Jumat, 25 Desember 2009

makna

Dalam kitab al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, al-Imam al-Hakim meriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn Abbas dalam mengomentari tiga ayat dari surat al-Ma’idah (ayat 44, 45 dan 46) di atas, bahwa Abdullah ibn Abbas berkata: “Yang dimaksud kufur dalam ayat tersebut bukan seperti yang dipahami oleh mereka [kaum Khawarij], bukan kufur dalam pengertian keluar dari Islam. Tetapi firman Allah: “Fa Ula-ika Hum al-Kafirun” adalah dalam pengertian bahwa hal tersebut [tidak memakai hukum Allah] adalah merupakan dosa besar”. Artinya, bahwa dosa besar tersebut seperti dosa kufur dalam keburukan dan kekejiannya, namun demikian bukan berarti benar-benar dalam makna kufur keluar dari Islam. Pemahaman semacam ini seperti sebuah hadits dari Rasulullah, bahwa ia bersabda:

سباب المسلم فسوق وقتاله كفر (رواه أحمد)

(Mencaci-maki muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya/memeranginya adalah perbuatan “kufur”). HR. Ahmad.

“Kufur” yang dimaksud dalam hadits ini bukan pengertian keluar dari Islam. Bukan artinya; bila dua orang muslim saling bunuh, maka yang membunuhnya menjadi kafir. Bukankah ”hukum bunuh” itu sendiri salah satu yang disyari’atkan oleh Allah, misalkan terhadap para pelaku zina muhsan [yang telah memliki pasangan], hukum qishas; bunuh dengan bunuh, memerangi kaum bughat [orang-orang Islam yang memberontak], dan lain-lain. Apakah kemudian mereka yang memberlakukan hukum bunuh tersebut telah menjadi kafir??!! Tentu tidak, karena nyatanya jelas mereka sedang memberlakukan hukum Allah.
Oleh karenanya peperangan sesama orang Islam sudah terjadi dari semenjak masa sahabat dahulu [lihat misalkan antara kelompok sahabat Ali ibn Abi Thalib, sebagai khalifah yang sah saat itu, dengan kelompok Mu’awiyah], dan kejadian semacam ini terus berlanjut hingga sekarang. Apakah kemudian orang-orang mukmin yang berperang atau saling bunuh sesama mereka tersebut menjadi kafir; keluar dari Islam??! Siapa yang berani mengkafirkan sahabat Ali ibn Abi Thalib, Ammar ibn Yasir, az-Zubair ibn al-Awwam, Thalhah ibn Ubadillah, Siti Aisyah [yang notabene Istri Rasulullah], dan para sahabat lainnya yang terlibat dalam perang tersebut??!! Orang yang berani mengkafirkan mereka maka dia sendiri yang kafir. Kemudian dari pada itu, dalam al-Qur’an Allah berfirman:

وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا (الحجرات: 9)

Dalam ayat ini dengan sangat jelas disebutkan: “Apa bila ada dua kelompok mukmin saling membunuh....”. Artinya sangat jelas bahwa Allah tetap menyebut dua kelompok mukmin yang saling membunuh tersebut sebagai orang-orang mukmin; bukan orang kafir.
Yang ironis adalah ayat 44 QS. Al-Ma’idah ini oleh beberapa komunitas yang mengaku gerakan keislaman seringkali dipakai untuk mengklaim kafir terhadap orang-orang yang tidak memakai hukum Allah, termasuk klaim kafir terhadap orang yang hidup dalam suatu negara yang tidak memakai hukum Islam. Bahkan mereka juga mengklaim bahwa negara tersebut sebagai Dar Harb atau Dar al Kufr. Klaim ini termasuk di antaranya mereka sematkan kepada negara Indonesia. pertanyaannya; negara manakah yang secara murni memberlakukan hukum Islam??

Sayyid Quthub dalam karyanya “Fi Zhilal al-Qur’an” menyatakan bahwa masa sekarang tidak ada lagi orang Islam yang hidup di dunia ini, karena tidak ada satupun negara yang memakai hukum Allah. Menurutnya suatu negara yang tidak memakai hukum Allah waluapun dalam masalah sepele maka pemerintahan negara tersebut dan rakyat yang ada di dalamnya adalah orang-orang kafir. Kondisi semacam ini menurutnya tak ubah seperti kehidupan masa jahiliyah dahulu sebelum kedatangan Islam. Pernyataan Sayyid Quthub ini banyak terulang dalam karyanya; Fi Zhilal al-Qur’an. Lihat misalkan j. 2, h. 590, dan h. 898/ j. 2, Juz 6, h. 898/ j. 2, h. 1057/ j. 2, h. 1077/ j. 2, h. 841/ j. 2, h. 972/ j. 2, h. 1018/ j. 4, h. 1945 dan dalam beberapa tempat lainnya. Juga ia sebutkan dalam karyanya yang lain, seperti Ma’alim Fi al-Thariq, h. 5-6/ h. 17-18

Terakhir, saya kutip tulisan A. Maftuh Abegebriel yang menyimpulkan bahwa kekeliruan dalam memahami QS. al-Ma'idah: 44 tersebut adalah salah satu akar teologis dan politis dari berkembangnya gerakan radikal di beberapa negara timur tengah, seperti gerakan Ikhwan al-Muslimin pasca kepempinan dan wafatnya Syaikh Hasan al-Banna (Rahimahullah). Padahal di negara Mesir, yang merupakan basis awal gerakan al-Ikhwan al-Muslimun, belakangan menolak keras kelompok yang dianggap ekstrim ini bahkan memejarakan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Faham Sayyid Quthub di atas seringkali dijadikan “ajaran dasar” oleh banyak gerakan, seperti Syabab Muhammad, Jama’ah al-Takfir Wa al-Hijrah, Jama’ah al-Jihad, al-Jama’ah al-Islamiyyah dan banyak lainnya. Muara semua gerakan tersebut adalah menggulingkan kekuasan setempat dan mengklaim mereka sebagai orang-orang kafir dengan alasan tidak memakai hukum Islam. [Lebih luas tentang ini baca di antaranya; A. Maftuh Abegebriel, Fundamentalisme Islam; Akar teologis dan politis (Negara Tuhan; The Thematic Incyclopaedia), h. 459-555]. karenanya oleh beberapa kalangan, Sayyid Quthub dianggap sebagai orang yang menghidupkan kembali faham sekte al-Baihasiyyah di atas.

Sekali lagi, anda jangan memahami ayat di atas secara harfiyah. karena bila anda memahami secara harfiyah maka berarti sama saja anda menanamkan "akar terorisme" pada diri anda...!!! Hati-hati...!!!

Tidak ada komentar: