputusan yang dijatuhkan dalam

tingkat ke satu dan tingkat tertinggi pula oleh pengadilan negeri) segera setelah diucapkan

menjadi tetap, kecuali jikalau terpidana atau jaksa memohon kasasi kepada Mahkamah Agung.

Pada umumnya suatu keputusan mendapat kekuatan tetap, kalau semua jalan hukum biasa

untuk mengubah putusan itu perlawanan, bandingkan, kasasi telah habis atau tidak

dipergunakan, baik oleh karena waktu yang tersedia, oleh undang-undang untuk

mempergunakan jalan-jalan hukum itu tidak dipakai atau pun oleh karena jalan-jalan hukum

tersebut yang dipakai, ditarik kembali.

Menurut ayat (2) pasal ini maka jika putusan hakim itu sudah menjadi tetap, karena waktu

untuk minta banding telah lewat dengan tidak dipergunakan, maka panitera menambahkan

pada surat perkara itu satu surat keterangan yang ditandatangani, yang menyatakan demikian.

Menurut ayat (3) maka dari keputusan yang terhadapnya tidak dapat diminta banding, panitera

dalam tempo satu bulan sesudah surat permintaan untuk itu diterima, mengirim salinannya

beserta salinan surat-surat perkara kepada pengadilan tinggi dalam daerah hukumnya

pengadilan negeri itu berkedudukan.

Pasal 325

Kecuali yang diatur di dalam aturan ampun, demikian juga dalam ayat kedua dari pasal 316,

dan jika tidak diatur dengan cara lain pada pasal-pasal yang berikut, maka keputusankeputusan dijalankan secepat mungkin oleh jaksa pengadilan negeri atau perintahnya.

Dari keputusan-keputusan bandingan panitera menerima pada jaksa satu petikan tentang tiaptiap pesakitan-pesakitan berasing-asing dalam rangkap dua yang berisi: nama, umur,

tempat lahir, pekerjaan, tempat diam atau tempat tinggal dari pesakitan, keputusan

hakim pertama dan keputusan dalam bandingan dan hari keputusan-keputusan itu

dijatuhkan, demikian juga nama hakim yang turut memutuskan keputusan tentang

menetapkan atau mencabut perintah yang masih ada dalam perkara itu untuk menahan

sementara, ataupun tentang memberi perintah demikian.

Dari keputusan pengadilan negeri yang sudah memperoleh kekuatan pasti panitera

mengirimkan kepada jaksa satu petikan dalam rangkap dua, yang diperbuat dengan cara

yang tersebut di atas ini yang berisi catatan bahwa keputusan telah memperoleh

kekuatan pasti, kecuali dalam hal yang tertuduh dibebaskan dari segala tuduhan.

Pelaksanaan keputusan tidak dapat dijalankan, sebelum keputusan dalam bandingan

dimaklumkan kepada pesakitan.

Jika belum dapat diperbuat satu petikan dari keputusan pengadilan negeri, yang menjatuhkan

hukuman yang telah memperoleh kekuatan pasti, maka panitera mengirim pada pegawai

yang dimaksud pada pasal 1 (satu) surat keterangan yang ditandatangani olehnya dan

turut ditandatangani oleh hakim untuk tiap-tiap pesakitan masing-masing sendiri,

petikan mana disusun menurut ayat 2 dan dibubuhi catatan serupa tentang keputusan yang telah memperoleh kekuatan pasti; jika maksud ayat 2 dan pasal 316 dijalankan

maka putusan yang dijatuhkan tentang tanda bukti tidak usah dimasukkan dalam catatan

itu.

Kalau surat keterangan yang dimaksud dalam ayat di atas ini sudah dikirim lebih dahulu, maka

petikan keputusan hanya satu.

Pegawai yang dimaksud dalam ayat satu mengirimkan kembali surat petikan, yang berisi

catatan keputusan yang sudah dijalankan, kepada panitera pengadilan negeri, yang

melampirkan pada surat perkara.

Pasal 325a

Kalau hukuman itu terdiri dari hukuman denda atau hukuman perampasan barang yang

tertentu, maka pegawai yang dimaksud dalam pasal 325, ayat (1) menentukan tempo, yang

selama-lamanya dua bulan dalam waktu mana hukuman denda itu harus dibayar tunas atau

barang-barang yang dirampas itu harus diserahkan, ataupun jumlah uang yang ditaksir tentang

barang itu pada waktu memutuskan itu harus dibayar. Tempo itu tiap-tiap kali boleh

diperpanjang oleh pegawai tersebut, tetapi sekali-kali tidak dapat lebih dari satu tahun lamanya.

Pasal 326, 327 dan 328

dicabut dengan Stbl. 1933 No. 2.

Pasal 329

Hukuman mati dijalankan dihadapan pegawai yang dimaksud dalam pasal 325, ayat (1) atau di

hadapan seorang pegawai yang ditunjuk untuk itu, dan selalu sedemikian sehingga tidak dapat

dilihat oleh umum.

Penjelasan:

Ketentuan tentang pelaksanaan pidana mati di dalam H.I.R. ini isinya amat singkat. Ketentuan

itu sekarang telah diatur dalam Perpres No.2/1964 yang mengatakan bahwa.

1. pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak sampai mati di suatu tempat dalam

daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama, dengan

ketentuan-ketentuan antara lain sebagai di bawah ini;

2. waktu dan tempat pelaksanaannya ditentukan oleh kepala polisi komisariat daerah

tempat kedudukan pengadilan tersebut, setelah mendengar nasihat dari jaksa tinggi/jaksa

yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan pidana mati itu;

3. Kepala polisi komisariat atau perwira yang ditunjuk olehnya bersama-sama dengan jaksa

tinggi/jaksa yang bertanggung jawab, juga pembela/pengacara terpidana atas

permintaannya sendiri atau permintaan terpidana, menghadiri pelaksanaan pidana mati

itu;

4. terpidana diberitahukan tentang akan dilaksanakan pidana mati itu oleh jaksa

tinggi/jaksa tiga kali dua puluh empat jam sebelumnya saat pelaksanaan, dan pada

terpidana diberikan kesempatan untuk mengemukakan sesuatu keterangan atau pesanan

pada hari-hari terakhir. Apabila terpidana adalah seorang wanita sedang hamil maka

pelaksanaan pidana mati baru dilakukan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan;

5. untuk pelaksanaan pidana mati itu kepada polisi komisariat tersebut membentuk sebuah

regu penembak, semuanya dari brigade mobil, terdiri dari seorang bintara, dua belas

orang tamtama, di bawah pimpinan seorang perwira, untuk tugasnya ini regu penembak tidak mempergunakan senjata organiknya, dan sampai selesainya tugas itu regu

penembak ini berada di bawah perintah jaksa tinggi/jaksa.

6. dicatat di sini bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan militer

juga dilakukan menurut Perpres No.2/1964 sebagaimana diutarakan di atas, dengan

ketentuan bahwa kata-kata "kepala polisi komisariat daerah", "jaksa tinggi/jaksa",

"brigade mobil" dan "polisi", berturut-turut harus dibaca: "panglima/komandan daerah

militer", "jaksa/oditur militer", dan "militer".

Pasal 330

Jika seorang, yang dahulu sudah dihukum kurungan atau dihukum dengan hukuman yang lebih

berat, kemudian dihukum dengan hukuman yang sebesar itu pula, sebelum ia menjalani

hukuman yang dijatuhkan padanya dengan keputusan yang pertama, maka (jika pada waktu

hendak menjalankannya, hukuman yang pertama yang dijatuhkan itu belum daluwarsa)

dijalankan segala hukuman itu sama sekali berturut-turut dimulai dengan hukuman yang

terberat.

Pasal 331

Hukuman untuk membayar biaya perkara dapat dijalankan atas barang-barang dari orang yang

terhukum.

Menjalankan keputusan ini harus menurut peraturan dalam bahagian kelima bab kesembilan,

sesudah permintaan yang dimaksud pada pasal 196 diperbuat oleh pegawai yang tersebut

dalam pasal 325 ayat (1), atau atas namanya.

Pasal 332

(1) Keputusan akan membayar biaya selamanya diuntukkan untuk Negeri, kecuali kalau

pada peraturan istimewa ditentukan lain.

(2) Bahagian dari uang denda atau barang rampasan, yang dalam beberapa hal ditentukan

bagi pegawai atau badan-badan istimewa, selamanya dibayar dari kas Negeri kepada

pegawai atau badan itu, menurut aturan yang telah ada atau yang akan diadakan dalam

undang-undang mengenai hal itu, sesudah dimasukkan denda dan uang harga barangbarang itu dalam kas Negeri.

Pasal 333

Semua orang yang bersama-sama dihadapkan di muka hakim karena satu perbuatan itu juga,

dan dihukum karena itu, menanggung masing-masing pembayaran semua ongkos perkara,

yang dijatuhkan kepada mereka.

Pasal 333a

Dihapuskan menurut Undang-undang Darurat Indonesia No.1 tahun 1951. (Lembaran Negara

No.9 tahun 1951).

BAB KESEBELAS

TENTANG PEMERIKSAAN PERKARA SECARA SINGKAT

(SUMIR) Pasal 334

Pengadilan negeri memeriksa pada hari-hari yang tertentu pada tiap-tiap minggu, yang

ditetapkan dan dimaklumkan oleh ketua, perkara yang dimajukan secara singkat terlebih

dahulu dari segala perkara yang lain, menurut yang dalam pasal-pasal yang berikut.

Penjelasan:

Pemeriksaan perkara "secara singkat" yaitu "secara sumir" terjemahan dari kata-kata bahasa

Belanda "summiere procedure" artinya cara pemeriksaan perkara yang singkat dan ringkas.

Apakah itu? Lihat pasal 83 f ayat (1) No. 2 yang mengatakan, bahwa jika ternyata pada waktu

dilakukan pemeriksaan sementara pada tertuduh dan saksi-saksi, perkara itu bersahaja, baik

mengenai pembuktiannya maupun mengenai pengenaan undang-undangnya dan perkara itu

biasanya tidak dipidana (bukan ancamannya) dengan pidana utama yang lebih berat dari

selama-lamanya satu tahun penjara, maka (lihat selanjutnya pasal 83 k ayat (1) dan (4), begitu

pula pasal 335) kecuali jika ia berpendapat lain, begitu pula dalam kejadian yang tersebut dalam

pasal 335, jaksa pembantu dapat segera memajukan perkara itu kepada jaksa, kemudian jaksa

dapat segera meneruskan perkara itu kepada hakim, yang akan memeriksa perkara itu secara

singkat.

Pasal 335

Jaksa dapat membawa tersangka ke persidangan pengadilan negeri dengan begitu saja, bila ia

berpendapat, setelah dipelajarinya surat-surat yang dikirim oleh magistrat pembantu padanya,

bahwa perkara itu perkara bersahaja, demikian juga tentang membuktikannya dan tentang

menjalankan hukum dan dalam hal itu tidak akan dijatuhkan hukuman pokok lebih dari

hukuman penjara selama-lamanya tiga tahun.

Penjelasan:

Ini yang biasa dinamakan pemeriksaan perkara secara singkat, sumir atau ringkas (summiere

procedure). Lihat selanjutnya penjelasan pada pasal 334.

Pasal 336

Jaksa pada pengadilan negeri berhak untuk memanggil tersangka, demikian juga saksi-saksi,

ahli-ahli dan juru bahasa, dengan surat atau dengan lisan atau dengan perantaraan polisi,

supaya datang menghadap pengadilan negeri, jika perlu dengan perintah supaya diiring.

Pasal 337

Dalam perkara dibawa secara singkat, maka peraturan-peraturan dari bagian kedua, ketiga dan

keempat dari bab kesepuluh berlaku, jika peraturan-peraturan itu bersesuaian dengan

peraturan-peraturan dari bab ini dan dengan memperhatikan, bahwa:

A. 1e. Ketua segera, sesudah pesakitan itu pada sidang pengadilan negeri memberi jawaban

atas pertanyaan segala yang dimaksud padanya dengan menyebutkan waktu

bilamana, tempat dimana dan keadaan perbuatan itu dilakukan;

2e. dari keterangan dengan lisan ini diperbuat catatan dalam berita acara persidangan itu;

3e. keterangan dengan lisan ini di dalam segala hal jadi pengganti surat penyerahan.

B. Ketua pengadilan negeri dapat menunda pemeriksaan perkara itu atas permintaan

pesakitan, untuk beberapa waktu yang dianggap perlu untuk kepentingan pembelaannya; C. Ketua pengadilan negeri dapat memerintahkan pada jaksa pada pengadilan negeri, jika

dianggapnya perlu diadakan lagi pemeriksaan lebih dahulu, untuk melakukan pemeriksaan

itu dengan menunda pemeriksaan lanjutan perkara itu sampai sidang yang terdekat

sesudah hari itu.

D. Ketua pengadilan negeri dapat memerintahkan setiap waktu jika pada waktu sidang

kenyataan bahwa perkara itu tidak seharusnya dimajukan secara singkat, supaya

pemeriksaan sementara dilakukan seperti biasa, dalam hal mana ketentuan dalam ayat

keempat sub b dari pasal 83 k berlaku sama;

E. keputusan tidak diperbuat tersendiri, tetapi dimasukkan dalam pemberitaan acara

persidangan;

F. kekuasaan yang diberikan dalam pasal 322, dapat dilakukan, sudah mencukupi jika dalam

pemberitaan acara ditunjuk saja pada surat-surat pemeriksaan sementara, jika dan dalam

hal diperbuat berita acara yang panjang lebar dari keterangan saksi atau ahli atau dari

pesakitan.

Penjelasan:

Soal apakah sesuatu perkara dapat diajukan secara "singkat" atau tidak, yang berwenang

mempertimbangkan mula-mula jaksa pembantu (lihat pasal 83 f), kemudian jaksa (lihat ayat (4)

pasal 83 k, dan akhirnya hakim (lihat pasal 337 ini sub D).

Jika jaksa berpendapat, bahwa perkaranya tidak dapat diajukan secara sumir kepada hakim,

maka ia memerintahkan supaya pemeriksaan itu dilanjutkan seperti biasa. Demikian pula jika

hakim berpendapat, bahwa seperti ternyata dari pemeriksaan di dalam persidangan, perkara itu

tidak dapat diperiksa secara sumir, maka ia dapat memerintahkan kepada jaksa supaya

pemeriksaan perkara itu diselesaikan seperti biasa dahulu.

BAB KEDUABELAS

(Ditiadakan berhubung dengan Undang-Undang Darurat No. 1/1951). (Pasal 338, 339, 340,

dan 341 ditiadakan).

Bagian Pertama

TENTANG PEMERIKSAAN DI DALAM PERSIDANGAN,

PERMUSYAWARATAN DAN KEPUTUSAN

Pasal 342 s/d 349. Ditiadakan oleh Undang-undang Darurat No. 1/1951.

Bagian Kedua

TENTANG BANDINGAN

Pasal 350 s/d 356. Ditiadakan dengan Stbl.1932-460-580.

Bagian Ketiga

Pasal 357

Peraturan-peraturan dalam bab kesepuluh tentang menjalankan keputusan dalam perkara

kejahatan, dituruti pula dalam perkara pelanggaran, sekedar peraturan ini dapat berlaku untuk

itu. BAB KETIGABELAS

TENTANG MEMPERTANGGUHKAN TAHANAN SEMENTARA DAN

KURUNGAN SEMENTARA

Pasal 358

Hakim berkuasa buat memerintahkan, supaya tahanan sementara atau kerugian sementara

dipertangguhkan, atas permintaan yang tersangka, setelah yang tersangka, menurut acara

yang ditentukan oleh hakim menyatakan bersedia memenuhi segala syarat yang bertalian

dengan pertanggungan itu, dengan memberi atau tidak memberi penjaminan.

Dalam syarat pertangguhan itu disebut.

bahwa yang tersangka, jika diperintahkan pencabutan pertangguhan itu, tidak akan

menjauhkan diri dari perjalanan perintah tahanan sementara atau kurungan

sementara;

bahwa yang tersangka tidak akan menjauhkan diri dan perjalanan hukuman dalam hal ia

dapat ditahan sementara oleh karena satu kejahatan dan jika ia dihukum dengan

hukuman yang bukan hukuman tutupan pengganti.

Penjaminan untuk memenuhi syarat terdiri dari penyerahan (penyetoran) dari barang-barang

berharga oleh orang lain, atau dengan perjanjian dari orang lain sebagai jaminan. Dalam

hal yang terakhir, maka pada permintaan untuk itu harus dilampirkan surat keterangan

kerelaan dari orang penjaminan.

Hakim menentukan dalam ketetapannya jumlah uang jaminan dan cara memberi jaminan itu.

Orang yang tersangka dan orang penjamin harus didengar tentang permintaan itu.

Penjelasan:

Untuk menjaga supaya orang yang disangka melakukan tindak pidana di mana ia dapat

dikenakan penahanan sementara tidak akan dirugikan kepentingannya yang disebabkan oleh

penahanan itu, yang mungkin sekali akan berlangsung dalam jangka waktu lama, diadakan

kemungkinan bagi tersangka untuk mengajukan permohonan kepada hakim supaya

penahanannya dipertangguhkan. Sudah barang tentu penangguhan ini hanya diperbolehkan

dalam kejadian-kejadian yang tertentu saja, harus hanya merupakan suatu pengecualian saja,

dan jangan sampai merupakan sikap umum terhadap sembarang perkara dan tersangka.

Pertangguhan itu oleh hakim dapat diberikan, jika tersangka menyanggupi memenuhi segala

syarat-syarat pertangguhan itu dengan memberikan tanggungan, maupun tidak. Di antara

syarat-syarat yang diperlukan disebutkan dalam pasal 358 ayat (2) ke 1 dan 2, yaitu:

1) bahwa tersangka, apabila pertangguhan akan dicabut, tidak akan menjauhkan diri

daripada hal melakukan perintah penahanan sementara;

2) bahwa tersangka dalam hal ia boleh ditahan sementara karena sesuatu kejahatan, tidak

akan menjauhkan dirinya daripada hal menjalankan pidana, jika ia dipidana dengan

pidana penghentian kemerdekaan yang bukan pengganti pidana lain.

Semuanya itu berarti, bahwa tersangka yang akan dimerdekakan itu harus berjanji tidak akan

menyulitkan pekerjaan justisi, untuk memasukkan lagi tersangka dalam tahanan atau penjara,

jika kemudian diperintahkan.

Untuk menjamin supaya tersangka memenuhi syarat-syarat itu, maka ditetapkan jaminannya

yang berupa:

suatu pembayaran seketika oleh tersangka atau orang lain dari sejumlah uang yang ditetapkan

oleh hakim atau suatu perjanjian dari orang ketiga untuk menjamin terlaksananya syarat-syarat yang ditetapkan

itu. Dalam hal ini harus ada kesanggupan dari orang ketiga yang menanggung itu.

Dalam menetapkan besarnya uang jaminan dan cara memberi tanggungan itu hakim akan

mempertimbangkan keadaan kehidupan dan kemampuan tersangka, sehingga hal ini dapat

dimungkinkan baik bagi yang mampu, maupun yang tidak beruang banyak.

Oleh karena penangguhan penahanan itu merupakan suatu kemurahan hakim, maka tiap-tiap

kali dapat dicabutnya.

Pasal 359

(1) Hakim dapat mengadakan perubahan dalam ketetapannya tentang pertangguhan itu, atas

permintaan yang tersangka.

(2) Jika diusulkan orang penjamin yang baharu, maka pada permintaan itu dilampirkan satu

surat keterangan kerelaan orang itu.

(3) Orang yang tersangka dan penjaminannya, atau dalam hal yang tersebut pada ayat di

atas, penjamin yang baharu yang diusulkan, harus didengar tentang permintaan itu.

Pasal 360

Hakim pada setiap waktu dapat memberi perintah mencabut pertangguhan itu. Sebelum hakim

memberi perintah yang demikian, maka kalau dapat ia mendengar dahulu yang tersangka dan

untuk itu, dapatlah ia menyuruh memanggil orang itu, jika perlu menambahkan perintah untuk

membawanya.

Penjelasan:

Oleh karena penangguhan penahanan itu merupakan kemurahan hakim, maka tiap-tiap waktu

dapat mencabutnya. Sebelum memerintahkan pencabutan pertangguhan penahanan itu,

tersangka harus dipanggil dan didengar keterangannya.

Pasal 361

Jika pencabutan dilakukan oleh karena syarat-syarat tidak dipenuhi, maka pada waktu

mencabut ketetapan dapat ditetapkan, bahwa jaminan itu jadi milik Negeri. Jika

penjamin menjaminnya dengan perjanjian, maka penjamin itu dihukum dalam keputusan

itu membayar kepada Negeri jumlah yang ditentukan jadi tanggungannya, yang dapat

ditagih daripadanya juga dengan paksaan badan.

Ketetapan itu berlaku seperti keputusan hakim dalam perkara perdata, yang tidak dapat diubah

lagi, serta dijalankan sedemikian.

Waktu yang paling lama buat paksaan badan ditentukan dalam ketetapan itu, dan jika ternyata

bahwa ia tidak mampu maka lamanya paksa badan tidak dapat lebih dari enam bulan,

kecuali kalau dimulai lagi, kemudian, jika yang terhukum itu sudah mampu melunaskan

utang yang harus dibayarnya, jika belum ada keputusan yang demikian.

Jika yang tersangka, menjauhkan diri dari perintah menjalani tahanan sementara atau kurungan

sesudah dicabut pertangguhan itu, maka jaminan itu dinyatakan jatuh menjadi milik

Negeri, biarpun tidak diperintahkan pencabutan pertangguhan tanggungan itu dijadikan

juga milik Negeri, jika yang tersangka tidak memenuhi syarat-syarat yang dimaksud pada

pasal 358, ayat 2, No. 2. Keputusan itu dijatuhkan karena jabatan atau atas permintaan

jaksa. Ayat yang disebut di muka ini berlaku dalam hal itu.

Penjelasan: Menurut pasal ini maka jikalau pencabutan itu dilakukan oleh karena:

a. tersangka tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, atau

b. sesudahnya penangguhan itu dicabut, tersangka menjauhkan diri dari keharusan

menjalankan penahanan sementara, maka di dalam keputusan pembatalan penangguhan

itu ditentukan, bahwa jaminan uang yang diberikannya menjadi milik negara. Jika

jaminan itu terdiri atas kesanggupan membayar dari orang ketiga, maka uang ini ditagih

dari orang ketiga itu, bila perlu dengan tindakan sandera (gijzeling).

Ketetapan penagihan itu menurut ayat (2) pasal ini berlaku seperti keputusan hakim dalam

perkara perdata.

Menurut ketentuan dalam ayat (3) maka lamanya sandera (gijzeling) tidak dapat lebih dari

enam bulan.

Pasal 362

Jika yang tersangka tidak memenuhi syarat itu atau jika dari keadaan yang tertentu ternyata

bahwa dikuatirkan ia akan melarikan diri maka perintah untuk menjalankannya dapat diberikan

oleh pegawai-pegawai yang dimaksud dalam pasal 325 ayat (1) yang berkuasa di tempat

kedudukan hakim yang memeriksanya pada tingkat pertama dan di tempat yang tersangka

berada, dengan kewajiban akan memberitahukan hal itu dengan segera pada hakim dengan

surat, kawat atau tilpon, kalau hal ini dapat mempercepat keputusan, dan dalam tempo dua

puluh empat jam sesudah diterimanya pemberitahuan itu, hakim menetapkan apakah

pencabutan itu dipertangguhkan atau tidak.

Penjelasan:

Pegawai yang dimaksud dalam pasal 325 ayat (1) adalah jaksa. Apabila jaksa mengetahui atau

mengkhawatirkan, bahwa seorang tersangka yang dipertangguhkan penahanannya oleh hakim

dengan bersyarat tidak memenuhi syarat-syarat atau dikhawatirkan akan melarikan diri, maka

jaksa yang berkuasa di tempat tersangka, dapat menangkap tersangka itu. Hal ini jaksa harus

selekas mungkin memberitahukan kepada hakim yang bersangkutan dan hakim ini dalam 24

jam harus menentukan tentang penghentian pertangguhan penahanan atau tidak.

Pasal 363

Jika pelanjutan jaminan itu tidak perlu lebih lama lagi, maka hakim dapat memberi perintah

kalau perlu sesudah memeriksa yang tersangka atau penjaminannya, supaya uang yang

dimasukkan itu, dikembalikan kepada orang yang memberi jaminan itu, atau perjanjiannya itu

akan dihapuskan.

Pasal 364

Segala ketetapan hakim yang diambil menurut bunyi bab ini harus berisi segala sebab-sebab

dan diberikan oleh ketua pengadilan negeri sebelum diminta bandingan, sesudah itu oleh

pengadilan tinggi.

Keputusan itu dengan segera diberikan kepada yang tersangka dan penjaminannya.

Ketetapan untuk mempertangguhkan, untuk mencabut pertangguhan itu dan untuk mengubah

ketetapan akan mempertangguhkan dapat dijalankan sebentar itu juga.

Penjelasan: Pasal ini menentukan, bahwa keputusan hakim tentang penangguhan penahanan dapat

diadakan oleh hakim pengadilan negeri sebelum tersangka mengajukan permohonan banding,

sesudah itu, dilakukan oleh pengadilan tinggi.

Pasal 365

Jika dalam bab ini dipergunakan perkataan "mempertangguhkan" maka yang dimaksud dengan

itu ialah "menunda.

Penjelasan:

"Mempertangguhkan" dalam bab ini artinya "menunda" atau "memperlambat ", terjemahan

dari bahasa Belanda "uitstellen".

BAB KEEMPATBELAS

TENTANG HAL TIDAK BERLAKU LAGI, HAL PEMBATALAN DAN HAL

PEMBEBASAN PENUNTUTAN DAN HUKUMAN

Pasal 366

Segala penuntutan pidana tidak berlaku lagi atau batal karena amnesti atau abolisi, yang

diberikan oleh Presiden sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung menurut pasal 107,

ketiga dari Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia.

Penjelasan:

Pasal ini menentukan tentang akibat dari amnesti dan abolisi. Mengenai hal amnesti dan abolisi

baca pula:

a. Pasal 14 Undang-undang Dasar 1945;

b. Pasal 107 Undang-undang Dasar Sementara R.I.;

c. Undang-undang Darurat No.11/1945 (L.N. No.146/1954).

Dengan pemberian amnesti semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang tertentu

dihapuskan, atau boleh dikatakan, bahwa kejahatan-kejahatan tertentu yang dilakukan di dalam

kejadian-kejadian yang disebutkan dalam undang-undang yang bersangkutan, tidak akan

dipidana.

Dengan pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang tertentu ditiadakan, artinya

bahwa orang yang melakukan peristiwa pidana tidak dituntut.

Pasal 367

Aturan pada pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi, kecuali sekedar

mengenai penuntutan denda atau perampasan barang-barang yang tertentu, dalam

perkara pelanggaran tentang mata penghasilan dan sewa Negeri.

Tuntutan untuk membayar denda dan perampasan barang-barang yang tertentu, yang

dilakukan kepada ahli waris atau wakil-wakil orang yang meninggal dunia dalam hal-hal

tersebut di atas akan dihadapkan kepada hakim dalam perkara perdata.

Pemeriksaan, memutuskan dan menjalankan diselenggarakan sesuai dengan cara perkara

perdata yang biasa.

Penjelasan:

Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Pidana menentukan, bahwa hak penuntutan pidana

(strafvervolging) menjadi gugur karena tertuduh meninggal dunia. Menurut pasal 367 ini maka ketentuan tersebut harus dikecualikan sepanjang mengenai

penagihan denda atau perampasan barang-barang tertentu di dalam pelanggaran tentang

penghasilan negara dan cukai. Hal ini berarti, bahwa meskipun terdakwanya, karena meninggal,

tidak lagi dapat dihadapkan di muka hakim, putusan pidana denda dan perampasan barangbarang tertentu di dalam pelanggaran tersebut tadi, dapat dijatuhkan juga.

Tuntutan denda dan perampasan barang-barang itu dilakukan terhadap ahli-waris atau wakil

orang yang mati itu, dan dihadapkan kepada hakim perdata.

Hal memeriksa, memutus perkara dan menjalankan keputusannya harus dijalankan seperti

dalam perkara perdata yang biasa.

Pasal 368

Jika yang melakukan sudah meninggal dunia, sesudah hukuman yang dijatuhkan telah menjadi

pasti, maka segala denda dan perampasan, demikian juga biaya dalam perkara pelanggaran

tentang mata penghasilan dan sewa Negeri, ditagih dari ahli waris atau wakil-wakil orang yang

meninggal dunia itu.

Penjelasan:

Apabila terpidana meninggal sesudahnya keputusan menjadi tetap, maka pidana denda dan

perampasan barang-barang beserta ongkos-ongkos perkara dalam pelanggaran-pelanggaran

penghasilan negara dan cukai, menurut pasal ini, akan ditagih dari ahli-waris atau wakil

terpidana yang meninggal itu.

Dalam hal ini, sesuai dengan bunyi pasal 367, dapat dikatakan bahwa peraturan dalam pasal 83

Kitab Undang-undang Hukum Pidana dikecualikan tentang melaksanakan putusan pidana

(Strafexecutie) denda, perampasan barang-barang dan ongkos-ongkos perkara dalam perkara

pelanggaran tentang penghasilan negara dan cukai.

Pasal 369

Jika seorang menjadi gila, sesudah ia melakukan suatu perbuatan, yang dapat menyebabkan

penuntutan pidana, dan keadaan gila itu diakui oleh hakim, yang diwajibkan memeriksa

perkara itu maka penuntutan pidana itu ditangguhkan, sampai orang itu sudah sembuh, kecuali

jika denda perampasan yang tersebut pada pasal 367, dapat ditagih menurut acara yang

tersebut pada pasal tadi, dari walinya, jika pesakitan orang yang diberi berwali atau dengan

jalan lain dapat dimajukan penagihan terhadap wali orang sedemikian yang ditunjuk oleh

hakim mewakili orang gila itu.

Penjelasan:

Oleh sebab terdakwa yang akan dituntut pidana di muka pengadilan itu menjadi gila dan belum

tentu akan segera sembuh dari penyakitnya untuk dapat melanjutkan penuntutan pidana

terhadapnya, sehingga perkaranya terpaksa harus ditangguhkan mungkin buat waktu beberapa

lamanya, maka pasal 369 ini menentukan, denda dan perampasan barang-barang tertentu yang

dimaksudkan dalam pasal 367 boleh ditagih menurut cara yang ditentukan dalam pasal itu

kepada wali atau wakil terdakwa yang sakit gila itu.

Pasal 370

(1) Hukuman mati tidak dapat dijalankan pada orang itu, jika ia menjadi gila sesudah

dihukum, dan keadaan itu diakui oleh hakim, yang menjatuhkan putusan pidana itu.

(2) Demikian juga hukuman mati itu tidak dapat dijalankan pada perempuan yang hamil. (3) Dalam hal pertama maka penjalanan hukuman mati dipertangguhkan hingga orang sakit

gila itu sembuh dan dalam hal yang terakhir sampai perempuan yang hamil itu

melahirkan.

Penjelasan:

Tentang pelaksanaan pidana mati sudah ada ketentuan baru yang tersebut dalam Penetapan

Presiden R.I. No.2/1964, di mana dalam pasal 7 dikatakan, bahwa apabila terpidana mati

hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah

anaknya dilahirkan. Di situ tidak ada ketentuan bagaimana harus dilakukan apabila terpidana

mati mendadak menjadi sakit gila.

Menurut pasal 84 ayat (4) K.U.H.P. hak melakukan (Strafexecutie) pidana mati tidak bisa

gugur karena daluwarsa.

Pasal 371

Semua jaksa-jaksa dan semua hakim-hakim karena jabatannya harus menumpahkan perhatian

tentang daluwarsa, meskipun hal ini tidak diminta oleh pesakitan-pesakitan.

Penjelasan:

Pasal ini merupakan peringatan bagi para hakim dan jaksa untuk senantiasa memperhatikan

tentang daluwarsa. Ketentuan tentang daluwarsa itu tercantum dalam pasal-pasal 77 s/d 85

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pasal 77 s/d 82 K.U.H.P. mengatur tentang gugurnya hak penuntutan pidana

(Strafvervolging), sedangkan pasal 83 s/d 85 mengatur tentang gugurnya hak menjalankan

pidana (Strafexecutie).

BAB KELIMABELAS

BERBAGAI-BAGAI ATURAN

Pasal 372

Ketua-ketua majelis-majelis pengadilan diwajibkan memimpin pemeriksaan dalam persidangan

dan permusyawaratan

.(

Dipikulkan juga pada mereka kewajiban untuk memelihara ketertiban yang baik dalam

persidangan; segala sesuatu yang diperintahkan untuk keperluan itu, harus dilakukan

dengan segera dan saksama.

Penjelasan:

Ketua, menurut pasal ini, baik pada hakim majelis maupun hakim tunggal, diwajibkan

memimpin sidang pengadilan, dan bertanggung jawab atas ketertiban yang baik dalam

persidangan. Untuk dapat melaksanakan itu segala perintahnya harus dengan segera dilakukan

dengan seksama.

Apabila ada orang yang mengganggu keamanan dan ketertiban dalam persidangan, misalnya

mengeluarkan perasaan setuju atau tidak setuju dan membuat rusuh dan gempar, dan pada

teguran pertama tidak terus diam, maka ia akan dikeluarkan dengan perintah ketua. Jikalau

orang itu ternyata melanggar sesuatu ketentuan pidana, maka hakim dapat memerintahkan agar

Lihat hal. 142 orang itu dituntut pidana di muka sidang pengadilan, dapat dikenakan pasal 216 atau pasal 217

Kitab Undang-undang Hukum Pidana. (lihat pasal 373 H.I.R.).

Pasal 373

Barangsiapa yang mengganggu keamanan selama persidangan atau memberi tanda menyatakan

setuju atau tidak, atau dengan jalan apapun juga membuat gempar atau rusuh, dan pada

teguran pertama ia tidak terus diam, maka ia akan dikeluarkan dengan perintah ketua;

semuanya ini tidak mengurangi tuntutan hakim, jika pada waktu itu ia melakukan sesuatu

perbuatan pidana.

Penjelasan:

Lihat penjelasan pada pasal 372.

Pasal 374

(1) Tidak seorang hakimpun dapat memeriksa perkara yang mengenai kepentingan diri

sendiri, baik dengan langsung, maupun dengan tidak langsung, atau memeriksa perkara

yang bersangkut pada isterinya atau salah seorang keluarga sedarah atau keluarga

semenda, dalam turunan menyimpang sehingga pupu yang keempat.

(2) Hakim yang dikecualikan dalam hal yang sedemikian itu, wajib atas kemauan sendiri

menarik diri dari pemeriksaan perkara itu, biarpun permintaan untuk itu tidak dimajukan

oleh orang yang bersangkutan.

(3) Jika mendua-hati atau ada perselisihan, maka hal itu diputuskan oleh majelis

.(

Keputusan majelis itu tidak dapat dibanding lagi.

Penjelasan:

Menurut pasal ini maka hakim tidak diperkenankan memeriksa perkara:

mengenai kepentingan diri sendiri, baik langsung maupun tidak langsung;

yang bersangkutan dengan isterinya;

yang bersangkutan dengan keluarganya sedarah, misalnya bapak ibu, kakek nenek, anak, cucu

dan seterusnya.

yang bersangkutan dengan keluarga semenda atau keluarga perkawinan dalam turunan (garis)

menyimpang sampai empat pupu (derajat), misalnya isteri/laki saudara, isteri/laki anak

saudara, isteri/laki cucu saudara dan lain-lain.

Hakim yang dalam kedudukan demikian itu wajib atas kemauan sendiri menarik diri dari

pemeriksaan itu, walaupun tidak ada tuntutan dari yang bersangkutan.

Sehubungan dengan pasal ini bacalah pasal 28 U.U. Pokok Kehakiman No. 14/1970 yang

bunyinya:

(1) pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya.

Hak ingkar ini hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan-keberatan yang

disertai dengan alasan-alasan terhadap seorang hakim yang akan mengadili perkaranya.

Putusan mengenai hal tersebut dilakukan oleh pengadilan;

(2) Apabila seorang hakim masih terikat hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga

atau semenda dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, penasihat hukum atau

Oleh karena pengadilan negeri sekarang hanya terdiri dari seorang Hakim, maka ayat ini dapat dilakukan

pada pengadilan tinggi atau mahkamah agung. panitera dalam suatu perkara tertentu, ia wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan

perkara itu;

(3) Begitu pula apabila ketua, hakim anggota, Penuntut Umum atau panitera masih terikat

dalam hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau semenda dengan yang

diadili, ia wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara itu.

Pasal 375

Segala perintah untuk melepaskan yang tersangka atau pesakitan, yang ada dalam tahanan,

diberitahukan dengan segera jika perlu dengan kawat oleh pegawai yang memerintahkan itu

kepada pegawai yang diwajibkan menjalankan perintah itu, dan pegawai yang terakhir ini

dengan segera mengeluarkan atau menyuruh mengeluarkan orang itu, sesudah menerima

pemberitahuan itu, kecuali kalau ia harus ditahan karena alasan lain.

Pasal 376

Kuasa, yang dimaksud dalam pasal 82 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, diberikan oleh

pegawai yang dimaksud dalam 325, ayat (1) kepada pegawai mana disampaikan oleh pesakitan

suatu surat tanda bayar yang diberi oleh pegawai yang berhak akan menerima itu, dalam tempo

yang akan ditentukan dalam surat kuasa itu.

Penjelasan:

Pasal 82 (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana menentukan, bahwa apabila ada orang telah

berbuat pelanggaran (kejahatan tidak masuk) yang ancaman pidananya hanya berupa sematamata pidana denda saja, maka orang itu dapat membebaskan diri dari penuntutan pidana

dengan membayar maksimum pidana denda yang diancamkan, (bila sudah dimulai dengan

penuntutan, juga ongkos perkaranya) itu kepada kas negara. Jika pelanggaran itu diancam pula

dengan perampasan barang yang tertentu, barang itu harus diserahkan atau harga barang itu

dibayar.

Hal ini harus ada izin atau kuasa terlebih dahulu dari pegawai yang ditunjuk oleh undangundang umum. Undang-undang umum tersebut adalah H.I.R. dan menurut pasal 376 ini dan

pasal 325 (1) pegawai yang ditunjuk itu adalah jaksa.

Pasal 377

Ditiadakan oleh Undang-Undang Darurat No. 1/1951.

Pasal 378

Tiap-tiap orang, yang dijatuhi hukuman, harus pula dihukum akan membayar segala biaya

perkara. Hanya dalam keputusan pembebasan atau dibebaskan dari segala tuntutan, maka biaya

perkara itu ditanggung oleh Negeri.

Pasal 379

Upah dan pengganti kerugian bagi pengacara, penasihat atau pembela dan wakil, tidak dapat

dimasukkan dalam biaya yang diputuskan, tetapi selalu harus ditanggung oleh pihak, yang

menyuruh orang yang sedemikian itu membantunya atau mewakilinya.

Pasal 380 Ditiadakan oleh Undang-Undang Darurat No. 1/1951.

Pasal 381

Jika hakim memberi perintah, bahwa orang Indonesia atau orang bangsa Asing mengangkat

sumpah dalam mesjid atau kelenteng atau pada suatu tempat lain, yang dipandang

keramat, maka hakim itu harus menunda pemeriksaan perkara itu sampai hari

persidangan lain, yang akan ditentukannya.

Dalam hal yang demikian itu, ketua mengangkat seorang pegawai pengadilan itu akan jadi

panitia bersama-sama dengan panitera untuk menghadiri pengangkatan sumpah itu dan

membuat pertelaan tentang itu.

Penjelasan:

Menurut pasal ini, apabila hakim memerintahkan pihak yang berperkara akan mengangkat

sumpah dalam mesjid, kelenteng atau di tempat-tempat lain yang dianggap keramat, maka

hakim menunda persidangan yang sedang berjalan sampai persidangan lain yang akan

ditentukannya. Dalam hal itu, jika pada hakim majelis, hakim ketua mengangkat salah seorang

hakim anggota, sedangkan pada hakim tunggal, mengangkat diri sendiri atau seorang pegawai

pada pengadilan negeri, untuk menjadi panitia bersama-sama dengan panitera untuk

menghadiri pengangkatan sumpah itu dan membuat berita-acara tentang penyumpahannya.

Pasal 382

Segala surat keputusan mahkamah, segala keputusan dan surat perintah hakim dalam perkara

pidana harus berkepala: "Atas nama keadilan."

Penjelasan:

Pasal ini menentukan, bahwa segala surat keputusan sidang pengadilan, surat keputusan dan

surat perintah hakim dalam perkara pidana harus berkepala: "Atas nama keadilan", yang waktu

zaman Belanda bunyinya:

"In naam der Koningin", zaman pendudukan Jepang "Atas nama Balatentara Dai Nippon",

zaman sesudah Proklamasi Kemerdekaan "Atas nama Republik Indonesia", kemudian

menjadi: "Atas nama Keadilan". Sekarang berdasarkan pasal 4 U.U. Pokok Kehakiman

No.14/1970 menjadi: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Pasal 383

Segala keputusan-keputusan selalu harus tinggal tersimpan dalam persimpanan surat (arsip) di

pengadilan, dan tidak dapat dipindahkan kecuali dalam hal-hal dan menurut cara yang teratur

dalam aturan undang-undang.

Pasal 384

(1) Panitera wajib memegang satu daftar umum untuk segala perkara pidana, yang diperiksa

oleh pengadilan di tempat ia dikerjakan.

(2) Dalam daftar itu harus dituliskan nama pesakitan, kejahatan atau pelanggaran yang

dituntut kepadanya, hari perkara itu dimasukkan dan hari diucapkan, serta isi keputusan

itu seringkas mungkin.

(3) Panitera pengadilan negeri wajib memegang daftar yang serupa itu juga untuk perkara

perdata. (4) Dalam daftar untuk perkara pidana harus disebutkan tentang ampun yang diberikan dan

tentang hukuman yang dikurangkan.

Pasal 385

Turunan atau petikan keputusan-keputusan dalam perkara pidana, tidak dapat diberikan

kepada orang, yang bukan pihak dalam perkara itu, kecuali bila dikuasakan oleh ketua

pengadilan yang menjatuhkan keputusan itu dan permintaan untuk itu hanya dapat dikabulkan,

jika ternyata bahwa yang meminta berkepentingan dalam hal itu.

Pasal 386

Pesakitan dalam perkara kejahatan atau pelanggaran berhak untuk membuat atau menyuruh

membuat salinan segala surat-surat dalam perkara yang dituntut pada mereka, yang

dipandangnya perlu untuk membela dirinya, dengan ongkos sendiri.

Pasal 387

Panitera, yang lalai memenuhi dengan cermat segala aturan dalam ayat pertama pasal 192

dalam ayat ketiga pasal 324 dan dalam pasal 352 reglemen ini, didenda untuk tiap-tiap kelalaian

dengan denda sebanyak-banyaknya sepuluh rupiah.

Penjelasan:

Pasal 192 yang disebut dalam pasal ini hendaknya dibaca: "pasal 11 U.U. No.20/1947".

Penyebutan pasal 352 H.I.R. dalam pasal ini sudah tidak ada artinya lagi karena pasal itu sudah

dihapuskan dengan Staatsblad 1932 No. 460 Jo No. 580.

Pasal 388

Semua jurusita dan suruhan yang dipekerjakan pada majelis pengadilan dan pegawai umum

Pemerintah mempunyai hak yang sama dan diwajibkan untuk menjalankan panggilan,

pemberitahuan dan semua surat jurusita yang lain, juga menjalankan perintah hakim dan

keputusan-keputusan.

Jika tidak ada orang yang demikian, maka ketua majelis pengadilan, yang dalam daerah

hukumnya surat jurusita itu harus dijalankan, harus menunjuk seorang yang cakap dan

dapat dipercayai untuk mengerjakannya.

Pasal 389

Jurusita pada pengadilan negeri di Jakarta, Semarang dan Surabaya harus menyatakan

perjalanan jurusita, yang telah dilakukan oleh mereka dengan surat uraian. Bagi jurusita pada

pengadilan negeri lainnya, dan bagi semua orang-orang yang lain, jika perlu mencukupilah jika

diberikan laporan dengan lisan tentang pemberitahuan, pengadilan dan surat jurusita yang

dilakukannya pada hakim atau pegawai lain kepada siapa mereka harus memberitahukan

uraian; hakim atau pegawai itu mencatat atau menyuruh mencatat pemberitahuan itu.

Pasal 390

(1) Tiap-tiap surat jurusita, kecuali yang akan disebut di bawah ini, harus disampaikan pada

orang yang bersangkutan sendiri di tempat diamnya atau tempat tinggalnya dan jika tidak

dijumpai di situ, kepada kepala desanya atau lurah bangsa Tionghoa yang diwajibkan dengan segera memberitahukan surat jurusita itu pada orang itu sendiri, dalam hal

terakhir ini tidak perlu pernyataan menurut hukum.

(2) Jika orang itu sudah meninggal dunia, maka surat jurusita itu disampaikan pada ahli

warisnya; jika ahli warisnya tidak dikenal maka disampaikan pada kepala desa di tempat

tinggal yang terakhir dari orang yang meninggal dunia itu di Indonesia, mereka berlaku

menurut aturan yang disebut pada ayat di atas ini. Jika orang yang meninggal dunia itu

masuk golongan orang Asing, maka surat jurusita itu diberitahukan dengan surat tercatat

pada Balai Harta Peninggalan.

(3) Tentang orang-orang yang tidak diketahui tempat diam atau tinggalnya dan tentang

orang-orang yang tidak dikenal, maka surat jurusita itu disampaikan pada Bupati, yang

dalam daerahnya terletak tempat tinggal penggugat dan dalam perkara pidana, yang

dalam daerahnya hakim yang berhak berkedudukan. Bupati itu memaklumkan surat

jurusita itu dengan menempelkannya pada pintu umum kamar persidangan dari hakim

yang berhak itu.

Pasal 391

Hari mulai berjalannya tempo itu tidak turut dihitung pada waktu menghitung tempo, yang

disebutkan dalam reglemen ini.

Pasal 392

(1) Saksi, yang dipanggil dan datang menghadap pada persidangan, baik dalam perkara

perdata maupun dalam perkara pidana, baik di luar itu, berhak mendapat pengganti

kerugian untuk ongkos perjalanan dan ongkos-ongkos bermalam menurut tarif yang

telah ada atau yang akan ditentukan.

(2) Hakim dan pegawai polisi pengadilan harus memberitahukan pada saksi-saksi yang

datang menghadap padanya, berapa besar pengganti kerugian yang harus mereka terima.

Pasal 393

Waktu mengadili perkara di hadapan pengadilan negeri maka tidak dapat diperhatikan acara

yang lebih atau lain dari pada yang ditentukan dalam reglemen ini.

Ditiadakan oleh Undang-Undang Darurat No. 1/1951.

Pasal 394

Ditiadakan oleh Undang-Undang Darurat no. 1/1951. SEJARAH H.I.R / R.I.B

Reglemen ini dibuat di zaman pemerintahan Belanda. Judul aslinya adalah: "Reglement op de

uitoefening van de politie, de burgerlijke rechtspleging en de strafvordering onder de Inlanders

en de Vreemde Oosterlingen op Java en Madura", dengan singkat lazim disebut: "Inlandsch

Reglement", disingkatkan menjadi I.R."

Dengan Staatsblad 1941 No.44 isi I.R. itu diperbaharui. dan mendapat nama baru: "Herzien

Inlandsch Reglement", disingkat H.I.R. artinya "Reglemen Bumiputera (Indonesia) Yang

Dibaharui", yang biasa disingkat menjadi R.I.B.

Berdasarkan pada pasal 6 Undang-undang Darurat tahun 1951 No.1 maka R.I.B. dinyatakan

berlaku sebagai hukum acara pidana sipil di Indonesia dengan beberapa perubahan yang

diterangkan dalam undang-undang darurat tersebut.

Riwayat R.I.B. sebagai hukum-acara pidana dengan singkat dapat diutarakan sebagai berikut:

Sebelum zaman penjajahan, hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum raja-raja yang

berkuasa disitu. Semenjak bangsa Belanda datang menguasai Indonesia, di zaman V.O.C.,

maka hukum yang berlaku bagi orang-orang Belanda di pusat dagang V.O.C. ialah hukum

kapal yang terdiri dari hukum Belanda kuno ditambah dengan azas-azas hukum Romawi.

Berhubung hukum kapal itu lambat laun karena perkembangan zaman tidak lagi dapat

menyelesaikan semua peristiwa dan perkara-perkara yang terjadi di pusat-pusat dagang itu,

maka oleh Belanda kemudian dibuat peraturan-peraturan baru lebih lanjut yang diumumkan

dalam bentuk plakat-plakat, kemudian dihimpun menjadi satu dan dinamakan Statuta Betawi

yang berlaku pertama-tama di "Bataviase Ommelanden" = Betawi dan Daerah-daerah

Sekitarnya, yaitu daerah batasnya di sebelah Barat: sungai Cisadane, di Utara: pulau-pulau di

teluk Betawi, di Timur: sungai Citarum dan di Selatan: Samudera Indonesia.

Oleh penguasa dimaksudkan, bahwa plakat-plakat itu berlaku bagi semua suku bangsa yang

berada di tempat itu, akan tetapi ternyata dalam prakteknya hanya digunakan bagi bangsa

Belanda saja, sedangkan untuk bangsa Timur Asing dan Peribumi tetap berlaku hukum adat.

Bagi beberapa daerah lainnya para penguasa V.O.C. mencoba juga mengadakan kodipikasi dari

hukum adat untuk mengadili mereka yang tunduk pada hukum adat, misalnya saja:

1. Kodipikasi Hukum Adat Cina oleh pusat V.O.C., berlaku bagi orang-orang Cina di

Betawi dan sekitarnya.

2. Kodipikasi Pepakem Cirebon oleh kuasa V.O.C. di Cirebon, dimaksudkan berlaku bagi

penduduk Bumiputera di Cirebon dan sekitarnya.

3. Kodipikasi Kitab Hukum Mogharraer oleh penguasa V.O.C. di Semarang dan

daerahnya.

4. Kodipikasi Hukum Bumiputera Boni dan Goa oleh penguasa V.O.C. di tempat itu

berlaku bagi penduduk Bumiputera di Goa dan Boni.

Lama tidaklah banyak perubahan-perubahan yang terjadi dalam keadaan perundang-undangan

di Indonesia. Perubahan yang agak penting ialah terjadi dalam tahun 1848, oleh karena pada

waktu itu mulailah berlaku apa yang biasa disebut oleh Belanda: "Perundang-undangan baru".

Sejak itu kekuatan hukum Belanda Kuno dan Hukum Romawi hapus dan tidak berlaku lagi.

Perundang-undangan yang baru itu adalah akibat dari pada perubahan-perubahan perundangundangan di Negara Belanda dalam tahun 1838 yang menghapuskan hukum kerajaan Perancis

setelah Negeri Belanda memperoleh kembali kemerdekaannya.

Mula-mula Raja Belanda dengan Keputusannya tanggal 6 Mei 1846 No.1 dalam pasal 4

memerintahkan kepada Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda untuk membuat bagi Hindia-Belanda suatu peraturan tata-usaha kepolisian, beserta pengadilan sipil dan penuntutan perkara

kriminil mengenai golongan Bumiputera dan orang-orang yang dipersamakan kepada mereka.

Khusus untuk keperluan itu dan guna membantu Gubernur-Jenderal dalam menyelesaikan

perintah tersebut, Raja mengirimkan seorang ahli yang bernama Jhr. Mr. Wichers dari Negeri

Belanda ke Hindia-Belanda.

Atas jasa Jhr. Mr. Wichers maka rencana undang-undang baru itu selesai dikerjakan, diterima

oleh Gubernur-Jenderal dan diumumkan dengan Publicatie tanggal 5 April 1848 (Staatsblad

tahun 1848 No.16) dengan judul yang telah diterangkan di atas yang dengan singkat lazim

disebut "Inlandsch Reglement" atau disingkatkan lagi I.R.

Kemudian "Inlandsch Reglement" ini dikuatkan dengan Keputusan Raja tanggal 29 September

1849 No.93 (Staatsblad tahun 1849 No.63).

Sejak dikeluarkan pertama kali, maka I.R. itu telah beberapa kali mengalami perubahan.

Perubahan-perubahan yang paling penting termuat dalam:

1. Staatsblad tahun 1941 No.31 jo No.98, ialah perihal perbaharuan peraturan penuntutan

terhadap orang-orang yang bukan bangsa Eropa.

2. Staatsblad tahun 1941 No.32 jo No.98, ialah pembaharuan peraturan tentang

pemeriksaan pendahuluan di dalam perkara-perkara kriminal terhadap orang-orang

Indonesia dan Timur Asing, diantara mana, enam buah titel yang pertama diganti

dengan dua buah titel baru, kemudian isi seluruhnya dari I.R. itu diumumkan kembali

dalam.

3. Staatsblad tahun 1941 No.44

"Inlandsch Reglement" (I.R.) yang. telah dibaharui itu dapat disebut "Herzien. Inlandsch

Reglement" (H.I.R.) atau dalam. bahasa Indonesia Reglemen Indonesia Yang Dibaharui,

disingkat R.I.B., dan buat sementara hanya diberlakukan dalam wilayah-wilayah hukum

beberapa Landraad yang ditunjuk oleh Gubernur-Jenderal.

Suatu perbedaan yang penting antara I.R. dan H.I.R. ialah diadakannya "Openbaar Ministerie

atau Kejaksaan yang merupakan Penuntut Umum.

Anggauta-anggauta Kejaksaan itu terdiri dari para Jaksa yang dulu ditempatkan di bawah

Pamong-Praja, dan sekarang langsung berada di bawah Jaksa Tinggi dan Jaksa Agung. Ini

berarti bahwa kedudukan Jaksa menurut I.R. dan H.I.R. jauh berbeda.

Pada zaman I.R. dalam prakteknya kedudukan para Jaksa itu demikian rupa, sehingga:

a. tidak berwenang untuk menuntut perkara, yang boleh mengadakan tuntutan hanya

Assistent-Resident (Pamong-Praja), ialah kepalanya;

b. di dalam sidang pengadilan tidak mempunyai wewenang untuk membuat requsitoir

(mintakan,pidana), akan tetapi hanya dapat memajukan perasaannya atau

pertimbangannya saja (pasal 292 I.R.) dan

c. tidak mempunyai wewenang untuk menjalankan suatu putusan pengadilan (eksekusi).

Yang mempunyai wewenang demikian itu adalah Assistent-Resident (pasal 325 I.R. ).

d. menurut pasal 57 I.R. Jaksa itu juga berada di, bawah perintah Bupati. (Pamong-Praia).

Dengan demikian maka Jaksa tidak merupakan Penuntut Umum.

Akan tetapi di zaman pendudukan Jepang, di mana H.I.R. berlaku sebagai hukum acara pidana

bagi Pengadilan Negeri seluruhnya, maka. kedudukan para Jaksa memperoleh perubahan

secara besar-besaran, oleh karena pada waktu itu para Assistent-Resident yang menjadi

"majikan" para Jaksa sekaligus dihapuskan. Semua tugas pekerjaan Asisstent-Resident

mengenai penuntutan perkara pidana seluruhnya diserahkan kepada Jaksa yang pada waktu itu berpangkat "Tiho Kensatsu Kijokuco". (Kepala Kejaksaan Pengadilan Negeri) dan berada di

bawah perintah dan pengawasan "Kootoo Kensatsu Kijokuco" (Kepala Kejaksaan Tinggi);

Sejak waktu itulah maka para Jaksa'. benar-benar menjadi pegawai Penuntut Umum (Openbaar

Ministerie). Kemudian lebih tegas lagi dengan Osamu Seirei No.49 Kejaksaan dimasukkan ke

dalam "Chianbu" (Departemen Keamanan), dan tugasnya ditentukan sebagai pegawai

penyidik, pegawai penuntut dan menjalankan keputusan hakim (eksekusi).

Di zaman Pemerintah Republik Indonesia dengan maklumat tanggal 1 Oktober 1945 semua

kantor Kejaksaan yang dulunya masuk "Chianbu" (Departemen Keamanan), dipindahkan ke

dalam "Shihoobu" (Departemen Kehakiman). Corak dan tugas kewajiban para Jaksa yang telah

diberikan kepadanya sejak zaman Jepang, tidak berubah, oleh karena Peraturan Pemerintah

tanggal 10 Oktober 1945 No.2 telah menetapkan, bahwa semua undang-undang dan peraturan

yang dulu (undang-undang Jepang dan undang-undang Hindia-Belanda) tetap berlaku sampai

undang-undang itu diganti baru.

Mulai waktu proklamasi kemerdekaan, oleh karena menurut H.I.R. pekerjaan "Openbaar

Ministerie" pada tiap-tiap Pengadilan Negeri dijalankan oleh "Magistraat", maka dengan

sendirinya perkataan-perkataan "Magistraat" dalam H.I.R. diganti dengan Jaksa, sehingga Jaksa

pada waktu itu adalah benar-benar Penuntut Umum pada Pengadilan Negeri. Pada waktu

sekarang ini status dan tugas Jaksa sebagai pegawai Penuntut Umum dengan tegas ditentukan

dalam pasal dua Undang-undang tahun .1961 No.15 (U.U. Pokok Kejaksaan).

Jikalau titel-titel dari I.R. yang lama kita bandingkan dengan titel-titel dari I.R. yang baru

(H.I.R.) maka nyata betul pentingnya pembaharuan itu, periksalah perbandingan dibawah ini:

Titel-titel yang lama Titel-titel yang baru

Titel I Tentang menjalankan tugas mencari

kejahatan dan pelanggaran pada

umumnya

Bab. I. Hal melakukan tugas kepolisian

dan tentang kepolisian.

Titel II Tentang kepala desa dan semua

pegawai rendahan yang lain.

Bag. 1 Tentang pegawai dan penjahat

yang diwajibkan melakukan tugas

kepolisian.

Titel

III

Tentang Kepala distrik dan para

pejabat yang dibantukan kepadanya.

Bag. 2. Tentang Kepala desa dan pejabat

kepolisian bawahan yang lain

Titel

IV

Tentang Jaksa Kepala dan Jaksa Bag. 3. Tentang Kepala Distrik.

Titel V Tentang Bupati dan Patih Bag. 4. Tentang Bupati dan Patih

Titel

VI

Tentang Residen dan Asisten

Residen diluar daerah Propinsi.

Bag. 5. Tentang Gubernur, Residen dan

Asisten Residen

Bab. II. Tentang mencari kejahatan dan

pelanggaran.

Bag. 1. Tentang pegawai dan pejabat yang

diwajibkan mencari kejahatan dan

pelanggaran.

Bag. 2. Tentang pegawai penuntut Umum

pada pengadilan Negeri.

Bag. 3. Tentang Jaksa Pembantu. Bag. 4. Tentang kedapatan tengah berbuat.

Bag. 5. Peraturan-peraturan lain tentang

pemeriksaan pendahuluan yang

dilakukan oleh pegawai penuntut

umum dan Jaksa Pembantu.

Bag. 6. Tentang menyudahkan

pemeriksaan pendahuluan.

Dari perbandingan di atas nampak, bahwa titel (bab) I, II, III, IV, V da

Tidak ada komentar: